Keesokan paginya, Siera terbangun dengan kepala berdentum menyakitkan. Ia mengerjap, lalu menghela napas panjang. Bangkit dengan goyah menuju kamar mandi untuk buang air kecil dan membersihkan tubuh dengan air hangat. Mengutuk dirinya yang mabuk-mabukan saat situasi sedang sulit begini. Untung saja tidak terjadi sesuatu yang menakutkan dan rupanya River berhasil membawanya pulang dengan selamat. Berdiri di depan cermin wastafel, ia mencuci wajah dengan air dan sabun. Membilasnya berkali-kali sebelum mengelap dengan handuk. Memiringkan kepala, Siera mengetuk sisi kepalanya. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam.
"Kami makan cemilan, steak, lalu minum bir. Kalau begitu, aku pulangnya gimana? Seingatku digendong dan orang-orang berteriak 'tuan' siapa si tuan ini?" Siera berusaha mengingat-ingat tapi tidak muncul sama sekali. Ia menyerah, keluar dari toilet dan berganti pakaian. Mengeluh saat melihat jam yang ternyata, ia bangun kesiangan.
Meraih tas di atas di dalam lemari dan mencocokkan dengan pakaiannya. Hari ini ia memakai setelan kuning gading dan untuk tas memutuskan warna cokelat terang. Setelah memastikan barang-barang pribadinya aman di dalam tas, ia bergegas turun. Tiba di ujung tangga ruang tengah, ia mencari suaminya dan River muncul dalam balutan celana denim, kaos putih, serta memakai apron hitam. Tersenyum lebar padanya.
"Selamat pagi, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Nggak pusing'kan? Ayo, kita sarapan. Aku buatkan sup kaldu untuk menghilangkan pusing."
Siera menggeleng. "Nggak bisa, aku sudah bangun kesiangan."
River menggeleng, menatap Siera dalam setelan celana dan blazer kuning. "Perfect, pakaianmu cocok untuk hari ini. Jangan kuatir soal terlambat, aku sudah menghubungi Tori dan memintanya menghandle pekerjaan sampai kamu tiba."
"Hah, kamu punya nomor ponsel Tori?"
"Tentu saja. Sudah lama aku punya." River menarik lengan istrinya menuju ruang makan. "Nggak usah takut telat, aku akan mengantarmu."
Siera enggan untuk duduk karena merasa waktunya sudah mepet. Ia tidak pernah kesiangan sebelumnya. Alkohol membuatnya lupa diri. Namun saat melihat sup hangat menguarkan aroma yang gurih dan menggiurnya, perutnya pun berteriak lapar. River menarik kursi untuknya, menyendok sup ke dalam mangkok.
"Makan yang tenang, biar mabukmu hilang. Aku jamin, kamu bisa datang ke kantor tepat waktu kalau aku yang antar."
"Bagaimana kalau macet?" tanya Siera sambil menyeruput sup dari sendok. Berdecak tanpa sadar karena sangat nikmat dan enak. Cukup menghangatkan perutnya. River membuat panekuk dan menyorongkan ke hadapannya. Ia mengiris panekuk, mencelupkan ke dalam saosnya dan lagi-lagi merasakan kenikmatan. "Masakanmu kenapa enak sekali?"
River terkekeh. "Pertama, meskipun terkena macet aku bisa pastikan kalau kamu bisa datang tepat waktu. Yang kedua, aku punya sertifikat culinary."
"Waah, keren sekali kamu," puji Siera dengan tulus. Tidak menyangka kalau laki-laki yang dinikahinya sangat berbakat dalam hal memasak. "Sup enak, panekuknya juga lezat. Terima kasih, aku sudah kenyang." Siera bangkit dari kursi dan berniat mencuci piring.
"Letakkan saja di sana, nanti aku cuci. Kamu ke depan, pakai sepatumu. Aku menyusul," ujar River.
"Kamu mau mengantarku?"
"Benar sekali, biar kamu nggak telat."
Siera baru selesai memakai sepatu saat terdengar derum motor. Ia membuka pintu dan mendapati River sudah nangkring di atas motor dan mengulurkan helm padanya.
"Ayo, Sayang. Jangan lama-lama bengongnya, nanti kamu telat."
Siera menelan ludah dengan gugup. "Ta-tapi, aku belum pernah naik motor. Gimana kalau jatuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Devil Husband
RomanceKisah Siera yang terpaksa menikah dengan River untuk menutupi rasa malu. Tidak ada yang tahu kalau di balik sikap River yang periang, tersembunyi rahasia besar.