Bagian Dua Puluh Dua

628 41 13
                                    

Adriana Vanesha : Ada Vallin disini, kamu jangan kesini dulu. Nanti aja aku kesana.

Jam di tangan Zafran menunjukkan pukul 8 malam. Dua jam telah berlalu sejak pesan terakhir Vanesha yang memintanya untuk tidak datang ke kediamannya.

Hati Zafran diliputi rasa cemas yang kian mendalam. Belasan panggilan dan pesan yang dilayangkannya tak mendapatkan balasan. Bayangan-bayangan tentang apa yang terjadi pada Vanesha dari sore hingga malam ini menghantui pikirannya.

Apa yang dia lakukan dengan Vanesha? bisik Zafran dalam hati, diiringi rasa sesak karena emosi di dadanya.

Zafran teringat permintaan Vanesha untuk merahasiakan hubungan mereka demi keluarganya. Jika saja tidak ada permintaan itu, Zafran tak akan ragu untuk segera meluncur ke kediaman Vanesha dan mencari tahu apa yang terjadi.

Kegelisahannya tak tertahankan. Zafran kembali mengetik pesan untuk Vanesha.

Zafran Arlian : 30 menit lagi kamu nggak dateng, aku kesana ya sha. Aku

gak mau tau. Kalo muka aku bonyok lagi juga gapapa.

Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol kirim. Ia berharap Vanesha segera membalas pesannya.

Adriana Vanesha : Iya Li...

Di balik tembok kediaman Vanesha, aroma harum Aglio Olio buatan Vanesha menggoda selera. Vanesha dan sahabatnya itu tengah menikmati makan malam bersama, namun suasana hati Vanesha jauh dari kata tenang.

"Sa, emang bener sih, Aglio Olio lo enak banget," puji Vallino di sela-sela suapannya.

Vanesha hanya tersenyum tipis. "Iya, tapi abis ini lo pulang ya, Ar," ucapnya dengan nada datar.

Vallino menyatukan kedua alisnya, bingung dengan perubahan sikap Vanesha yang tiba-tiba. "Emang lo mau kemana?" tanyanya penasaran.

"Kok kemana? Ya mau tidur lah," jawab Vanesha tegas. "Lo makan numpang disini, istirahat juga disini, ngerjain tugas disini."

"Kayanya udah mau satu tahun lebih juga begini terus kok. Lo biasa aja. Malah seneng kalo tiap gue disini," balas Vallino. "Kenapa sekarang berubah?"

Vanesha menghela napas panjang. "Bukan gitu. Maksud gue, sama aja ini kaya lo tinggal disini. Apartment lo ga lo tempatin. Sayang bayar sewanya," jelasnya tanpa menatap Vallino.

Vallino terdiam sejenak, mencerna perkataan Vanesha."Emang kenapa kalo gue disini? Gue ga ngerepotin lo kan?" tanyanya dengan nada sedikit kecewa.

Aroma Aglio Olio masih tercium di udara, namun suasana di rumah Vanesha sudah jauh dari kata hangat. Perdebatan panas antara Vanesha dan Vallino mewarnai malam yang penuh ketegangan.

"Ya udah. Gue bersedia kok tinggal disini. Nanti kan akhir bulan keluarga kita mau liburan ke Bali. Sekalian aja kita nikah," ajak Vallino dengan nada santai, seolah-olah pernikahan adalah solusi untuk semua masalah.

Vanesha mendengus kesal. "Lo ngomongnya nikah, nikah mulu. Kaya nggak ada yang lain aja yang bisa terucap dari mulut itu," sindirnya.

Vallino mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Gue sih fair-fair aja. Mending dari sekarang gue ngelamar lo, dari pada ujung-ujungnya lo di apa-apain sama Zafran. Rugi gue," ujarnya dengan nada sarkasme.

Vanesha terbakar amarah. "Gila lo. Mulut lo ga bisa dijaga Ar?" bentaknya.

Vallino balas menatap Vanesha dengan tatapan tajam. "Gue tau dia sering kesini. Gua ga tau si bangsat tinggal dimana. Tapi kayaknya deket sini. Soalnya lo sering ngunci pintu dan lo cantelin pintunya sekarang. Kunci gue jadi nggak bisa dipakai. Pasti ada dia kan?"

Pusat KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang