XVIII. A Bitter Truth

91 14 9
                                    

Terjebak di mulut ikan adalah hal terakhir yang Namar inginkan. Pertama, itu membuatnya menangis sampai sisa tenaga meninggalkan tubuhnya, berujung membuatnya menggigil tanpa henti. Kedua, dia dibuat waswas karena menunggu saat-saat akan ditelan. Ketiga, dan yang paling Namar benci, adalah aroma busuknya.

Di tengah kegelapan, Namar tidak bisa melakukan apa-apa selain meringkuk di dasar sekoci sambil berusaha memejamkan mata. Dia bisa merasakan Delja di sebelahnya, mengusap-usap kepalanya sambil bersenandung lirih. Nyanyian itu menjadi satu-satunya yang membuat Namar tenang. Otot tubuhnya sedikit lebih rileks ketika lelah mulai mengambil alih. Peduli amat dengan makan dan minum. Namar hanya ingin tidur.

Entah berapa lama mereka di sana, dalam kegelapan pekat. Namar lumayan yakin dirinya sudah mati, dan nyanyian itu berasal dari para penjaga gerbang surgawi. Ketika sekoci berguncang hebat dan cahaya kembali menyinari matanya, Namar tetap berada dalam kegelapan total.

⋆.ೃ࿔*:𓇼⋆.ೃ࿔*:⋆

Namar terbangun sambil terbatuk-batuk. Sengatan sakit hinggap di setiap sendi yang dimiliki dan panas membara bagaikan terjadi kebakaran di dalam tubuhnya.

Sebuah tangan membelai wajah Namar. Lalu bibirnya kembali disentuh benda yang keras, serasa seperti disuapi sesuatu.

Terdengar suara Delja dari samping, ditanggapi oleh sebuah suara yang lebih dewasa. Suapan itu kembali terasa, kali ini Namar bisa merasakan sesuatu yang asin saat memasuki mulut, tetapi meninggalkan manis samar di lidah.

Senandung tanpa kata mengalun. Nyanyian yang tak kalah merdunya dari suara Delja, bahkan jauh lebih indah. Namar sampai memaksakan matanya agar terbuka untuk mencari tahu siapa sosok itu, walau harus melawan sensasi berat di kepalanya yang membuat pandangan berputar-putar.

Mama? Namar merasakan bibirnya bergumam.

Senandung itu terhenti, demikian pula usapan di kepala Namar. Semakin jelas matanya melihat, Namar mendapati seorang wanita dewasa sedang memangkunya. Rambut wanita itu biru gelap seperti lautan menjelang badai. Mata kuningnya yang berkilau mengamati Namar tanpa kata.

Lalu dari sebelahnya, sebuah tubuh kecil terjulur untuk ikut mengamati.

"Namar!" Delja memanggil senang.

Namar berkedip beberapa kali sebelum berusaha untuk bangun, dibantu oleh si wanita dewasa. Walau sempat berharap si wanita adalah manusia, harapan tersebut harus pupus ketika Namar melihat ekor biru gelapnya, dengan ujung transparan berkilauan yang meliuk-liuk.

"Matka, etna xynio!" Delja berucap kepada ibunya.

"Etna akrom zesta," sang ibu membalas dengan suara lembutnya. Tangannya kembali terulur pada Namar untuk memegang dahinya. Si wanita punya tangan dingin yang lembut, nyaris mengingatkan Namar pada tangan Mama.

Jangan menangis lagi, Namar mengingatkan dirinya, tapi dia tidak bisa membendung air mata. Dia mau Mama.

Ibu jari wanita itu segera menyeka air mata Namar. Kedua tangannya menangkup pipi Namar. "Mid klais, kalea nous," dia berujar lembut. "Ta dakriy sau eina polytias."

Kendati tidak paham sama sekali dengan ucapannya, jelas wanita itu tidak jahat. Delja pun ikut mengulurkan tangan untuk mengusap wajah Namar, lalu menepuk-nepuk kepalanya. "Namar e kalea nous. Mid klais."

Si wanita melepas tangannya dan meraih sebuah cangkang keras. Di atasnya terdapat potongan daging yang mirip dengan daging ikan. Semula Namar menutup mulut dengan kedua tangan, menolak keras ketika disuapi. Tapi si wanita terus membujuknya. Belum lagi, dia mencoba menyuapinya kepada Delja seolah hendak menunjukkan bahwa daging itu enak.

A Heart for A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang