Pertemuan yang ditakutkan Namar sudah dimulai keesokan harinya—gadis itu tidak mengaku takut, tapi Delja bisa melihat ketegangan yang berusaha Namar sembunyikan.
Pagi itu dimulai dengan Marius yang sedang sibuk mengobrol dengan Namar saat Delja baru bangun. Mereka berdiskusi begitu serius bersama beberapa awak lainnya. Ketika selesai, semua orang pergi dan Namar buru-buru mengenakan kemeja luarnya serta memasang sepatu.
Melihat Delja masih bergelung dalam selimut sambil menatapnya dengan kebingungan, Namar berkata, "Kau di sini saja, ya? Nanti malam kita keluar menemui kakak-kakakmu."
Kau ke mana?
"Pertemuan Tahunan, ingat?"
Ikut!
Namar berdecak keras. "Di sana membosankan"
Di sini juga bosan.
Gadis di depan Delja menghela napas sambil berjalan keluar. Tidak mau ditinggal, Delja buru-buru meraih sepatu dan menyisir rambutnya yang sudah terlampau kusut karena dibawa tidur tanpa diikat. Sambil menahan sakit pada telapak kakinya, Delja memacu langkah dan menyusul Namar ke luar penginapan.
Lokasi pertemuan mereka tidak terletak jauh, malah cuma terpisah dua bangunan dari penginapan. Begitu baru melangkah ke dalam, hidung Delja sudah disiksa dengan sisa bau asap yang melekat di setiap jengkal ruangan dan bau lain yang membuat perutnya bergejolak tidak nyaman.
"Sudah kubilang jangan ikut. Begini saja sudah pucat."
Mengabaikan ucapan Namar, Delja terus mengikutinya melewati meja-meja bundar aneh yang diisi segelintir orang. Ada kartu dan beberapa keping bulatan yang ditumpuk pada bagian tengah meja. Para pria maupun wanita memasang tampang serius ketika seseorang mengocok gelas dan melempar dua kotak kecil ke tengah meja. Beberapa langsung mengerang atau bersorak ketika melihat hasilnya.
"Ayo! Malah lihat-lihat!" Namar menarik lengan Delja, membuatnya tersadar kalau dirinya jadi terhenti sebentar untuk menonton.
Pada bagian paling ujung ruangan, terdapat sederet meja panjang dengan kursi-kursi tinggi, beserta beberapa peminum yang asyik bercengkrama di sana dengan beberapa gadis bergelayut manja di atas pangkuan mereka.
Salah satu dari pria itu tidak begitu asing di mata Delja. Dia bisa menebak yang mana sosok Elijah, dengan rambut pendeknya yang pirang dan kulit agak kecokelatan terbakar sinar mentari, ditambah lagi bekas luka melintang pada alis kirinya yang mudah dikenali.
Elijah sedang asyik meneguk minumnya sambil berbicara dengan seorang gadis berambut merah dengan paras dirias dan lirikan menggoda. Si gadis duduk di atas salah satu paha Elijah sementara tangan kiri pemuda itu melingkari pinggangnya. Tangan kanan Elijah sibuk memegangi gelas.
"Yang benar saja," erang Namar. "Masih pagi dan kau sudah minum-minum?"
Mendengar suara Namar, Elijah menoleh dan mengulas cengiran. "Diaz! Berikan aku waktu sebentar, ya? Sudah lama aku tidak berlabuh di daratan."
"Kau punya waktu semalaman untuk... ini, kau tahu?"
Elijah kembali minum dari gelasnya tanpa ambil pusing. Si gadis berambut merah memasang wajah cemberut. "Qui est-ce?" gadis itu bertanya dalam bahasa yang lagi-lagi tidak Delja pahami. "Ta petite amie?"
Namar langsung membuat suara muntah. "Dieu m'en garde."
"Jangan sinis begitu," protes Elijah. "Kau menurunkan pesonaku."
"Pesona yang tidak kau miliki?"
Delja mengatupkan bibir, menahan tawa. Namar beralih ke sebuah tangga di ujung paling kiri ruangan dan melangkah ke sana. "Ke atas dalam lima menit atau bonusmu tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Heart for A Heart
FantasíaDelja mengorbankan segala sesuatu untuk pria itu. Pada akhirnya yang didapatkan hanyalah hati yang patah. | • | Ketika Delja, seorang putri duyung, jatuh cinta kepada manusia, dia mengorbankan banyak hal demi mewujudkan angan-angan cinta sejati. Naa...