Tiba di IGD aku langsung diberi penanganan. Dokter jaga memintaku untuk rawat inap karena harus melakukan observasi lebih lanjut dengan kandunganku.
Aku menurut dan tidak membantah. Aku ingin bayiku selamat dan baik-baik saja. Setelah menunggu empat jam akhirnya aku dipindahkan ke kamar inap dengan selang infus yang menancap di lenganku.
Aku memilih bangsal kelas tiga karena keuanganku tidak memungkinkan untuk membeli kenyamanan yang ada di kelas VIP, bahkan kelas satu sekalipun.
Riana masih setia menemaniku yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Aku tahu ia menahan puluhan pertanyaan yang ingin ia tahu tentangku dan Rajendra. Namun ia memilih menunggu kondisiku membaik terlebih dahulu.
Aku mengabaikan Riana dan memilih memejamkan mata sebentar untuk mengistirahatkan tubuhku. Meskipun badanku masih sedikit panas, namun kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya.
Aku bangun dari tidurku dan melihat Riana yang tidur di kursi sambil menelungkupkan wajahnya di ranjangku. Pasti sangat tidak nyaman.
"Ri..., bangun" aku sedikit menggoyangkan tubuh Riana agar terbangun.
Riana menguap lebar lalu menutup mulutnya dengan tangan. Dia sedikit menggeliat "Jam berapa ini?" Tanyanya yang aku yakin ia masih dalam kondisi setengah sadar.
"Jam dua pagi. Pulanglah Ri. Aku sudah baikan. Besok kamu bekerja bukan? Kamu bakalan ga nyaman kalau tidur di sini. Kamu akan ngantuk dan ga fokus kerja buat besok"
"Ngomong-ngomong, makasih ya Ri udah mau nganterin aku ke rumah sakit" Ucapku tulus.
"Kamu masih hutang penjelasan Lu sama aku. Jangan pura-pura amnesia kamu Lu" Kata Riana menuntut.
Aku memiringkan badan menghadap Riana. Aku sebenarnya tidak ingin mengumbar aib rumah tanggaku. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa mengelak dari Riana saat ia meminta penjelasan dariku. Aku hanya berharap bercerita dengan Riana akan ada jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tanggaku.
"Aku dan Mas Jendra sedang bertengkar. Dia..... Dia menuduhku selingkuh sama Djati..."
"Tuh kan apa yang aku bilang..." Riana memotong ucapanku. Bahkan ia sampai berdiri dari kursi yang didudukinya karena saking terkejutnya mendengar masalah yang aku ceritakan.
"Aku sama Djati, kan... udah bilang Lu. Lebih baik kamu jujur sama Mas Jendra sejak awal kalau kamu temenan sama kita. Jadi runyam kan akhirnya kalau kamu kucing-kucingan gini"
Aku tahu, pasti Riana dan Djati akan menyalahkanku saat masalah ini muncul ke permukaan. Tapi mereka tidak mengenal Rajendra dan sifatnya.
"Bukanya aku membenarkan tindakanku Ri. Aku tahu aku salah karena udah membohongi Mas Jendra. Tapi kamu harus tahu kalau Mas Jendra itu sangat posesif dan pencemburu. Ruang gerakku terlalu dibatasi. Dia terlalu dominan dan mengontrolku..."
"Aku ga punya temen Ri. Cuma kamu sama Djati temenku. Aku tahu jika Mas Jendra bakal ngelarang aku ketemu sama kalian terlebih-lebih sama Djati. Aku hanya menunggu waktu yang tepat buat ngomong sesudah kalian menikah. Tapi malah ketahuan lebih dulu..."
Riana memijat pelipisnya "Aku bantu ngomong sama Mas Jendra kalau dia salah paham..."
"Makasih Ri tapi bukan sekarang. Aku sudah menawarkan opsi itu tapi Mas Jendra masih menuduhku kalau aku bisa mengarang cerita buat nutupin perselingkuhanku dengan Djati. Aku akan menghubungi kamu saat kondisi sudah agak mendingan"
"Ya udah, terserah kamu. Aku sama Djati ngikut aja. Aku pulang ya Lu. Tapi hari ini aku harus keluar kota selama empat hari. Jadi aku ga bisa nengokin kamu"
"Makasih ya Ri. Kamu temen yang paling baik yang aku punya..."
"Jangan ngomong gitu dong Lu. Aku kan jadi syedih.... Minta peluk..." Riana memeluk tubuhku yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Aku menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan Riana yang sedang merasa terharu.
****
Dobel sial, itu yang aku alami sejak hari pertama terbaring di rumah sakit ini.
Setelah kepergian Riana, aku tidak menemukan ponselku sama sekali. Ponselku hilang entah kemana. Aku mencoba menghubungi nomerku berulang-ulang dengan meminjam ponsel milik pasien di sebelahku namun hasilnya nihil. Nomerku sudah tidak aktif.
Akhirnya aku mengirim pesan kepada Rajendra untuk memberitahu jika aku masuk ke rumah sakit melalui ponsel pinjaman itu.
Namun sayangnya tidak ada balasan dari Rajendra setiap kali aku menanyakan berulang-ulang kepada pemilik ponsel yang aku pinjam. Padahal Rajendra membaca pesan yang aku kirimkan karena ada notif terbaca dari aplikasi itu.
Bahkan di hari ketiga aku mengirim pesan kembali. Aku baru menyadari ternyata nomer yang aku gunakan diblokir olehnya. Ternyata seabai itu Rajendra kepadaku. Bahkan saat aku terkapar di rumah sakit sampai seperti ini, dia tetap tidak peduli.
Akhirnya di hari keempat ini, aku diperbolehkan pulang oleh dokter kandungan yang memeriksaku. Aku diharuskan bedrest untuk beberapa hari dan dilarang untuk melakukan aktivitas yang berat dan melelahkan.
Aku akan menurut apa kata dokter. Aku akan mengajukan cuti bekerja untuk beberapa hari kedepan. Aku akan meminta Ella untuk menyampaikan cutiku ke HRD melalui telepon rumah.
Yang terpenting sekarang, aku harus pulang terlebih dahulu untuk menjelaskan kepada Rajendra agar tidak timbul salah paham yang lebih besar.
Aku meminta perawat untuk memesankan taksi. Setelah taksi datang, aku pamitan kepada perawat yang menjagaku. Mereka sungguh baik, mau membantuku disaat tidak ada keluarga yang mendampingi.
Aku masuk ke dalam taksi tanpa membawa barang bawaan. Hanya baju yang melekat di badan dan sebuah dompet yang aku masukkan ke dalam plastik berwarna hitam.
Aku memandang ke luar jendela selama perjalanan menuju rumah. Nampak gumpalan awan kelabu yang sebentar lagi akan menumpahkan beban yang tidak mampu ia rengkuh. Aku hanya berharap, aku akan sampai di rumah sebelum berkah dari langit itu membasahi bumi.
Suara dari supir taksi menyadarkanku dari lamunan. Asyik memandangi awan sampai sampai aku tidak menyadari jika taksi sudah berhenti tepat di depan rumah.
Aku memberikan beberapa lembar uang dan tak lupa mengucapkan terimakasih sebelum keluar dari mobil.
Aku meraup udara semampuku, berharap setelah aku menjejakkan kakiku dirumah ini Rajendra akan mau mendengarkan penjelasanku agar tidak timbul prasangka yang lebih besar. Bahkan aku membawa rekam medis kesehatanku yang aku masukkan kedalam plastik berwarna hitam sebagai bukti jika aku habis dirawat di rumah sakit.
Aku membuka pintu gerbang rumah. Namun pemandangan pertama yang aku tuju membuat dahiku berkerut samar. Aku menyimpan tanya di dalam kepalaku.
Ada beberapa mobil yang terpakir rapi di halaman rumah Rajendra. Apakah sekarang keluarga besar sedang berkumpul? Aku hanya berasumsi karena di sana ada mobil milik Budhe Galuh dan Pak Lik Raharjo yang sudah aku hafal.
Aku mengetuk pintu, merasa sungkan jika ternyata dugaanku benar rasanya kurang sopan kalau aku langsung masuk.
Handel berputar lalu daun pintu terbuka separuh. Mama terlihat muncul dari belakang pintu, "Mama...." lirihku.
Spontan aku menyalami Mama Retno namun tiba-tiba saja beliau menarik tangannya membuat tanganku menggantung di udara.
Mama Retno hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Beliau hanya menatapku kecewa tergambar jelas dari sorot matanya.
"Siapa Ma..?"
Suara perempuan menyentak runguku. Perempuan itu ikut memanggil Mama Rajendra dengan sebutan Mama. Dan saat ia mendekat, aku tahu jika perempuan yang ada di dalam rumahku adalah Laras...
Update lebih cepat di KBM dan Karyakarsa (link ada di bio 🤗)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati (END)
Romance"Saya mohon maaf, tidak ada kantong janin di rahim ibu. Jadi bisa dikatakan kalau ibu belum hamil" Aku meremas rok yang kukenakan saat dokter kandungan menyampaikan hal itu. Sedih dan takut jika keluarga besar suamiku menanyakan kehamilanku. Aku mel...