Bab 22

17.1K 818 20
                                    

Malam ini, gelap terasa sangat pekat. Bulan sepertinya enggan menampakkan wujudnya.

Sekarang aku sedang duduk termenung di bibir ranjang. Setia berdiam diri di dalam kamarku sambil melihat danau yang sebenarnya tak nampak karena ditelan oleh gelapnya malam.

Sesekali aku menghirup udara dalam-dalam. Bukan untuk memenuhi ronggaku dengan udara sebanyak-banyaknya, melainkan menghidu aroma istriku yang masih tertinggal di ruangan ini meski tercium samar.

"Lu maafin aku" Hari ini tiga kata dalam satu kalimat itu aku gaungkan berulang-ulang. Meski kata-kataku itu tak sanggup untuk mengikis rasa bersalahku tapi setidaknya rangkaian kata itu bisa menggambarkan betapa aku sangat menyesal karena telah melukai Wilu.

Padahal dahulu aku berjanji pada diriku sendiri untuk bisa membahagiakan Wilu bagaimanapun caranya. Kebahagiaan Wilu yang aku renggut paksa dari Djati membuatku bertekad untuk mengutamakan kebahagian perempuan itu di atas segalanya. Namun nyatanya justru aku yang mendorong Wilu menuju ke dasar jurang kehidupan menggunakan kedua tanganku sendiri.

Deringan ponsel yang meraung dari dalam saku celanaku memunculkan setitik asa yang beberapa hari ini aku tunggu. Pengharapan menemukan Wilu dari orang-orang kepercayaanku yang telah aku sebar, selalu membuat deringan ponsel itu menjadi alarm yang paling aku nanti-nanti.

Namun saat aku melihat nama yang tertera di gawaiku membuat setitik asa itu berubah menjadi sendu. Ternyata panggilan dari Mama, bukan dari orang-orang suruhanku.

Aku menggeser logo gagang telepon berwarna hijau lalu melekatkan gawai itu ke telinga.

"Ya Ma...."

"Pulang ke rumah Mama. Ada seseorang yang menunggumu" Perintah Mama singkat namun dengan suara begitu dalam.

Aku menghela nafas panjang "Usir saja perempuan itu, Ma. Aku muak melihat mukanya" Siapa lagi kalau bukan Laras. Dia hampir setiap hari menyambangi rumah Mama, rumahku, dan kantor tempatku bekerja hanya untuk berusaha menemuiku.

"Menghindari dia juga tidak akan segera membuatmu bertemu dengan Wilu. Selesaikan masalahmu satu per satu. Pulang kemari dan temui perempuan itu"

Mama menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dariku. Itu tandanya perintah mama sudah tak bisa ditawar. Mutlak harus dilakukan.

Tanpa pikir panjang aku segera menyambar jaket dan kunci motorku. Aku mengeluarkan motor gede dengan kapasitas 600 cc dari dalam garasi. Kuda besi yang selama ini aku kandangkan karena Wilu selalu uring-uringan jika aku menggebernya di jalanan.

Aku masih ingat betul betapa Wilu sangat khawatir setelah mendapat telepon dari rumah sakit yang mengabarkan jika aku mengalami kecelakaan tunggal. Saat itu, aku harus menyambangi rumah sakit gara-gara motor yang aku kendarai tergelincir saat jalanan licin setelah turun hujan.

Wilu datang ke rumah sakit hanya dengan berbalut daster dan wajah yang belum sepenuhnya bersih dari masker. Cinta pertamaku itu kelabakkan mencariku dengan masuk ke bilik-bilik IGD tanpa permisi karena saking paniknya.

Setelah menemukanku, Wilu langsung menghambur ke pelukanku dan menangis tersedu. Tetapi sekian menit kemudian ia menyadari jika ternyata aku baik-baik saja, hanya kakiku yang terkelir karena tertimpa badan motor. Tanpa ampun Wilu langsung melayangkan beberapa pukulan ke arahku. "Bikin jantungan aja kamu, mas!" Amuknya bagai banteng yang kesurupan.

"Iya maaf Lu. Handphoneku pecah. Aku minta pihak rumah sakit buat hubungin kamu. Udah ya jangan marah lagi" Aku mencoba membujuknya untuk tidak mengamuk lagi karena kami jadi tontonan para tenaga medis dan pasien yang lainnya.

"Mulai sekarang aku ga mau liat kamu naikin Si Blacky. Pokoknya aku minta Si Blacky dijual" Titahnya yang tak ingin dibantah.

Blacky adalah julukan yang diberikan oleh Wilu untuk motor gede yang sedang aku kendarai sekarang. Warna hitam doff yang mendominasi warna motor itu membuat Wilu menjuluki motorku dengan nama Si Blacky.

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang