Bagian Sebelas

861 61 10
                                    

Keheningan dalam sebuah taksi yang berjalan terasa seperti tidak ada orang di dalamnya. Sasa melihat ke arah jendela merenungi apa yang sudah terjadi diantara kedua pria, kejadian yang terputar diotak berulang kali. Dalam diamnya, Aron masih menggenggam jemari Sasa. Masih ada rasa kesal di dalam hatinya karena tidak berusaha lebih keras untuk menghalangi pertemuan Sasa dan Rassya hari ini.

Sasa malu, malu pada pendiriannya yang ternyata salah. Di dalam batinnya, dia mengakui bahwa seharusnya ia mengikuti kata-kata Aron. Tidak pergi berdua dengan orang yang belum benar-benar di kenal. Kini Sasa mengatur nafasnya, mencoba menenangkan hatinya untuk menghadapi celotehan Aron. Akankah dia marah atau kembali mendiamkannya? Yang jelas Sasa tahu, bahwa Aron tidak akan memulai percakapan yang akan berujung perdebatan di area terbuka. Privasi katanya.

Sesampainya di apartmen, Aron membayar taksi dengan dua lembar 10 dollar singapura. Aron membuka pintu terlebih dahulu, di ikuti Sasa yang masih dalam genggaman.

Aron duduk di sofa dalam seribu bahasa. Pandangannya tertuju kepada jendela besar yang menghadap ke arah kolam renang apartemen mereka. Sasa menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Gimana Sa, udah kenal sama Rassya?" Ucapnya tanpa melihat wajah Sasa. Melihat air memberikannya ketenangan.

"Bukan gue yang milih bangku, dia tadi yang milih." Sasa menunduk saat memberikan jawaban, entah itu jawaban yang tepat atau tidak.

"Gue juga ga mau kok di pegang tangannya, tadi gue mikir cara lepasinnya gimana. Kalo gue kasar, gue cuma takut kalo dia malah maksa yang nggak-nggak. Gue takut. Tapi gue mikirin kok caranya." Dengan nada yang lirih, menahan tangis dan emosi ia membayangkan apa yang sudah terjadi.

"Jadi kalo gw ga dateng, lo akan tetep diem aja gitu?" Intonasi suaranya menaik.

"Nggak lah Ar! Gue udah hampir nampar dia kok. Tapi untungnya lo udah dateng duluan. Jadi gue ngerasa lebih aman."

Sasa meraih lengan Aron "Ar liat gue."
Aron mengusap kasar wajahnya dan menuruti permintaan wanita di sebelahnya.

"Ar, gue minta maaf. Gue salah. Harusnya gue dengerin kata-kata lo, untuk ga pergi berduaan sama dia. Maaf ya gue ngeyel. Makasi Ar udah selalu ada dan selalu lindungi gue. I owe you." Sasa menurunkan egonya, mengusap air matanya. Meminta maaf bukanlah hal yang buruk. Karena dia juga tahu, semua terjadi atas pilihannya yang salah.

Satu usapan halus mendarat di pipi Sasa, dipandangnya sepasang bola mata indah yang ada di hadapannya.

"Sampai kapan gw harus nunggu lo sadar, kalo gw sayang sama lo Sa?" Satu pertanyaan yang mengejutkan bagi Sasa, tatapan mata Aron bukan tatapan sahabat. Ada cinta di dalam setiap kata.

"Tujuh tahun gw pendam. Sampai kapan gw harus nunggu Sa? Tiga tahun yang lo habiskan sama mantan lo, itu tiga tahun terberat buat gw." Genggaman kuat Sasa berikan kepada Aron, sebagai dukungan atas pengakuan yang di ucapkan. Aron lebih memilih untuk melihat air yang ada di kolam renang. Mencari ketenangan di setiap pergerakan air yang menggenang.

"Sa..." Aron merubah posisi duduknya menghadap ke wanita idamannya.

"I want you to be mine. Gw janji, gw akan bahagiain dan jaga lo terus Sa." Kedua tangan mereka bertemu, pegangan yang erat bertukar energi satu sama lain.

"Ar.. luka gue belum sembuh. Sakitnya masih kerasa. Gue ngga mau tergesa." Ucapnya lirih.

"Kita deket banget. Rasa yang lo rasain saat ini, pernah ada di hati gue. Tapi waktu itu gue ngga berani untuk ungkapin. Gue ga bisa jatuh cinta saat ini, lukanya masih ada. Gue ngga mau lo jadi bayang-bayang.
Gamau perilaku gue merusak semua dan kita jadi asing." Tangan kanan Sasa berada di pipi Aron seraya ia menjelaskan perasaannya. Tatapan sendu terlihat dari mata Aron.

Pusat KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang