V. Forgotten Past

125 24 8
                                    

Delja cukup yakin Namar akan tertawa sebentar lagi dan mengatakan betapa bodohnya Delja jika memercayai semua kata-katanya barusan.

Tetapi, mulai dari cara gadis itu bisa menebaknya dalam sekali coba serta pertanyaan blak-blakannya mengenai identitas Delja sudah menjadi pertanda bahwa Namar tahu sesuatu.

Lalu, kenapa Delja tidak ingat apa-apa?

"Jadi, kau bukan manusia." Namar bersedekap. "Kau seekor duyung."

Delja sontak menaruh telunjuk ke bibir, menyuruh Namar diam. Matanya memeriksa kalut ke arah pintu kamar yang masih terbuka, berharap tidak ada yang mendengar. Namar pun bergegas menutup pintu, lalu menarik Delja duduk di tepi ranjangnya.

"Aku punya banyak pertanyaan," ungkap Namar.

Delja menunjuk dirinya sendiri, pertanda dia juga demikian. Bagaimana bisa, kenapa, sejak kapan, siapa, semua jenis kata tanya ingin dia gunakan.

"Semula aku memang ragu itu kau, tapi dari penampilan serta nama, jelas kau orang yang sama," Namar berujar lebih pelan.

Delja tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak tahu apakah ada cara untuk mengungkapkan semua pertanyaan di kepalanya dalam sekali waktu. Tapi hal pertama yang ingin dia ketahui adalah bagaimana Namar bisa mengenalnya. Dia cuma mengisyaratkan pertanyaan 'bagaimana' dengan tangan, lalu menunjuk dirinya dan Namar.

"Sudah kubilang kau menyelamatkanku. Kau sungguh lupa?" Namar masih tidak percaya, tetapi Delja mengangguk kuat-kuat. Dia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi.

Ada ketidaknyamanan yang sulit Delja pahami di wajah Namar. "Kau lupa segalanya?"

Delja memberi satu anggukan lebar.

"Lima belas tahun lalu saat kapal yang kunaiki terhantam badai, aku jatuh ke laut dan kau membantuku naik ke sebuah sekoci yang lepas dari kapal," Namar menceritakan. "Lalu selama aku terapung di lautan, kau menemaniku."

Delja hanya bisa ternganga mendengar cerita yang sama sekali tidak diingatnya itu. Mustahil dia bisa melupakan hal sedemikian besar.

"Kecuali, kau punya kembaran yang kebetulan bernama Delja juga?"

Delja membantah. Hanya dirinya yang punya nama itu dan rambut sewarna batu kristal ini. Tidak mungkin ada yang lain. Selain itu, bukankah Delja kehilangan batunya pada usia yang sama ketika Namar mengaku diselamatkan olehnya?

"Kenapa kau... bagaimana...." Tatapan Namar berpindah ke bawah, tepat ke arah kaki Delja.

Ceritanya panjang, Delja berkomat-kamit. Dan aku tidak ingat soalmu.

"Bicaralah pelan-pelan," potong Namar. "Aku tidak bisa mengikuti kalau terlalu cepat."

Bisa-bisanya gadis itu menyuruh Delja bicara pelan padahal situasi ini terlalu di luar nalar sampai Delja kesulitan untuk mengendalikan mulutnya. Namun Delja menuruti, tidak lupa berusaha menambah gerakan tangan agar Namar dapat memahaminya.

"Itu dia yang aneh, kau tidak ingat padaku," Namar menyetujui. "Walau tidak memahami bahasa satu sama lain saat itu, tapi kita jelas pernah berkenalan."

Mendengarnya semakin membuat Delja tidak habis pikir. Mendadak saja kepalanya terasa pening karena mereka membicarakan sesuatu yang tidak ada dalam ingatannya. Pada saat bersamaan, semua ini tidak mungkin dibuat-buat oleh Namar.

"Menilai dari... perubahanmu yang sangat signifikan serta kebisuanmu, kuduga ada campur tangan sihir di sini."

Delja segera membenarkan dengan semangat menggebu-gebu.

A Heart for A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang