Sudah tiga hari semenjak Delja dinaikkan ke kapal ini. Dia masih tidak tahu ke mana dirinya akan dibawa.
Setahu Delja, dia akan dijual sebagai budak ke kerajaan seberang. Semua pelayan dan prajurit membicarakannya keras-keras begitu lewat di depan kurungan Delja sewaktu dirinya masih di penjara kerajaan. Eryk pun tidak menunjukkan niat untuk mengunjunginya. Malah, pria itu mungkin sudah menikmati kehidupan pernikahannya bersama Lady Aleksandria.
Di ruangan kecil lembab dan berjeruji itu, Delja tidak sendirian, sebab beberapa gadis dan pemuda juga senasib dengannya. Mereka ditempatkan pada kerangkeng besi terpisah, sama-sama terdiam menerima nasib. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan di penjara yang Delja huni. Yang terdengar hanyalah ratap tangis yang sesekali lolos dari beberapa perempuan.
Delja menunggu kesedihan itu datang padanya juga. Dia bertanya-tanya kapan gilirannya menangis. Tapi, rasanya dia sudah cukup membuang air mata khayalan untuk saat ini. Dia cuma ingin duduk diam, menyelami kegelapan dan rasa sakit terpendam yang tidak dapat diungkapkan dengan kata atau bahasa apa pun.
Eryk membuangnya. Pemuda yang Delja cintai selama tiga bulan belakangan kini mengirimnya pergi sebagai budak dengan mudahnya tanpa berpikir dua kali. Rasanya Delja bukanlah manusia, tetapi barang yang dengan mudah bisa dioper ke pemilik berikutnya asal dibayar.
Delja sudah melewatkan jadwal makan selama dua hari ketika masih di penjara. Satu-satunya yang dia lakukan hanyalah minum. Dia menyesalinya karena setelah itu, tiga hari berikutnya dia terjebak dengan makanan tidak enak di kapal, serta air laut yang sama sekali tidak bisa dia minum.
Delja mau sekali meneguknya, berharap dengan demikian air laut akan menghancurkannya dari dalam. Delja sudah mencoba, mengabaikan rasa sakit bak menelan pecahan gelas yang memenuhi mulutnya itu. Pada akhirnya, dia tidak cukup kuat dan memuntahkan kembali air laut sebelum benar-benar berefek padanya.
Kalau dia tidak mati, apa yang bisa dia lakukan? Menjalani hidup menyedihkan seperti sekarang jelas bukan sesuatu yang Delja impikan. Mungkin dia bisa berdoa agar kapal ini terhantam badai. Dengan demikian, Delja akan lolos dari segala penderitaannya.
Akan tetapi, doa yang dipanjatkan adakalanya dijawab dengan cara yang berbeda.
Delja mendengar seruan dari para awak kapal. Langkah kaki berderap bolak-balik, membuat semua penghuni kurungan ikut bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi di geladak utama. Ada satu kata yang Delja dengar berulang kali. Bajak laut.
Bisik-bisik mulai menyebar ke seluruh jeruji, dari satu tahanan ke tahanan lain. Tidak cuma para perempuan, bahkan para pemuda pun turut mengantisipasi apa yang hendak terjadi nantinya.
"Aku sudah menduganya," bisik seorang perempuan berambut pendek di sebelah Delja kepada gadis berambut pirang di sampingnya lagi. "Lagi pula, sejak kapan kondisi di Laut Erllian aman?"
"Tapi Red Plague dipimpin oleh perempuan, benar?" tanya si rambut pirang. "Dengar-dengar gadis yang cantik akan dinikahkan kepada awak kapalnya, sementara yang bertampang biasa saja akan dilepas."
Si rambut pendek menghela napas. "Baru kali ini aku bersyukur berwajah jelek." Lalu, tatapan mereka tertuju kepada Delja. Ada sorot keprihatinan di mata keduanya.
"Tidak apa-apa," si rambut pirang menenangkan Delja tanpa diminta. "Red Plague adalah golongan bajak laut paling berjaya. Kau tidak akan kekurangan apa pun di sana."
Cara mereka bicara menyiratkan bahwa Delja sudah pasti diambil sebagai istri oleh bajak laut Red Plague. Tapi Delja tidak ingin menampik kenyataan bahwa tampangnya termasuk cantik bagi kaum manusia. Walau itu pun tidak membawanya kebaikan apa pun selain diperistri bajak laut.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Heart for A Heart
FantasíaDelja mengorbankan segala sesuatu untuk pria itu. Pada akhirnya yang didapatkan hanyalah hati yang patah. | • | Ketika Delja, seorang putri duyung, jatuh cinta kepada manusia, dia mengorbankan banyak hal demi mewujudkan angan-angan cinta sejati. Naa...