Aku duduk di sofa tunggal di ruang tengah dengan tatapan nyalang ke arah Rajendra. Laki-laki itu, laki-laki yang masih sah berstatus suamiku duduk di sofa tengah diapit oleh Mama Retno dan Laras.
Mama Retno membuang tatapan matanya ke luar jendela. Bagi beliau lebih menarik melihat tanaman-tanaman kering tak terawat itu daripada melihat calon mantan menantunya yang hina ini.
Sedangkan Laras hanya setia menunduk dengan tangan yang mengalung erat pada lengan Rajendra. Kepalanya menyandar pada lengan suamiku, bak putri kerajaan yang rapuh dan tak berdaya.
Berbeda dengan pria di hadapanku ini. Matanya menatap tajam ke arahku dengan kilatan amarah yang berkobar yang bersiap untuk menelanku hidup-hidup.
"Wilu..., kemarin Rajendra dan Laras sudah melangsungkan akad nikah...."
Air mataku tiba-tiba saja menerobos keluar tanpa bisa aku tahan. Jantungku seolah ditikam berkali-kali dengan belati tak kasat mata. Rasanya sungguh sakit yang teramat sangat. Sakit yang sudah tidak mampu aku gambarkan lagi.
Dadaku bak dihimpit dengan batu berton-ton beratnya. Hanya untuk bernafas saja rasanya paru-paruku tak mampu melakukannya.
Rajendra sungguh tega memaduku di saat pernikahan kami belum resmi diketok palu pengadilan.
Setelahnya aku hanya memejamkan mata. Menghalau rasa sakitku agar aku masih bisa waras menghadapi kenyataan ini.
Aku mencoba meredam isakanku agar tak terdengar. Meskipun dadaku serasa sesak lebih baik aku menelannya dan tidak memberi celah kepuasan pada keluarga brengsek ini.
Suara Pak Lik Raharjo yang mencoba menyalahkanku sebagai pihak yang bertanggung jawab karena masalah ini muncul, bagai dengungan lebah yang tak mampu runguku tangkap. Aku hanya fokus menatap nyalang ke arah Rajendra dengan tatapan terluka.
"Aku ingin bicara dengan Rajendra...."
"Hanya berdua..."
"Tolong tinggalkan kami" Aku memotong ucapan Pak Lik Raharjo yang masih setia menyudutkanku.
"Ga iso, sopo kowe? Kowe gur calon mantan. Laras bojone Rajendra sing saiki. Dadi Laras yo kudu melu rembugan gen ga salah paham (Ga bisa, siapa kamu? Kamu itu cuma calon mantan. Laras istrinya Rajendra sekarang. Jadi Laras ya harus ikut berembuk biar ga salah paham)" Budhe Galuh berkata dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjukkan jarinya ke arahku.
"Budhe cukup! Tolong semuanya tinggalkan aku dan Wilu. Kalian pulanglah ke rumah besar"
"Tapi mas..." Laras tampak tak terima dengan membantah ucapan Rajendra.
"Tolong ikut Mama. Aku akan menyusulmu kalau urusanku dengan Wilu sudah selesai.."
"Ayo Ras, nurut sama suamimu..." Budhe Galuh meraih tangan Laras.
Mendengar Budhe Galuh menyebut kata-kata 'suamimu..' membuatku tersenyum getir. Kata-kata itu mampu membuat hatiku remuk redam untuk kedua kalinya.
Keluarga Rajendra akhirnya berbondong-bondong meninggalkan rumah kami. Kini hanya tinggal aku dan Rajendra di ruang tengah ini.
Setelahnya kami berdua hanya saling diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Bahkan suara dari detik jarum jam dinding yang berputar justru terdengar begitu jelas. Rungan ini begitu sunyi, begitu dingin.
"Aku mau mencuci piring" Aku meninggalkan dudukku, mengayunkan langkahku menuju wastafel.
Ini hanya mimpi, ini tidak nyata, Rajendra dan keluarganya pasti sedang mengerjaiku. Entah mengapa batinku merasa tidak terima. Menolak kejadian yang baru saja meremukkan jantungku.
Aku mencuci piring kotor itu dengan telaten. Membersihkannya dari sisa-sisa krim kue coklat yang menempel.
"Aku sudah nikah sama Laras...."
"Dan aku sudah mengirimkan berkas gugatan cerai kita ke pengadilan..."
Aku menghentikan kegiatanku mencuci piring. Aku membalikkan badan lalu melemparkan piring yang sedang aku pegang ke arah tembok.
Serpihan-serpihan keramik itu menggores pipi Rajendra yang berdiri tepat di belakangku. Goresan tipis itu membuat darah segar mengalir dari pipi Rajendra.
Ucapan Rajendra mampu merubah rasa kecewaku menjadi amarah. Hatiku lebih remuk lagi saat pengakuan itu keluar dari mulut Rajendra sendiri. Hatiku memang lebih terluka namun tak ada tetesan air mata untuknya karena hatiku tiba-tiba saja berubah menjadi kebas.
"Baiklah. Kita bercerai" Aku menyetujui ucapannya. Akan aku permudah keinginannya untuk lepas dariku dan hidup bahagia dengan istrinya yang baru.
Aku meninggalkan Rajendra menuju ke kamarku yang ada di lantai dua. Aku mengeluarkan koper ukuran kabin dari dalam walk in closet. Koper lamaku yang aku bawa tiga tahun yang lalu untuk pindah ke rumah ini menjadi istri dari seorang Rajendra Satria Ahmodjo.
Aku mengambil baju-baju lamaku. Meskipun sudah usang dan ketinggalan zaman, namun baju ini aku beli dari hasil keringatku sendiri saat aku masih bekerja.
Aku menyisakan baju-baju yang aku beli menggunakan uang Rajendra. Harga diriku jauh lebih berharga daripada baju-baju mewah itu.
Rajendra rupanya mengekor di belakangku. Aku yakin tatapan matanya mengikuti gerakanku yang hilir mudik memilah-milah barang-barang yang aku bawa.
Aku mengemas barangku dengan gerakan cepat agar lekas selesai. Aku merasa muak menghirup satu udara di ruangan yang sama dengan Rajendra. Rasa cintaku yang begitu besar kepada Rajendra seketika berubah menjadi rasa benci yang juga begitu besar.
"Aku tinggalkan apa yang bukan menjadi hakku. Jika istri barumu itu tak suka bekasku, dia bisa menyumbangkannya ke orang lain. Tapi jika ia tak mau repot, silahkan jika ingin membakarnya" aku memberi opsi masukkan kepada Rajendra untuk mengurus barang peninggalanku.
"Kalau kamu ga selingkuh. Aku ga mungkin menikahi Laras"
Aku tersenyum getir.
Rajendra menjadikan alasan dugaan perselingkuhanku untuk membenarkan menikahi seorang perempuan tanpa restuku. Tanpa sepengetahuanku. Bukankah dia sekarang yang selingkuh?
Lagian seberapa keras aku meneriakkan kalau aku tidak berselingkuh dengan Djati di telinga Rajendra, dia tetap memilih menulikan rungunya. Bahkan ia tak mau repot-repot mencari kebenarannya dan hanya percaya pada beberapa lembar foto.
Andaikan saat ini Rajendra tahu kebenaranya juga akan percuma. Karena nasi telah menjadi bubur. Rajendra sudah menikahi perempuan itu dan menjadikannya madu untukku.
Kebenaran yang selama ini aku gaungkan sudah tak memiliki arti. Karena Rajendra telah melanggar janji pernikahan kami yang akan menjadikan aku satu-satunya di pernikahan ini.
"Apa kelebihan dia dibandingkan aku Lu..... Sampai kamu tega mengkhianati pernikahan kita" Kata Rajendra lirih namun cukup dalam tertangkap di runguku.
"Apa yang dia bisa beri buat kamu, sedangkan aku tak bisa..."
"Dia jauh lebih hebat di atas ranjang..." Kataku memutus ucapan Rajendra dengan mengatakan kebohongan.
Aku tersenyum remeh ke arah Rajendra. Menikmati raut mukanya yang merah padam dengan kilat amarah yang tergambar jelas di sorot matanya. Tangannya terkepal seolah menahan gelegak amarah yang memenuhi rongga dadanya.
Ayo Rajendra kita hancur bersama-sama. Aku tak mau hancur sendirian. Aku hancur, kamupun juga harus ikut hancur.
Harga dirimu terasa terinjak bukan? Ketika aku meremehkan kepayahanmu saat di atas ranjang. Aku tahu karena kaum laki-laki sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Termasuk Rajendra, sangat suka ketika aku memujinya saat kami menghabiskan malam bersama.
"Aku pergi..."
Aku mengeret koperku, namun saat melewati Rajendra, pria itu menahan lenganku.
"Aku meminta kepada orang tuamu dengan cara baik-baik dan aku akan memulangkanmu dengan cara yang sama"
Update lebih cepat di KBM dan Karyakarsa (link ada di bio 🤗)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati (END)
Romance"Saya mohon maaf, tidak ada kantong janin di rahim ibu. Jadi bisa dikatakan kalau ibu belum hamil" Aku meremas rok yang kukenakan saat dokter kandungan menyampaikan hal itu. Sedih dan takut jika keluarga besar suamiku menanyakan kehamilanku. Aku mel...