Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Gendis dan juga Ratri di sebuah cafe yang bergaya vintage. Nampak salah satu dari kedua adik Wilu itu melambaikan tangan. Memberi kode kepadaku untuk memberi tahu dimana aku bisa menemukan mereka.
"Mas Jendra" Panggil Gendis dengan suara lirih, takut teriakannya menganggu ketenangan Cafe yang cukup ramai ini. Meskipun suaranya tak tedengar tetapi aku bisa membaca gerak bibirnya yang memanggil namanku.
Aku mendekat ke meja mereka lalu menarik kursi yang ada di hadapan mereka.
"Udah lama kalian nunggunya?" Tanyaku sambil mengambil duduk.
"Nembe Mas (Baru aja mas)" Jawab Gendis sopan.
Aku melihat meja mereka yang masih kosong "Loh kok belum pesen? Tadi kan mas suruh pesen duluan kalau kalian udah sampai"
"Kita udah makan kok mas tadi di rumah. Mas Jendra aja yang pesen. Iya, kan Tri?" Gendis menyenggol lengan Ratri dengan sikunya. Gendis seolah meminta Ratri untuk memvalidasi ucapannya.
"Iya Mas Jendra kita udah makan kok. Mas pesen buat mas Jendra aja" Ratri membenarkan ucapan Gendis.
"Enggak... Enggak... Enggak. Kalian juga harus ikut pesen. Mas pesenin makanan kesukaan kalian"
Gendis memang tipe anak yang sungkanan. Dia bukan tipe orang yang aji mumpung dan suka memanfaatkan kebaikan orang lain.
Aku memanggil waiter untuk mencatat pesanan kami. "Saya pesan spageti bolognese ekstra kejunya 3, jus jeruk 3, puding mangga 2, dan eskrim coklat 1"
"Mas Jendra, itu kebanyakan" Protes Ratri.
"Ga papa, kalau ga habis nanti sisanya bisa minta di bungkus" Sejak kecil kedua anak itu memang terbiasa makan secukupnya. Meraka paling anti membuang-buang makanan.
"Oh iya Ndis, gimana kuliahmu? Lancar?" Tanyaku pada adik kedua Wilu itu. Perempuan berkacamata itu sedang menempuh pendidikannya di Singapura mengambil jurusan science.
"Alhamdullillah mas, lancar" Gendis menjawab singkat.
"Oh iya, kalian pengen ngomongin apa?"
Aku mengajak mereka bertemu di cafe karena tadi Gendis menghubungiku untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Tanpa aku duga Gendis menyerahkan surat kepemilikan Apartemen yang aku belikan untuknya. Apartemen itu aku beli memang untuk memfasilitasi Gendis selama menempuh pendidikannya di Singapura.
"Ini Mas Jendra. Aku kembalikan ke Mas Jendra"
"Kok di kembaliin" Protesku. "Terus kamu mau tinggal dimana selama kamu kuliah disana?"
"Aku cuti kuliah dulu Mas. Mau kerja dulu. Nanti kalau uangku udah kumpul baru aku lanjut kuliah lagi"
"Bentar.. bentar... Apa karena mas udah pisah sama Mbak Wilu jadi kamu anggep mas ga bakal biayain kuliah kamu?"
Gendis hanya terdiam tidak menjawab karena nada bicaraku terdengar sedikit meninggi. Ia tahu jika aku sudah seperti ini, tandanya ada sesuatu yang membuatku tak suka.
"Kalian tetep adik-adik mas dan perpisahan mas dengan Mbak Wilu ga ada yang merubah apupun. Termasuk hubungan mas sama bapak ibuk. Jadi kamu harus nglanjutin kuliah kamu dengan benar dan ga perlu sampai kerja cari uang buat biayain kuliah kamu. Mas yang bakalan bayarin semuanya. Termasuk uang bulanan buat bapak ibuk juga ga bakalan mas stop. Ngerti kamu?"
"Injih (iya) mas, ngerti" jawab Gendis sambil menunduk. Baru kali ini mereka tahu kalau aku bisa semarah ini.
"Ada lagi yang ingin kalian sampaikan?" Aku mengubah kembali nada bicaraku menjadi lembut, agar mereka tidak takut padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati (END)
Romansa"Saya mohon maaf, tidak ada kantong janin di rahim ibu. Jadi bisa dikatakan kalau ibu belum hamil" Aku meremas rok yang kukenakan saat dokter kandungan menyampaikan hal itu. Sedih dan takut jika keluarga besar suamiku menanyakan kehamilanku. Aku mel...