"kamu liat anak kamu! Bisa-bisanya dia ketemu sama orang ditengah malem! Gadis macam apa kamu hah!"
Kaizy hanya bisa menunduk mendengar bentakan sang ibu. Nafas Dinda memburu menatap tajam Kaizy yang masih diam membisu dengan kepala yang tertunduk. Wira menatap Dinda dan Kaizy bergantian, kemudian ia menghela pelan.
"Kamu marahin anak kamu biar apa? Biar ayah marahin dia dan nilai kamu selalu benar?" Ucap Wira dengan tenang sembari duduk disamping Kaizy.
"Dengar bun. Sebelum kamu marahin dan bertindak seenaknya sama Kaizy, kamu intropeksi diri dulu. Lihat, diri kamu sudah benar apa belum," Wira menatap datar kearah Dinda membuat Kaizy juga menatap sang ayah.
Dinda menatap tak percaya kearah Wira, "iya oke, aku salah aku juga manusia. Tapi aku gak mau anak aku jadi jelek nilainya dimata orang! Ini juga demi nama baik keluarga kita mas!"
"Kai, kamu masuk kamar sana. Tidur, pake headset dan dengerin musik pake volume paling kenceng,"
Kaizy menurut dan beranjak dari sofa menuju kamarnya. Setelah memastikan Kaizy benar-benar masuk kamar, Wira menatap nyalang kearah Dinda.
"Kamu pasti lagi marahan kan sama selingkuhanmu itu?" Tuding Wira masih dengan nada tenang.
Dinda menatap tak percaya kearah Wira, "maksud kamu apa mas? Kenapa malah bahas itu? Aku gak ada selingkuh!"
"Gausah teriak-teriak Dinda! Sekarang jam 2 pagi, jangan bikin keributan!" Desis Wira tajam tanpa merubah tatapannya yang nyalang.
"Ya habisnya kamu, selalu nuduh aku kayak begitu. Maksud kamu apasih mas? Ini tuh tentang anak kamu, bukan tentang aku!"
Wira melipat kedua tangannya di dada, "dia gak bakal kayak gitu, kalo kamu bisa mendidiknya dengan baik. Kamu kekang dia dengan gak boleh punya teman, gak boleh punya pasangan. Kamu pikir dia gak stres kayak gitu? Kamu kasih kedua anak kamu kebebasan, sementara dia kamu kekang, sudah kamu kekang kamu gak kasih dia perhatian lebih,"
"Apa pantas kamu disebut seorang ibu yang adil? Kamu sibuk sama ayang kamu, dan membiarkan dia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ayah gak pernah ngekang dia, ayah juga gak pernah marahin dia didepan umum seperti kamu,"
Dinda terdiam sembari membuang pandangannya kearah lain, "aku gak mau nilai dia turun, aku mau dia jadi anak yang aku inginkan! Waktu SMP kamu gak bolehin dia masuk pesantren, aku diem. Di SMA juga dia gak jadi masuk pesantren, aku diem. Lalu aku salah? Salah aku mendidik anak aku dengan caraku? Aku pengen yang terbaik buat dia,"
"Cara kamu salah bun, bukan gitu cara didik anak dengan benar. Kamu tau kan mental anak itu nomer satu, jangan kamu paksakan sesuatu diluar kehendak dia," sanggah Wira sembari berdiri dan mendekati Dinda
Dinda mengacak rambutnya kasar. Ia mengusap pipinya yang basah, "terserah! Aku cuma mau anak aku jadi anak yang berguna! Kalo pun kamu gak suka, yaudah! Aku gak peduli, dia juga lahir dari rahim aku!"
Kemudian, wanita itu pergi dari hadapan Wira menuju kamarnya. Wira menatap kepergian Dinda dan kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Sungguh, Dinda itu keras kepala. Sama seperti dirinya, tapi ia masih bisa menahan amarah karena tidak mungkin ia mengamuk di sepertiga malam seperti ini.
Kaizy mendengar itu dari balik pintu kamarnya. Ia merosot ke lantai dan membekap mulutnya, ia menangis dengan derasnya tanpa suara. Berusaha mati-matian untuk menahan isak tangisnya. Kenapa ia membuat kedua orangtuanya berantem seperti itu?
—————
Kaizy menghela napas lega setelah jam pelajaran olahraga berakhir. Kemudian, ia mengambil baju seragamnya dan pergi menuju toilet untuk mengganti pakaiannya. Namun saat akan menutup pintu loker, ia mendapati sebuah buku yang asing dimatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARSA
Random"sejahat itu gue sampe harus ngerasain ini semua?" ucapnya sembari menatap pantulan dirinya didepan cermin. mata sembab, rambut acak-acakan, persis seperti salah satu pasien RSJ. ----- "gue gapapa, luka kecil doang gabakal bikin gue mati" jawabnya...