Dimalam yang cukup dingin tidak membuat dua kelompok yang saling bermusuhan itu mengurungkan niatnya masing-masing. Kini kedua kelompok tersebut berada disebuah lapangan yang sepi dan lumayan jauh dari pemukiman.
Nathaniel sebagai ketua Tigerios berdiri paling depan kelompoknya. Sementara Sagara berdiri dihadapannya. Nathan menunjukkan smirk-nya, "ketua kalian mama? Gak berani dia? Atau mengundurkan diri?"
Sagara masih tenang ditempatnya menatap datar lelaki dengan rahang tegas dihadapannya. Dimaz dibelakang hendak maju untuk memberikan pukulan pada Nathan, tapi ditahan oleh Arthur.
"Sabar bego, belum ada perintah dari Saga. Inget apa kata Gibran!" Ucapnya tajam dengan sorot mata menyipit.
Dimaz menghempas kasar tangan Arthur, "gue gak terima dia ngehina bos kita Thur!"
"Shht, diem dan liat aja" bisik Naren tenang sembari melirik tajam kearah keduanya.
Dimaz akhirnya diam sembari mengingat ucapan Gibran tadi sore. Naren juga ikut teringat tadi sore saat ia dan Gibran berdua di ruangan ketuanya itu.
"Jangan gegabah dan terpancing sama omongan dia, saling jaga dan tolong jangan ada yang terluka,"
"Bawa berita baik ke gue, gue tau kalian bisa diandalkan. Terutama lo, Ga"
Sagara menatap Gibran dan mengangguk, "tenang aja, gue bakal kontrol semuanya"
Gibran tersenyum tipis dan mengangguk, "kumpulin anggota dimarkas, bahas strateginya. Gue pantau dari sini, sorry gue gabisa ikut kalian"
Dimaz menggeleng, "jangan minta maaf bos, lo gak ikut karena sakit bukan karena takut."
Arthur mengangguk setuju, "ada Dimaz yang siap mati demi Frostice,"
"Sialan lo!" Umpat Dimaz sembari memukul bahu Arthur membuat lelaki itu meringis, "sakit Dimasu!"
"Nama gue Dimaz, bukan Dimasu!"
"Tapi lo kayak asu!"
"Gue manusia, bukan asu!"
"Kan——"
"DIEM ATAU GUE ROBEK MULUT KALIAN!" Bentak Gibran dengan sorot mata tajam kearah Dimaz dan Arthur.
"Mampus," gumam Naren dengan ketawa samar dibelakang keduanya.
"Sekarang gerak, Naren telpon gue kalo udah sampe dimarkas,"
Mereka mengangguk patuh dan keluar dari ruangan Gibran. Naren tetap tinggal dan mengawasi ketiga temannya sudah benar-benar keluar atau belum. Setelah ketiganya keluar, ia berdiri disamping brankar Gibran.
"Kenapa lo bisa drop? Cuci darah tanpa makan lagi?" Selidik Naren penuh penekanan. Terlihat sorot matanya khawatir dan kesal.
Gibran hanya diam menatap kearah lain, "sorry tadi gue nungguin Kai, tapi dia gak pulang. Pas liat jam waktunya udah mepet,"
"Apa salahnya makan dulu abis pulsek? Kalo kayak gini lagi, gue beneran tinggal dirumah lo!"
"Gila!" Desis Gibran dengan wajah julidnya.
Naren menghela pelan, "lo gausah khawatir sama Kai, dia kerja di cafenya Zaza,"
Gibran mengernyit, "tau darimana lo?"
Naren mengangkat kedua bahunya, "tadi gue kesana, nongkrong"
Gibran terkekeh samar, "nongkrong atau ngapel?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HARSA
Random"sejahat itu gue sampe harus ngerasain ini semua?" ucapnya sembari menatap pantulan dirinya didepan cermin. mata sembab, rambut acak-acakan, persis seperti salah satu pasien RSJ. ----- "gue gapapa, luka kecil doang gabakal bikin gue mati" jawabnya...