Bab 8

13K 656 22
                                    

Kerumunan bocah berlarian di pinggiran danau dengan canda tawa mereka. Bahkan beberapa dari mereka sedang berenang menikmati sejuknya air danau kala mentari semakin tergelincir ke ufuk barat.

Aku mengamati mereka dari balik jendela kamar yang terletak di lantai dua. Melihat kelakuan bocah-bocah itu, aku mengulas senyum paksa -mencoba menghibur kondisi hatiku yang sedang terluka.

Nyatanya, seberapa keras usahaku untuk mencoba mempertahankan rumah tangga ini akhirnya berujung sia-sia. Rajendra tetap keras kepala memegang teguh keputusan yang telah ia ambil. Bahkan ia tidak sedikitpun memberiku kesempatan untuk membuktikan perselingkuhan yang ia tuduhkan kepadaku tidak pernah aku lakukan.

Dering ponsel yang meraung di atas nakas meminta perhatianku.

Nomor Mama Retno- ibu mertuaku terpampang nyata di layar gawaiku.  Aku mendesah kecewa, ternyata Rajendra benar-benar ingin secepatnya merealisasikan keinginannya untuk segera bercerai dariku.

Dengan hati enggan aku terpaksa menerima panggilan telpon dari Mama retno dengan menggeser logo gagang telpon berwarna hijau.

"Assallammuallaikum Ma" suaraku terdengar sengau karena hidungku mampet terlalu banyak menangis.

"Waallaikumsalam Lu, Mama ingin bicara sama kamu. Satu jam lagi Mama bakalan sampai" Suara mama terdengar serak seperti habis menangis.

Aku tahu pasti Rajendra sudah memberi tahu Mama tentang kondisi rumah tangga kami. Setelah ini aku yakin, aku akan dikuliti habis-habisan oleh keluarga besar Rajendra.

Aku hanya sendiri, tak punya siapa-siapa yang akan membelaku. Aku hanya mempunyai bayi ini. Satu-satunya penyemangatku di saat hidupku terjun ke dasar jurang.

Meskipun Rajendra dan keluarganya menolak bayiku dan tidak mengakuinya, aku akan tetap melahirkannya dan membesarkannya sendiri. Aku akan melindungi anakku dari siapapun yang tidak menginginkan kehadirannya.

"Ibuk bakalan jagain kamu. Ibuk bakalan jadi kuat demi kamu. Tolong bantu ibuk sayang..." Aku mengusap perut rataku dengan linangan air mata. Aku berharap calon bayiku kuat untuk bertahan di tubuhku yang ringkih ini. Hanya dia, bayiku satu-satunya orang yang tak akan pernah menghakimiku.

Ketukan pintu yang tadinya lembut berubah menjadi gedoran yang memekakkan telinga. Tamu itu tidak sabaran menungguku memakai jaket karena tubuhku merasa kedinginan. Entah mengapa tubuh ini menjadi manja. Mungkin karena efek hamil muda. Pikirku.

Aku bergegas menuruni anak tangga karena posisiku saat ini ada di lantai dua. Aku turun perlahan dan tidak buru-buru untuk menjaga kehamilanku.

Aku memutar handel pintu rumah lalu membuka daun pintu utama namun...

"Dasar perempuan ga ngerti diuntung"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku sampai-sampai badanku terhuyung ke samping. Rasa panas seketika menjalar di wajahku. Nyeri hebat bekas tamparan itu masih terasa meskipun aku sudah meredakannya dengan menekan bekas tamparan tadi. Mataku sampai berkaca-kaca karena merasakan sakit yang luar biasa.

"Mbak Yu!!" Mamah Retno meneriaki Budhe Galuh mungkin tidak menyangka jika kakak iparnya melakukan kekerasan fisik kepadaku.

Rajendra yang baru saja turun dari mobil ikut berlari ke arah kami. Ia turut serta memperingati Budhe Galuh. "Budhe semarah apapun budhe pada Wilu, tolong jangan sakiti Wilu. Wilu sedang mengandung saat ini"

"Tetapi iku dudu anakmu (Tetapi itu bukan anakmu)" Budhe Galuh menunjuk perutku dengan suara yang meninggi mengingatkan Rajendra bahwa orang yang ia bela sedang mengandung darah daging milik orang lain.

Aku memeluk erat perutku. Seolah-olah melindungini anakku dari orang-orang jahat yang tidak menyukai kehadirannya.

"Sebaiknya kita masuk dulu" Titah Mama Retno tak ingin di bantah.

Mama Retno, Budhe Galuh, Pak Lik Raharjo, dan Rajendra tengah duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"Wilu buatkan minum dulu"

"Ora usah! Awakmu gek lungguh ae neng kono (Ga usah! Kamu buruan duduk aja di situ)" Niat baikku di tolak mentah- mentah oleh budhe Galuh.

Aku mengikuti perintah Budhe Galuh untuk duduk di sofa tunggal di hadapan mereka berempat.

Terdengar hembusan nafas kasar dari Pak Lik Raharjo "Kok kamu tega banget to Lu selingkuh di belakangnya Rajendra. Emang kurange Rajendra itu apa?" Ucapan Pak Lik Raharjo bukan merupakan pertanyaan melainkan terdengar seperti kekecewaan yang ditujukan kepadaku.

"Aku ga selingkuh Pak Lik. Yang ada di dalam kandungan Wilu adalah anak Mas Jendra" Ucapku jujur.

"Halah, ora bakal maling iku ngaku! (Halah, ga bakal ada maling yang ngaku)" Budhe Galuh mematahkan ucapanku.

Budhe Galuh melempar beberapa foto di atas meja ruang tamu. Fotoku saat bersama Djati di cafe dan saat masuk ke beberapa hotel berserak di atas meja tersebut.

Aku menilik satu persatu foto itu. Hanya ada fotoku dan Djati. Tidak ada satupun foto dari Riana- tunangan Djati. Foto-foto itu diambil dari sudut yang membuat kami terlihat intim. Padahal situasinya tidak seperti itu.

"Mama sebenarnya tidak percaya kamu bakal menyelingkuhi Rajendra Lu. Mama mengenal kamu sudah tiga tahun ini. Dan Mama yakin kalau kamu ga mungkin nglakuin ini..."

Mama Retno terisak. Aku tahu jika perempuan paruh baya yang masih berparas ayu itu sangat kecewa denganku. Tapi aku bisa apa? Terlalu banyak yang menyudutkanku sampai-sampai aku tak bisa membela diri.

"Tapi bukti-bukti yang ada di hadapan Mama mebuat keyakinan Mama patah. Foto-foto kamu ke hotel, Rajendra yang melakukan kontrasepsi hormonal membuat Mama ga bisa lagi percaya sama kamu"

"Mama akan mendukung keputusan yang akan Rajendra ambil Lu. Jika memang keputusan yang terbaik berpisah, lebih baik kalian berpisah dengan cara baik-baik. Selesaikan urusan kalian berdua dengan tuntas dan jangan lagi ada dendam dan amarah"

"Dan kamu Jendra..." Mama menoleh ke arah Rajendra.

"Penuhi keinginan Wilu untuk mengajukan gugatan cerai setelah tiga bulan. Turuti permintaanya karena Mama juga menyetujui permintaamu.."

"Tapi Ma, Aku ga bisa ngeliat Wilu dengan perut besarnya wara wiri di rumah ini. Aku ga sanggup.." Rajendra keberatan dengan keputusan Mama Retno.

"Mesakke Rajendra to dek. Iku ga adil dinggo Rajendra. Awakmu kok malah abot karo wong wedok koyo ulo iki tinimbang anakmu dewe (Kasihan Rajendra dong dek. Itu ga adil buat Rajendra. Kamu kok malah lebih berat sama perempuan ular ini daripada anakmu sendiri)" Budhe Galuh turut serta membela perkataan Rajendra.

"Tolong Mbak Yu jangan ikut campur" Ucap Mama Retno dingin kepada Budhe Galuh.

Budhe Galuh langsung terdiam seribu bahasa melihat ekspresi wajah Mama Retno yang tak lagi bersahabat.

"Lu... bukannya Mama berat ke pihak Rajendra, tapi Mama minta tolong kamu meminimalisir untuk turun ke lantai bawah jika Rajendra sedang ada di rumah. Lantai dua milikmu dan lantai bawah milik Rajendra. Mama rasa itu bakalan adil untuk kalian berdua"

Aku hanya mampu tersenyum getir mendengar keputusan sepihak ini. Mereka hanya mendengar dari sudut pandang Rajendra saja karena bukti-bukti itu membenarkan dugaannya. Mereka membungkamku tak memberiku ruang untuk bicara.

Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan mereka. Jika pada akhirnya aku harus menjanda dan membesarkan bayiku sendirian aku akan sekuat tenaga melakukannya. 

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang