Bab 13

13.2K 678 40
                                    

Rajendra menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah ke dua orang tuaku. Ia lebih dulu turun tanpa menungguku. Aku menggeret koper, berjalan mengekor di belakang punggungnya.

Rajendra mengetuk pintu rumah yang segera dibukakan oleh Ratri. Nampak adik perempuanku yang baru duduk di bangku SMP itu tersenyum sumringah.

"Mas Jendra..." ucapnya riang.

"Bapak ibuk ada Tri?"

"Ibuk baru nyuci piring di dapur kalau bapak baru ke rumah pak RT. Paling bentar lagi pulang"

"Ibuk Mas Jendra sama Mbak Wilu dateng.." teriakan Ratri menggema membuat ibuk lari secepat kilat menyambut menantu kesayangannya. Ralat calon mantan menantu kesayangannya.

"Masuk Le, oalah kok ya ndak bilang-bilang kalau mau dateng. Tau gitu ibuk bakalan masak kesukaanmu. Hari ini ibuk cuma masak telur" ibuk tampak memunguti baju koko bapak dan sajadah yang tergeletak di ruang tamu. Kebiasaan bapak yang selalu menyampirkan kain-kain itu pada sandaran kursi setelah pulang dari masjid.

"Ratri... Ratri... buatin minum buat mas sama mbakmu" ibuk beteriak menyuruh Ratri yang sedang ada di dapur.

"Bentar yo Le. Ibuk beliin ayam bakar ke warung sebelah buat makan malam.."

"Ga usah buk. Jendra cuma ada perlu sebentar sama bapak sama ibuk"

"Loh.. loh.... kok cuma sebentar? Bukannya kalian mau nginep, kan bawa koper" ibuk nampak memperhatikan koper yang ada di sampingku. Namun ibuk tidak bisa melihat wajahku yang sembab karena wajahku aku bersembunyi di balik punggung Rajendra.

Setelah ini, hal yang aku takutkan akan terjadi. Perceraianku dengan Rajendra akan membuat senyum yang ada di wajah bapak dan ibuk memudar. Aku hanya takut orang tuaku ikut terluka dalam saat mengetahui pernikahanku yang akan segera berakhir.

"Ya sudah duduk dulu. Ibuk panggilkan bapak di tempat pak RT" saat ibuk melewatiku, aku memilih membuang muka ke arah berlawanan agar ibuk tidak memergokiku berwajah sembab. Aku hanya ingin mengulur waktu membiarkan bapak-ibuk merasakan kebahagian lebih lama lagi meskipun itu hanya beberapa menit saja.

Rajendra masuk lalu duduk di kursi ruang tamu. Aku ikut mengambil duduk namun berjarak dengan dirinya.

Aku mengamati jari manisku. Masih melingkar cincin kawin berwarma emas putih bertahta berlian yang dahulu disematkan Rajendra saat selesai mengucapkan ijab kobul. Aku tersenyum getir untuk kesekian kalinya.

Aku melepas cincin pernikahanku lalu meletakkannya di depan meja Rajendra. "Aku kembalikan" kataku dengan suara serak karena sehabis menangism

Rajendra mengambil cincin pernikahan itu lalu memasukkannya ke dalam kantong celananya tanpa mengucapkan apapun. Setelahnya kami sama-sama diam, tenggelam dalam pikiran kami masing- masing.

Dari luar jendela aku melihat bapak dan ibuk yang berjalan cepat. Aku meyakini jika kedua orang tuaku ingin segera memyambut menantu kesayangannya.

"Loh Le, kapan awakmu teko? (Loh nak, kapan kamu datangnya?)"

"Nembe pak (Baru saja pak)" Rajendra menyambut uluran tangan bapak lalu mencium punggung tangannya. Akupun ikut mencium tangan bapak setelah Rajendra melakukannya.

"Loh Lu opo awakmu bar nangis? Ono opo iki Le? (Loh Lu apa kamu habis nangis? Ada apa ini Nak?)" Bapak bertanya bingung, bapak menoleh ke arah Rajendra setelah menelisik mukaku yang aku yakini terlihat sembab dengan mata bengkak dan hidung yang memerah.

"Bapak ibuk tolong duduk dulu. Ada yang ingin Jendra sampaikan sama bapak sama ibuk"

Bapak ibuk menuruti ucapan Rajendra. Beliau berdua turut duduk di hadapan Rajendra.

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang