VIII. A Heart for a Heart

109 18 12
                                        

Dermaga sedang sepi malam itu, memberi Delja dan Namar kesempatan untuk menyelinap. Berbekal lentera sebagai penerangan, tak lupa membawa jurnal yang telah diambil atas seizin Frade Hugo, keduanya mencari posisi yang paling dekat dengan lautan untuk menemui saudari-saudari Delja.

Semenjak berada di Red Plague, Delja yakin kelima saudarinya juga mengikutinya. Dia telah melihat kelebatan ekor mereka berkali-kali, walau tidak pernah berkesempatan bertatap muka karena kru kapal yang aktif menjaga kondisi sekeliling siang-malam. Sekarang, kalau mereka bisa mencari lokasi yang sepi namun dekat dengan lautan, niscaya Delja bisa meminta bantuan mereka.

"Kau yakin saudari-saudarimu bisa membantu?" Namar masih kedengaran sangsi.

Delja mengangguk.

"Tapi kalaupun mereka bisa menerjemahkan, aku tidak akan paham apa maksudnya."

Walau itu ada benarnya, masalah tersebut bisa dipikir nanti. Yang penting mereka perlu bantuan untuk menerjemahkan terlebih dulu. Itu sudah selangkah lebih maju dibandingkan tidak melakukan apa-apa.

"Apa mereka menggigit?" tanya Namar

Delja menoleh ke belakang dengan salah satu alis dinaikkan. Takut?

"Takut apanya?" Namar berkilah. "Aku sudah berhadapan denganmu saat usiaku enam tahun!"

Iya, iya. Sebelum si Camar berkuak kian kesal, Delja memilih mengalah.

Setibanya di dermaga, keduanya berjalan sampai ke paling ujung. Delja menaruh lentera di sebelahnya dan duduk di tepian. Dengan bantuan sepatunya, secara hati-hati Delja membuat riak di permukaan air.

"Kau yakin mereka akan datang?" Namar mengawasi dengan waspada. "Apa kau bahkan yakin mereka ada di sekitar...." Kata-kata Namar menguap ke udara. Gadis itu berlutut dengan satu kaki di sebelah Delja ketika melihat pergerakan di balik permukaan air.

Sebuah kepala menyembul ke atas, menunjukkan tatapan tajam dari kakak tertua Delja. Nerissa tidak bereaksi begitu baik ketika melihat Namar. Langsung saja dia mendesis galak.

Nerissa! Delja melambaikan tangan di depan sang kakak. Tidak boleh! Dia teman!

Kalaupun sang kakak tertua memahami gestur tubuhnya, tetap saja dia melirik Delja dengan tatapan menuntut jawaban.

Namar mengerutkan dahi. "Kenapa kau botak?"

Yang benar saja? Delja mendelik kesal ke arah gadis itu.

Nerissa mengulurkan tangannya ke arah Delja, menyerahkan sebuah cangkang dari siput laut yang terikat dengan tali. Diraihnya benda tersebut dari Nerissa dan sang kakak langsung mengisyaratkan agar Delja dan Namar mendekatkan benda itu ke telinga mereka.

Di sisi lain, Nerissa meraih cangkang miliknya yang tergantung pada leher, lalu bicara ke arah cangkang kosong itu.

"Dasar Delja bodoh!"

Delja dan Namar sama-sama tersentak.

"Bisa-bisanya kau menukar ekormu dengan kaki!" Nerissa lanjut memarahinya. "Kau tidak tahu sudah selama apa aku ingin mengatakan hal itu kepadamu secara langsung! Sekarang, mana belati yang kami berikan?!"

"Belati itu tidak ada di sini," Namar membantu menjawab ke arah kerang milik Delja, alhasil membuat amarah kian berkilat di mata Nerissa.

"Lalu siapa kau?!"

"Aku orang yang menyelamatkan saudarimu, karena kebetulan dia juga pernah menyelamatkanku," Namar membalas, jengkel mendengar nada galak itu.

Sudah bukan rahasia kalau kakak pertama Delja agak pemarah dan kerap memasang wajah angkuh. Delja hanya bisa pasrah ketika Nerissa kembali bicara, "Biar kutebak. Pakaian berantakan, bertindik, kasar. Pasti bajak laut."

A Heart for A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang