Bab 15

14.5K 590 32
                                    

Sore ini aku menjemput Laras yang menginap di rumah besar- rumah utama yang ditempati oleh Eyang kakung dan Budhe Galuh berserta anak-anaknya.

Tanpa berbasa basi dan menunggu lama, aku langsung mengajak Laras untuk pulang.

"Mbok ya maem bareng-bareng dishik to Jendra. Lakok langsung balek wae kie ono opo Le? (Mbok ya makan bareng dulu to Jendra. Kok langsung pulang ada apa to nak?)" Kata Mbah kung menahan kepulanganku dengan Laras.

"Oalah Kung. Nganten anyar gih mestine pengen ndang manthuk to. Koyo kakung mboten nateh nganten anyar to kung (Oalah Kung. Penganten baru ya pastinya pengin cepet pulang to. Kaya kakung ga pernah jadi penganten baru aja)" Budhe Galuh membuat seisi ruangan tertawa karena candaannya. Aku melihat pipi Laras yang berubah semerah tomat lalu menunduk malu karena digoda oleh budhe Galuh.

"Ga gitu Budhe. Aku pengin ajak Laras makan malam bareng sama Mama. Kasian Mama sendirian"

"Lawong biasane Mamamu yo dewean lo Jendra. Apa awakmu tahu kelingan karo Mamamu selama awakmu gandeng karo Wilu? Selama iki awakmu kuwi didukunke karo Wilu nganti Lali karo Mamamu, tapi awakmu iki ora sadar. (Padahal biasanya Mamamu juga selalu sendirian Jendra. Apa kamu pernah ingat sama Mamamu selama kamu menikah dengan Wilu? Selama ini kamu itu diguna-guna sama Wilu biar kamu lupa sama Mamamu, tapi kamu ga pernah sadar)"

Ucapan Budhe memang tidak pernah baik jika berhubungan dengan Wilu. Tapi memang aku akui, aku dan Wilu jarang bertemu dengan Mama. Bukanya dulu kami enggan atau tidak menyempatkan. Tapi Mama justru memiliki banyak kegiatan yang mebuat aku dan Wilu tidak bisa menghabisakan waktu lebih banyak bersama Mama. Mama lebih sering menjadi relawan pengajar di sekolah yang dikhususkan untuk anak-anak kurang mampu karena beliau dulu adalah mantan guru sebelum menikah dengan papa. Selain sibuk sebagai pengajar, beliau juga lebih sering pergi arisan dan pengajian seperti ibu-ibu paruh baya pada umumnya.

"Budhe ga boleh gitu. Wilu perempuan baik. Ga mungkin dia sampai guna-guna Mas Jendra buat ngejauhin Mas Jendra dari Mama Retno" Laras mencoba membela Wilu tapi aku tahu jika pembelaannya akan membuat Budhe Galuh semakin tersulut menjelekkan Wilu.

"Oalah Laras, ojo pernah ketipu karo mukae Wilu sing ketok polos. Wong wadon sing kelakuane becik yo ora mungkin selingkuh to yo (Oalah Laras, jangan pernah ketipu sama mukanya Wilu yang kelihatan polos. Perempuan yang kelakuanya baik ya ga mungkin selingkuh)"

Runguku sangat risih mendengar topik tentang Wilu di angkat kembali kepermukaan. Akhirnya aku memilih mengajak pulang Laras tanpa memperpanjang lagi percakapan kami dengan Budhe Galuh.

Aku melajukan mobil ke rumah Mama. Membelah kemacetan jalanan sebelum senja berubah menjadi gelap.

"Besok lagi kamu ga perlu membela Wilu jika Budhe Galuh menjelekkanya. Jika kamu membela Wilu, Budhe Galuh malah semakin tertantang buat ngejelekin Wilu" Aku menasehati Laras dalam mengambil sikap soal Wilu di tengah-tengah perjalanan pulang kami.

"Maaf Mas, aku ga maksud bikin Budhe Galuh buat tambah ngejelekin Wilu. Apa Mas masih merasa marah jika Budhe ngejelek-jelekin Wilu?" Laras sepertinya kecewa karena aku masih terlihat peduli kepada Wilu, terdengar jelas dari nada suaranya yang tertangkap di runguku.

Aku menepikan mobilku. Aku menghadap ke Laras lalu mengusap lembut kepalanya "Aku hanya ingin melupakan Wilu Ras. Lebih baik jika kita tidak sering-sering ngebahas dia"

Aku mencoba mengembalikan mood Laras menjadi lebih baik kembali. Akan sangat membantu jika suasana hati Laras membaik saat bertemu dengan Mama. Penting bagiku Mama menerima kehadiran Laras karena perempuan ini sekarang adalah bagian dari hidupku.

Tampak Laras mengulas senyum lebar saat mengetahui niatanku untuk mulai melupakan Wilu. Perempuan itu mengangguk antusias, menyetujui saran dariku agar tidak mendebat Budhe Galuh saat menjelek-jelekkan mantan istriku.

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang