Delja hampir lupa betapa menyiksanya menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Belum lagi, tanah di bawahnya serasa bergoyang-goyang karena baru kemarin dia turun dari kapal.
Walau tidak mengatakan apa-apa, tetap saja Namar menoleh ke arahnya dengan tatapan khawatir. Semalam Delja sudah bercerita soal sihirnya lebih lanjut dan efek yang menimpanya selain kebisuan. Proses penceritaannya memang panjang dan membuat Delja berkeringat karena menggerakkan tubuhnya sampai lelah demi menunjang cerita. Dia bahkan harus mengapresiasi kesabaran Namar dalam mencoba memahami apa yang disampaikan.
Namar sempat melarangnya ikut setelah mendengar cerita lengkapnya, tetapi Delja bersikeras pergi. Lagi pun, rasa sakit itu akan menghilang kalau Delja bisa mengalihkan pikiran.
"Tadi pagi saat aku membangunkanmu, kau mendengkur seperti babi," Namar menyeletuk tiba-tiba.
Delja tidak langsung bereaksi. Dia lupa yang mana babi itu. Apakah yang berkaki dua? Atau berkaki empat?
Mereka berjalan melewati sebuah kandang, di mana terdapat dua ekor hewan berkaki empat, bertubuh besar, dan bertanduk. Apa itu babi?
"Itu sapi, dasar konyol," tegur Namar ketika menyadari kebingungan Delja. "Babi itu yang suaranya seperti ini."
Namar menekan hidungnya, lalu mulai membuat suara mengorok yang langsung mengingatkan Delja pada hewan yang dimaksud.
Enak saja! Delja memprotes. Kau yang mirip babi!
Sayangnya Namar tidak mendengar dan sibuk tergelak melihat ekspresi kesal Delja.
"Betapa akrabnya kalian berdua."
Marius yang semula berjalan di belakang kini mensejajarkan langkah dengan mereka. Pria tua itu mengulas cengiran mengejek ke arah Namar.
"Harus kuakui, ini lebih menyenangkan dibandingkan bicara dengan pria tua yang selalu memancing emosiku."
Seperti biasa, Marius tidak ambil hati dan malah menepuk keras bagian belakang punggung Namar sambil tertawa. "Aku turut senang kau menemukan teman baru. Tapi jangan terlalu terikat padanya. Segera setelah kita berlayar kembali, kau akan merindukannya."
Delja menunjuk kedua orang itu, lalu menunjuk dirinya. Aku ikut kalian.
"Hah?" Marius mengerutkan dahi. "Kau bilang apa?"
Aku. Ikut. Kalian. Delja mengulang lebih pelan sampai pria itu paham. Marius nyaris tertinggal selangkah karena terpaku sejenak tatkala dia berhasil memahami dan memproses kata-kata tersebut.
"Nona Namar," Marius berucap lebih serius, "aku tahu kau susah punya teman-"
"Enak saja!" sela Namar, kesal.
"Tapi haruskah kau bawa dia?" Marius memelankan suara. "Kau tahu sendiri kapten sedang...." Pria itu memilih tidak melanjutkan.
"Kau akan terkejut jika tahu alasanku membawanya," ujar Namar. "Percayalah padaku, Rius."
"Dan apa alasannya, kalau aku boleh tahu?"
Namar mengulas senyum miring. "Tidak asyik kalau kuberi tahu sekarang."
Dengan sorot tidak percaya, Marius menggeleng-geleng kecil. "Semoga kau memang punya alasan yang bagus untuk menyeret gadis malang ini ke Red Plague, nona. Istriku akan menanyaimu habis-habisan."
"Silakan saja. Kalau aku jadi dia, pasti aku juga tidak mau gadis seperti Delja ikut bersama kita."
Delja bersedekap dari samping, ingin tersinggung tapi sadar kalau Namar ada benarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Heart for A Heart
FantasyDelja mengorbankan segala sesuatu untuk pria itu. Pada akhirnya yang didapatkan hanyalah hati yang patah. | • | Ketika Delja, seorang putri duyung, jatuh cinta kepada manusia, dia mengorbankan banyak hal demi mewujudkan angan-angan cinta sejati. Naa...