Setelah turun dari mobil, Rajendra berjalan cepat ke arah kamar tidur kami yang ada di lantai dua. Aku berusaha mengejarnya dengan berlari kecil untuk mengimbangi langkahnya yang lebar.
"Mas Jendra...."
"Mas Jendra...." Aku terus memanggil namanya karena ia seolah tuli mengabaikan teriakanku.
"Mas Jendra, tunggu..." Aku mengejar Rajendra bagai anak ayam yang pontang panting mengejar induknya.
"Tolong dengerin dulu kalau aku ngomong. Aku bakalan ngejelasin semuanya" Aku menahan lengan Rajendra yang hendak memutar handel pintu kamar.
Rajendra melepas pegangan tanganku yang menahan lengannya. Ia menghembuskan nafasnya kasar seolah lelah menghadapi rengekanku. Ia menoleh ke arahku. Tatapan Rajendra sungguh mengerikan.
Mata Rajendra memerah, seakan ada gelegak amarah dari balik sorot matanya yang tajam. Baru kali ini aku melihat Rajendra dengan wajah yang penuh dengan kemurkaan.
"Mau ngejelasin apa lagi?" Suara Rajendra sungguh dalam dan berat.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku mencoba memupuk keberanian untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi kepada Rajendra.
"Maaf kalau aku sudah bohong sama Mas Jendra.."
Rajendra memutar handel pintu lalu masuk ke kamar meninggalkanku yang belum selesai menjelaskan.
Aku langsung mengikuti langkah Rajendra, mengekor di belakangnya "Mas tolong jangan begini. Denger dulu..."
Rajendra berbalik "Denger apa lagi?" Suaranya setengah berteriak menusuk ke gendang telingaku.
"Dari kata minta maafmu itu berarti kamu sudah mengakui kalau kamu menjalin hubungan dengan Djati di belakangku" Rajendra menekan setiap kata-kata yang diucapkannya.
"Tapi Mas Jendra salah menduga. Hubunganku dengan Djati ga seperti yang mas pikirin. Kami hanya berteman Mas. Ga lebih dari itu. Tolong percaya sama aku"
Rajendra menatapku tajam. Tatapan matanya membuat nyaliku menciut seketika. Rajendra melangkahkan kakinya ke arahku. Refleks kakiku melangkah mundur ke belakang.
Dinding di belakangku menahan langkahku, membuat Rajendra mengikis jarak diantara kami. Tangan kanan Rajendra mencengkram rahangku kuat, membuatku meringis menahan sakit.
"Kalau maling mau ngaku penjara bakalan penuh" Sarkas Rajendra menusuk runguku.
"Sakit mas..." Cicitku pelan membuat Rajendra melepaskan cengkramannya.
"Berapa kali kamu tidur dengan.... si brengsek itu?"
Mataku membola tidak percaya saat pertanyaan menjijikkan itu keluar dari mulut Rajendra. Jantungku teremas kuat, sakit sekali ketika Rajendra menganggapku serendah itu.
Aku memang berbohong tapi Rajendra tidak sepantasnya menuduhku tidur dengan Djati. Bahkan dia belum mendengar penjelasanku tapi sekarang sudah melabeliku sebagai pezina.
Aku meraup udara sebanyak-banyaknya untuk menekan rasa gemuruh amarah yang menyesakkan dada. Dengan nafas yang memburu, aku setengah berteriak di depan muka Rajendra "Aku ga pernah tidur sama Djati"
"Jangan bohong!!" Murkanya dengan berteriak sambil menghantamkan kepalan tangannya ke dinding di samping wajahku.
"Ahhh..." Teriakku sambil menutupi wajahku.
Mataku spontan terpejam, tanganku gemetaran, dan akhirnya tangisku pecah. Badanku meluruh ke lantai. Aku begitu takut melihat Rajendra semurka ini.
Rajendra menatapku nyalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati (END)
Romance"Saya mohon maaf, tidak ada kantong janin di rahim ibu. Jadi bisa dikatakan kalau ibu belum hamil" Aku meremas rok yang kukenakan saat dokter kandungan menyampaikan hal itu. Sedih dan takut jika keluarga besar suamiku menanyakan kehamilanku. Aku mel...