Bagian Sembilan Belas

530 55 11
                                    

Suara notifikasi dari ponselnya kini menarik perhatian Vanesha. Sebuah pesan dari Zafran yang ia baca dengan saksama. Sejak pertemuan mereka beberapa hari lalu, Zafran selalu menghubungi Vanesha di sela-sela waktu luangnya. Terkadang Vanesha dengan cepat meresponnya, kadang ia hiraukan seharian. Pastinya Vanesha memiliki alasannya sendiri.

Arlian

Nesha, malam ini kamu sibuk ngga?

Vanesha

Ngga Li. Kenapa?


Arlian

Kita bisa ketemu? Aku kangen banget sama kamu sha. Udah 5 hari kamu kayaknya sibuk banget.


Pesan terakhir itu membuat Vanesha berpikir, ternyata memang ada yang berbeda pada dirinya. Nyatanya beberapa hari ini ia menghindar. Mengingat pembicaraannya dengan Aron, membuatnya menjaga jarak dari Arlian. Vanesha lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen Aron dan pulang hingga larut malam. Terkadang ia memilih untuk menginap di apartemen Via.

Akhir pembicaraan antaranya dirinya dan Aron seperti menggantung. Namun, Vanesha memilih untuk menyatakan sikapnya dengan aksinya. Aron itu ada, Vanesha melihat Aron. Kebaikan Aron itu nyata dan semua ketulusan Aron selalu ia rasa.

Perempuan tampak terlihat sedang berpikir, jarinya ia ketukkan di meja, menimbang pesan apa yang harus ia sampaikan pada Arlian. Jika mereka bertemu pada malam ini, haruskah Vanesha menceritakannya pada Aron?

Aron dan Vanesha memang belum memiliki hubungan asmara. Bagi Vanesha, Aron merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya selama ini. Bahkan melebihi Arlian dan keluarganya. Perempuan cantik ini masih belum siap kehilangan sosok yang selalu ada. Apakah ini cinta atau ketergantungan semata?

Vanesha

Oke Li, tapi di tempat kamu aja ya?

Arlian

Oke Sha. Ga masalah banget buat aku. Pokoknya dateng aja kapan pun kamu mau ya. Aku tunggu.

Vanesha memilih untuk tetap menemui Zafran. Menimbang tentang apa yang harus ia lakukan pada hubungan yang tidak ada arahnya. Ia harus menjaga perasaan Aron. Namun ia juga tidak bisa meninggalkan Zafran setelah apa yang diceritakan. Biarlah saat ini keadaan menjadi pertanyaan yang tidak kunjung ada jawaban. Yang terpenting ia menjalani sesuai keinginan.

Siang hari berganti malam. Hati yang saat ini sedang ia tata kembali menjadi lebih berani. Vanesha memperhatikan Zafran yang sedang berkutat dengan teflon dan spatulanya. Entah apa yang sedang ia buat saat ini, membuat Vanesha berjalan mengamati. Punggung yang indah yang selalu menjadi sandarannya di masa-masa itu, kini bisa dilihat lagi.

"Kamu bikin apa Li?" Tanya Vanesha yang kini sudah berdiri di sebelah sang lelaki.

"Tumis udang cabai nih. Buat makan malam kita Sha. Udah lama banget kita nggak habisin waktu sama-sama. Aku mau bikin yang spesial." Sebuah senyum ia lemparkan saat melihat ke arah sang perempuan.

"Ya semua waktu yang terbuang itu kan ulah kamu juga." Sebuah sindiran yang membuat keadaan perasaan Zafran menjadi tidak tenang.

"Iya Nesha, aku tau memang aku yang salah. Tapi tolong izinkan aku untuk menata ulang semuanya ya. Aku mau ada di hidup kamu lagi Sha." Ucapan Zafran menimbulkan lamunan. Kegiatannya yang tadi ia lakukan terhenti. Ia tinggalkan spatula yang sedari tadi ia gunakan. Matanya tertuju pada perempuan yang kini merubah posisinya berdirinya seperti ingin meninggalkan.

"Sha, please. Jangan pergi lagi." Tangannya kini kuat menggenggam, layaknya seorang yang takut di tinggalkan. Vanesha terdiam, tidak memberikan jawaban.

Sesuatu mengganggu indra penciuman mereka, masakan yang Zafran abaikan kini sudah hampir menghitam. Dengan segera Vanesha mengambil alih peran. Kini ia mengambil spatula dan dengan cepat mengaduk masakan dan mengecilkan api yang menyala.

"Aduh Li, kamu tuh kalo masak jangan hilang fokus gini Li." Ucapnya jengkel.

"Maaf Nesha."

Kini giliran Zafran yang mengamati perempuan yang berdiri di dekatnya. Ia melihatnya dengan saksama. Kacamata yang dipakainya, wangi parfum manis yang menjadi ciri khasnya, sosok perempuan yang selalu dirindukan kini berada sangat dekat. Zafran sangat merindu. Rindu yang sangat hebat kini membuatnya bertindak, kali ini ia tidak boleh lagi merasakan kehilangan.

Ia raih pinggang ramping milik Vanesha, memeluknya dari samping. Aroma parfumnya memasuki rongga penciumannya. Nyaman, itu yang ia rasakan. Ia ingin menghentikan waktu agar tidak ada kata perpisahan yang bisa dilakukan. Zafran ingin terus seperti ini dan tidak menginginkan perubahan.

Di sisi lain, Vanesha terdiam. Menimbang perasaan dan apa yang harus dilakukan. Tidak ada ketegangan, tidak ada kebencian. Hanya ketenangan yang ia rasakan di dalam pikiran. Dekapan yang ia rasakan bagaikan sebuah angan-angan yang selalu ia impikan. Seketika sebuah kalimat terlintas di benak. 

Kini suasana berubah, degupan jantung yang sangat kuat membuatnya merasa tidak nyaman. Badannya dingin seolah menolak kehangatan yang diberikan.

"Apa lo nggak lihat gue selama ini Sa?"

Kalimat yang seketika berputar-putar di otaknya tanpa perintah dan keinginan. Vanesha melonggarkan dekapan Zafran. Zafran yang merasakan penolakan merasa heran.

"Li, kayanya ada yang harus aku omongin." Satu kalimat yang membuat Zafran rasanya ingin menghilang. Pikiran-pikiran buruk menghantui nya. Tidak siap akan sesuatu yang berbau kehilangan.

**************

Sampai sini gimanaa? kok aku agak degdegan nulisnya. dikiit sih. ceritain doong menurut kalian gimanaa.

Looking forward to hear from youuuu

Votenya inget yaaa. Kalau kalian suka liat notifikasi update. Aku sukanya liat notifikasi vote. Kaya beneran di dukung aja gitu rasanyaa. Berarti love language aku apa yaa? hahaha

Oiya, jangan lupa kasih kritik dan saran yaa, aku terima kok semuanyaa. makasiii

Love,

Ala

Pusat KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang