Dalam keadaan terguncang, Siera menunda rencana untuk menjenguk sang papa. Ia tidak ingin pergi ke rumah sakit dalam keadaan kalut. Seumur hidup baru kali ini berhadapan dengan seseorang yang ingin mati. Tidak menyangka kalau hal buruk yang menimpa Nuna begitu besar, hingga keinginan untuk mengakhiri nyawa sangat kuat. Alih-alih pergi ke rumah sakit, ia menyibukkan diri dengan membuka laporan dan mengeceknya. Berusaha untuk tetap konsentrasi meskipun bayangan Nuna yang meraung penuh kesedihan membayanginya.
Siapa orang yang menodai Nuna? Apakah laki-laki itu seseorang yang cukup berkuasa di perusahaannya sampai-sampai Nuna takut untuk bicara? Siera berniat untuk menyelidiki, dan akan mencari orang yang tepat untuk membantunya.
Di seberang meja, River terduduk di sofa empuk. Mengotak-atik ponsel di tangan. River yang mengerti perasaan istrinya juga tidak memaksa untuk pergi. Setelah bicara dengan pihak kepolisian, ia menemani Siera di dalam ruangan. Tanpa kata, membiarkan istrinya bekerja. Berpikir mungkin saja bekerja akan membuat istrinya melupakan kesedihan. Namun saat melihat Siera lebih sering melamun dan menatao dokumen dengan tatapan kosong, pikirannya berubah. Ia bangkit dari sofa dan menghampiri meja istrinya.
"Nggak konsen kerja?"
Siera mengangguk. "Iya, teringat wajah Nuna terus menerus."
"Kalau begitu cukup sampai di sini kerjanya."
"Tapi ini masih sore, terlalu awal untuk pulang!"
River menyandarkan pinggul di meja dan mengangkat dagu Siera dengan telunjuknya. Mengusap pipi yang lembut dengan ibu jari. Melihat bagaimana mata Siera terbelalak karena keberaniannya melakukan sentuhan. Mereka jarang sekali berada dalam jarak yang dekat dan jemarinya berada di wajah Siera. Selama lebih dari satu bulan menikah, selalu menjaga jarak dan sibuk dengan urusan masing-masing. Meski begitu River tetap menaruh perhatian penuh pada apa yang terjadi dengan istrinya.
"Buat apa kamu memaksakan diri bekerja kalau sedang tidak konsen."
"Banyak pekerrjaan, aku—"
"Bisa dikerjakan esok hari. Malam ini sebaiknya kamu bersantai. Ingin makan malam yang romantis atau pijat di spa?"
Mata Siera berbinar penuh harap. "Pijat?"
"Benar, kamu bisa santai di spa dan biarkan tubuhmu dipijat serta dilulur. Siera, jangan memaksakan diri kalau sedang tidak mood. Kamu manusia bukan robot."
Siera memejam, membiarkan jemari yang lembut mengusap pipinya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun, tapi saat ini seolah tidak punya tenaga untuk menegakkan kepala.
"Philip menunda menyerahkan laporan, dengan alasan sibuk. Sedangkan aku tahu kalau laporan ditahan karena terjadi sesuatu di internal departemen keuangan. Kami bertengkar di telepon. Dia memakiku, sedangkan yang aku lakukan adalah memintanya menuntaskan pekerjaan."
River teringat pertengkarannya dengan Philip di depan lobi dan kini mengerti kenapa laki-laki itu bersikap agresif padanya.
"Nuna hampir bunuh diri karena pelecehan sexual. Ini baru pertama kali terjadi dan saat papaku yang memimpin tidak pernah ada skandal apa pun. Apakah menurutmu aku nggak becus?"
Belaian River di pipi Siera terhenti. Ia menangkup wajah istrinya dengan hati-hati. Mengamati wajah cantik, pipi halus, dan bibir yang merona. Siera jarang sekali tersenyum yang membuatnya terlihat sombong dan angkuh, padahal wajahnya akan bersinar setiap kali senyum muncul di bibir. River menahan diri untuk tidak mengecup dan melumat bibir merona di hadapannya. Istrinya sedang membutuhkan penghiburan dan bukan pikiran mesum.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Dari pada kamu bersedih, lebih baik mencari siapa pelaku pelecehan. Dengan begitu kamu mengerti, kalau tidak semua hal bisa kamu kontrol meskipun kamu adalah Presdir."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Devil Husband
RomanceKisah Siera yang terpaksa menikah dengan River untuk menutupi rasa malu. Tidak ada yang tahu kalau di balik sikap River yang periang, tersembunyi rahasia besar.