XXII. A New Dawn

88 16 9
                                    

Sorak-sorai telah terdengar dari jarak jauh. Berbekal bantuan dorongan saudari-saudarinya sekaligus ombak yang mendukung, sekoci yang dinaiki Delja beserta Kapten Ilona dan Elijah pun mendekat ke kapal. Kebahagiaan kru Red Plague tidak kunjung mereda dan malah mengeras tatkala melihat sang kapten dari jarak dekat, kembali sadar dan membalas lambaian mereka dengan senyum sumringah untuk menyembunyikan kebingungan yang masih menderanya.

"Aku tidak percaya," Kapten Ilona bergumam. "Sudah setahun aku terkena Ratapan Siren dan intendanku bekerja sama dengan duyung?"

"Memang sulit dipercaya, kapten," sahut Elijah. "Tapi itu tidak sia-sia, bukan?"

Kapten Ilona memijat kepalanya. "Aku benar-benar harus bicara pada Namar." Dia menurunkan kepala, mengendus tubuhnya. "Kenapa aku berbau sebusuk ikan mati?"

"Kurasa karena Anda baru saja masuk ke mulut paus sebelum kita dimuntahkan ke badai," Elijah menjawab, membuat wajah Kapten Ilona kian melongo. Delja hanya meringis, karena dia memang melewatkan detail soal saat-saat terakhir perjalanan mereka. Dia hanya menceritakan sampai pertarungan yang terjadi di kapal.

"Kalian gila," bisik Kapten Ilona. "Berlayar ke Lautan Jiwa yang Mengembara demiku? Seharusnya kalian tenggelamkan saja tubuh tua ini."

"Sayangnya Namar beranggapan Anda belum setua itu." Senyum terulas di bibir Elijah. "Dan para kru yang ikut telah siap bertaruh nyawa, termasuk Namar, Delja, dan saya sendiri. Walau harus diakui, pertarungan dengan Eryk jauh lebih mengancam nyawa dibandingkan tantangan lainnya."

Kapten Ilona mendengus keras. "Akan kuajak bicara pangeran gila itu. Beraninya dia membuat kekacauan demi seorang gadis?!" Wanita itu menoleh ke arah Delja. "Yah, kendati aku bisa memahaminya."

Merasa malu atas segala kekacauan yang ditimbulkannya, Delja menggumamkan maaf, nyaris tidak terdengar. Tetapi tepukan keras di pundak membuat Delja nyaris terjungkal ke depan. "Jangan terbebani oleh kegilaan seorang pria, Nak. Terkadang mereka harus belajar dengan cara yang keras."

Setibanya di atas kapal, kebahagiaan bergaung pada setiap papan kayu yang membentuk Red Plague, menggentarkan lantai yang mereka pijaki. Kapten Ilona langsung bersalaman dan menepuk bahu kru lelaki, serta tanpa sungkan memeluk yang wanita. Biarpun kapten, tatapannya tetap dipenuhi rasa hormat kepada para awaknya.

"Tidak ada rasa terima kasih yang layak untuk membalas perjuangan kalian," ujar sang kapten ketika keriangan mereda. "Tapi terlepas dari betapa bahagianya aku, tetap kita perlu mengadakan upacara pemakaman yang layak kepada awak kita yang telah berjuang."

Semua kru mengangguk kepala secara serentak. Merasa bahwa dia telah memberi kata sambutan yang cukup, Kapten Ilona segera meninggalkan geladak dan memasuki lorong kabin. Delja menyusul dari belakang, yakin bahwa tujuan mereka berdua sama.

Di saat bersamaan, Jeanne baru keluar dari kamar Namar. Mata wanita itu terbuka lebar, segera menyambut Kapten Ilona dengan pelukan. Tanpa ragu, selayaknya dua teman yang sudah lama terpisah, sang kapten membalasnya.

"Bagaimana Namar?" tanyanya. "Gadis duyung ini sudah cerita."

"Aku memberinya obat dari kakak-kakak Delja. Demam Namar lumayan reda berkatnya," ujar Jeanne. Kapten Ilona mengangguk, kemudian memasuki kamar.

Wanita itu berhenti tidak jauh dari pintu masuk, mengamati Namar yang terbaring dalam keadaan terlelap. Delja berdiri di samping Kapten Ilona, baru menyadari betapa tinggi dan kokohnya tubuh wanita itu dibandingkan dirinya.

Kapten Ilona berdecih sambil mendekati Namar. Dengan penuh kehati-hatian dia duduk di tepi ranjang, mengusap-usap kepala gadis itu.

"Dia paling suka disayang seperti ini," Kapten Ilona berkata pada Delja. "Jangan bilang aku yang bocorkan."

A Heart for A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang