Bagian Dua Belas

835 67 21
                                    

"Anjing lo. Bangsat"

"Vall denger gue dulu Vall." Ucap Zafran.

Dua pukulan mendarat tepat di wajah Zafran, tubuh Aron yang lebih tinggi memudahkannya untuk melayangkan serangan. Sasa panik melihat apa yang terjadi di depan matanya. Mencoba melerai kedua pria yang berkelahi tepat di hadapannya.

"Ar udaaah. Cukup Ar." Sasa mendorong dada Aron untuk menghentikan perkelahiannya.

"Li kamu ngapain disini? Kok kamu bisa disini?" Tanyanya dengan penuh kebingungan juga air mata yang berderai.

"Sa please, aku butuh bicara sama kamu." Jelasnya dengan tatapan nanar meraih tangan Sasa.

"Anjing lo, ga usah pegang-pegang." Tepis Aron pada tangan Zafran membuat kacamata bingkai hitam dengan lensa warna miliknya terjatuh ke lantai.

"Val, gue harus ngomong sama Sasa. Sa kamu pergi gitu aja tanpa denger penjelasan aku Sa, please." Tegasnya meminta waktu Sasa.

"Li.. cukup." Ucapnya lirih.

"Mau alaesan apa lagi lo? Sekarang mau gimana cara nyakitinnya?" Tanya Aron dengan mendorong bahu Zafran.

"Anjing lo Val. Bukan urusan lo." Tunjuk Zafran kepada wajah Aron.

"Apapun yang berkaitan sama Sasa itu urusan gue. Sekarang mendingan lo pergi, gausah balik kesini lagi. Pergi lo." Ucap Aron dengan tegas menunjuk Zafran mengusirnya pergi. Sasa memilih untuk segera membuka pintu unitnya, masuk ke dalam diikuti Aron.

Sasa terduduk pada kursi di area ruang makan, melanjutkan tangisan yang tadinya tertahan. Ada kerinduan yang terasa menyakitkan. Tatapan sendunya, suara merdu dan kelembutannya dalam berbicara merupakan hal yang membuatnya bahagia, di masa lalu.

Sasa mencoba mengulang ingatannya atas pertemuan yang baru saja terjadi. Zafran mengenakan kemeja berwarna hijau tua dan celana jeans, serta beberapa aksesoris ditangannya. Ia masih tidak percaya bahwa pria itu sungguh berada di depan matanya. Satu tahun menghilang bukan waktu yang sebentar, namun mengapa Zafran bisa mengetahui keberadaannya?

"Sa.." Panggil Aron. Tidak ada jawaban yang ia dapatkan.

"Lo buka akses ke dia?" Sasa hanya menggelengkan kepalanya.
"Ko dia bisa tau lo tinggal dimana?" Tanya Aron heran.

"Gue gatau Ar. Itu beneran Lian ya?" Sasa bertanya untuk memastikan dirinya bukan bermimpi. Aron terdiam, mengangguk seraya membenarkan.

Masih ada cinta ya Sa? Batin Aron.

"Gw disini dulu ya Sa? Di kamar tamu?"

"Ngga Ar, pulang aja." Tolak Sasa.

"Kalo si Zafran tengah malem dateng lagi gimana?" Tanya Aron. Lian hanyalah sebuah panggilan yang Sasa berikan saat memanggil Zafran. Ingin berbeda dari orang lain katanya, karena Lian merupakan orang yang spesial untuknya.

"Dia ngga akan kaya gitu." Sanggahnya.

"Lo tau dari mana? Orang brengsek kok masih di bela." Ucapnya dengan nada penuh amarah.

"Gue tau Lian. Tiga tahun gue sama dia, dia bukan orang yang pemaksa. Will he come back? Yes. I know that for sure. But not tonight." Jelas Sasa.

"You can go Ar. Gue butuh sendiri." Aron menanggukan kepalanya setuju. Tidak ada gunanya jika ia harus melawan keinginan Sasa. Saat ini Aron juga membutuhkan waktu untuk berpikir.

Baru saja mereka bahagia, membuka lembaran baru bersama. Namun kandas karena Sasa akan membuka buku yang lama. Aron tahu betul, ia akan kalah. Bagaimanapun Sasa juga merupakan pusat kecewanya. Bertahun-tahun bersama, Sasa tidak pernah mengerti  atas semua pertanda yang aron berikan padanya. Salah Aron, semua salah Aron. Kalau saja dia memutuskan untuk berterus terang tentang perasaannya sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SMA, tidak akan ada nama Zafran Arlian di dalam kehidupan Adriana Vanesha. Aron memilih hubungan persahabatan di banding kebahagiaan dalam kisah cintanya. Namun kini, ia menanggung seluruh akibatnya.

****************

Pagi ini tidak ada pria blasteran yang selalu memanggil namanya setiap pagi. Bukan karena Aron memilih untuk tidak datang, namun Sasa memilih untuk pergi sebelum cahaya matahari menerang.

Sasa sudah siap untuk keluar dari rumahnya pukul 06.00 pagi. Ia memakai baju hitam dengan cardigan cokelat sebagai penghangat. Wanita ini menghabiskan waktunya untuk menangis sampai ia tertidur. Wajahnya nampak tidak segar karen tidur yang kurang. Namun ia harus segera pergi dari rumah. Sebelum Lian kembali datang.

Di tutupnya pintu utama unit apartmentnya. Mata Sasa tertuju pada sebuah meja kecil yang tiba-tiba terletak di dekat pintunya. Diatas meja, terdapat satu paper bag putih berisikan minuman ion dan satu buah lembaran kuning yang menempel diluarnya.

Sasa heran, siapa yang meninggalkan bingkisan sepagi ini? Mungkin Aron kurang kerjaan. Ucapnya dalam hati.

Sasa membaca pesan yang ada di dalam kertas tersebut. Jantungnya berdegup kencang dengan ritme yang tidak beraturan. Air mata hampir jatuh membasahi pipi. Namun ia halang dengan sigap menggunakan jarinya. Kertas kecil itu ia remas, dilemparkan ke arah lantai. Sasa beranjak pergi setelah menutup rapat semua pintu unitnya.

sticky note:
Sa, I really need to talk to you. Aku bisa jelasin semuanya. I miss you Sa.
Love,
Arlian

Pusat KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang