Bagian Delapan

900 71 4
                                    

Sudah empat hari Sasa tidak masuk kuliah, penyembuhannya sudah mencapai 80%. Kakinya sudah mulai kuat untuk berjalan tanpa harus mengandalkan orang lain. Sedikit demi sedikit Sasa sudah mengerjakan aktivitasnya sendiri, memasak, merapihkan rumah dan mencuci baju tanpa bantuan.

Sejak cidera yang melandanya, Aron dan Via selalu bergantian untuk datang membantu Sasa. Setiap harinya, Aron menjadi orang pertama dan terakhir untuk memeriksa keadaan Sasa. Via datang setelah selesai kuliah, kadang ia datang di siang hari kadang juga sore hari. Ketekunan Aron dan Via merawat Sasa melambangkan ketulusan dan kesetiaan hubungan mereka bertiga.

Kini langit berubah menjadi warna ungu muda, Sasa masih diam di kamar menonton televisi yang menayangkan drama korea. Semakin hari semua kegiatan semakin membosankan baginya. Mengenai tugas kuliah, lagi-lagi Via dan Aron yang membantunya untuk memberikan update seputar tugasnya. Sehingga Sasa masih tetap bisa belajar melalui catatan-catatan dari sahabatnya. Terdengar lagu Taylor Swift dari ponsel Sasa, vibrasi ponselnya mengiringi nada dering yang berjudul you belong with me. Banyak cerita di balik nada dering tersebut, entah berapa ratus lembar yang harus dibaca ulang untuk mengerti makna dari nada dering lagu itu.

"Sa mau makan apa?" Ucap Aron dari ujung telepon itu.
"Gausah Ar, ga laper."
"Buat nanti malem Sa. Gw lagi males masak."
"Iya makanya gausah beli. Gue ga laper, ga mau makan juga. Nanti malem minum Susu aja."
"Gw beli apa aja ya berarti."
"Yee di bilangin. Yaudah terserah." Ucap Sasa sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka.

Sasa kembali memencet tombol mencari tontonan yang seru untuk menemaninya. Dalam waktu 10 menit bel apartment berbunyi. Sebanyak 3 kali. Ia berjalan menuju pintu dengan gerutu yang tak henti. Langkah kakinya semakin kuat, membuatnya lebih cepat berjalan dari biasanya.

"Ar kan lo punya kunci, kenapa ga langsung masuk aja sih?" Teriaknya.

"Ar kok ga jawab? Vi? Itu Lo? Lo kan punya kunci." Ucapnya, namun tetap tidak ada jawaban dari balik pintu. Sasa bergegas meraih kunci dan membuka pintu. Namun tidak ada satupun orang yang berada di depan unitnya. Hanya sebuah plastik yang di taruh di atas rak sepatu yang kosong milik tetangganya. Dengan heran ia membawa bingkisan itu masuk ke dalam apartment.

Dengan perlahan ia membuka dan menemukan jeruk, apel dan juga kotak makanan yang bersikan mie ayam Jaytown. Sasa terheran, mengapa Aron hanya meletakkan makanan itu tanpa masuk ke dalam kediamannya. Sasa yang katanya tidak lapar, tertarik dengan sekotak mie ayam kesukaannya. Sulit untuk mendapatkan Mie ayam yang enak di negara yang sekarang ia tinggali. Hanya mie ayam Jaytown yang menurutnya memiliki rasa yang mirip seperti mie ayam yang iya tau.

Dengan lahap ia makan sampai hanya tersisa satu suap lagi, bel apartmentnya berbunyi. Terdengar bunyi kunci yang sudah membuka pintu tralis dan menuju pintu utama. Terlihat pria tampan yang tersenyum lembut membawa makanan.

"Loh Sa katanya ga laper, ini gw udah bawa makanan buat nanti malam. Lo malah pesen makanan." Tegas Aron.

"Hah? Ini bukan dari lo Ar? Terus ini dari siapa dong?"

"Emang bukan lo yang pesen?" Tanya Aron yang kini mengangkat alisnya.

"Bukan. Tadi kan lo bilang mau beliin makanan, terus ada bel depan rumah pas gue buka pintu adanya ini doang gaada lo nya."

"Terus kenapa lo langsung makan ga tanya dulu?"

"Karena gue pikir ini dari lo?"

"Ya lo mikir yang bener lah. Masa gw dateng kesini bawa makanan cuma taro depan pintu doang tanpa ngeliat gimana keadaan lo? Lo tuh bener-bener careless banget ya. Kalo itu racun gimana?" Ucap Aron dengan nada yang tinggi.

Sasa terkejut dan dengan cepat menaruh sumpit dan menjauhkan makanan dari pandangannya.

"Percuma lo berhenti, udah mau abis tinggal sesuap lagi." Ucap Aron.

Sasa menggaruk dahinya yang tidak gatal, ia kehabisan kata untuk menimpali Aron.

"Terus gimana dong Ar?"

"Ya mau gimana? Kita liat aja kalo lo keracunan berarti yang kirim makanan orang jahat." 

"Kok lo gitu sih Ar ngomongnya?" Jawab Sasa kesal dan memukul tangan Aron yang sudah duduk di sampingnya.

"Yaudah gw mau ga mau harus disini mastiin sampe malem lo ga keracunan." Jawab Aron yang berdiri meninggalkan Sasa dan berjalan menuju ruang keluarga yang berada di belakang meja makan.

"Sa lo ga bisa tinggal sendirian. Berulang kali gw bilang kaya gini. Ga pernah di dengerin."

"Gue kan ga gampang cocok sama orang. Terus gue harus tinggal sama siapa? Sama lo gitu?"

"Gw sih ayo aja, kita pulang besok ke Indo, kita nikah terus tinggal bareng deh."

"Hah? Kok tiba-tiba nikah?"

"Supaya gaada lagi careless sampe ga bisa jalan, makan makanan dari orang asing yang siapa tau di racun. Biar gw bisa jagain lo sepenuhnya." Jawab Aron dengan santai sambil menekan tombol remote televisi mencari tontonan yang menarik.

Rambut halus yang berada di tangan Sasa seketika berdiri mendengar ucapan Aron. Entah lelucon apa yang Aron pikirkan. Secara tiba-tiba ia berbicara layaknya orang yang tidak waras. Hubungan persahabatan mereka memang aneh, tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan mereka masing-masing. Selama ini Aron selalu berganti pasangan, Sasa hanya menjadi seorang pemerhati, sahabat yang mengerti dan selalu ada saat Aron membutuhkannya. Pada tahun ketiga persahabatan mereka tepatnya saat mereka duduk di bangku SMA kelas satu, Sasa akhirnya memiliki seorang kekasih. Hubungan Aron dan Sasa masih dekat namun tidak sedekat dulu. Aron dan Sasa yang selalu ada untuk satu sama lain, kini digeser oleh pasangannya masing-masing.

Hingga pada satu ketika, hubungan Sasa kandas di bangku SMA kelas tiga. Tidak lama setelah itu, Aron juga putus dengan kekasihnya. Hingga satu tahun setelahnya, mereka ada di keadaan yang membingungkan seperti saat ini.

"Kenapa diem? Masih ga bisa buka hati? Masih belum move on dari dia? Udah di sakitin berkali-kali masih aja bego, ga bisa liat ada orang lebih baik depan mata."

"Kok lo ngomong gitu sih Ar?"

"Biar lo sadar dan buka mata."

"Gue ga ngerti mau lo apa Ar. Jahat banget mulutnya. Pulang aja sana." Sasa bergegas berjalan dengan cepat menuju kamar dan membanting pintu dengan kencang.

"Iya, lo emang ga pernah ngerti Sa."

************* pesan-pesan
gimanaaaaa? sampai bagian delapan ini mulai seru gaa? bingung ga kalian? aku bingung sihhh wkwk. jangan lupa vote dan comment biar aku semangat lanjutin ceritanyaaa

Pusat KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang