Sela meringis saat ia merasakan sakit di area selangkangannya. ya dia dan Amar telah melakukannya. Setelah begitu lama ia dan Amar berhubungan dengan sembunyi-sembunyi, baru kali ini Amar nekat melakukannya. Padahal ada begitu banyak kesempatan bagi mereka melakukannya, tapi Amar tidak pernah memaksa. Sedangkan tadi malam, Amar begitu memaksa bahkan mengancamnya. Sela tidak punya pilihan, selain menurutinya. Baginya ia tidak ingin kehilangan Alvin, karena ia memang sungguh mencintainya.
" Kemana sayang ?" Amar memeluk Sela yang hendak turun dari ranjang.
" Em... Aku mau ke kamar mandi." Sela yang hendak membuka selimutnya seketika berhenti.
" Pergilah. Apa tidak sakit ?" Amar memperhatikan wajah Sela yang memerah.
" Tentu saja sakit."
" Aku gendong." Amar bersiap untuk menggendong Sela namun dihentikan.
" Tidak usah. Aku bisa sendiri." Amar hanya meng-iya-kan. Sela pun pergi dengan menahan perih.
Sela menutup rapat pintu kamar mandi dan menguncinya. Ia menyandarkan tubuh yang tak berbalut sehelai benang pun di balik pintu. Ia merasakan sesak di dadanya. Dengan langkah gontai, Sela menyalakan shower untuk membasuh tubuhnya. Tanpa terasa, sebulir air mata menetes, ia merasakan tenggorokannya menegang ingin berteriak dan meraung. Namun ia tahan. Ia tahu betul jika tidak mungkin untuk melakukannya sementara Amar ada di kamarnya.
Dengan suara tertahan Sela menangis, ia menahan suara yang hampir keluar dengan menutup mulutnya. Sela melihat kran air dan memutarnya. Ia tidak ingin Amar mendengar isak nya. Dengan perlahan, ia menggosok tubuhnya dengan sabun. Masih terasa setiap inci tubuhnya yang di sentuh oleh Amar. Ia merasa menyesal sekarang. Kenapa ia mudah sekali untuk memberikannya pada Amar. Bagaimana jika Alvin tahu, apa dia bisa menerimanya ?
Sela ambruk, ia tidak dapat menahan beban yang menyesakan di dadanya. Ia terduduk di lantai dengan guyuran air dari shower. Ia menangis tanpa suara, menyesali perbuatannya dengan Amar.
" Kau sudah selesai ?" Amar tersenyum saat Sela baru keluar dari kamar mandi.
" Pergilah mandi, badan mu lengket." Sela mencoba bersikap biasa saja. Ia tidak mau Amar curiga.
Selama hubungannya dengan kedua pria itu, tidak ada satu pun dari mereka yang berani memaksanya. Meski mereka sudah menghabiskan banyak uang untuk nya. Tapi kali ini entah setan apa yang merasuki Amar hingga ia berani memaksanya.
Sela kembali menangis tanpa suara, ia segera membereskan tempat tidur yang berantakan dan mengganti spreinya. Dengan terburu-buru ia memakai bajunya. Sela mencari semua make up nya dan melihatnya satu persatu-satu.
Beberapa menit, Amar selesai. Sela sudah berhasil menutupi separuh rona di wajahnya.
" Kau menangis ?" Amar melihat wajah Sela di pantulan cermin.
" Tidak. Memang nya aku terlihat habis nangis ya ?" Sela mencoba mengalihkan perhatian Amar.
" Ya . Mata mu sedikit memerah."
" Oh ini karena mascara yang ku pakai. Kau mau coba ?"
" Ya aku tahu , itu untuk bulu mata lentik mu. Lalu bagaimana mata mu Bisa memerah ?"
" Tadi mataku kemasukan mascara sedikit."
" Berhati-hati lah" Amar memeluk Sela dan mencium dahinya." Jangan lukai mata indah mu walau hanya sedikit. Aku tidak mau melihat mu menangis sayangku."
"Kau tidak mau melihatku menangis, tapi kau sudah sangat melukai hatiku." Batin sela.
***
Amar pergi ke rumahnya setelah pulang dari rumah Sela. Ia kembali mengingat apa yang telah ia lakukan pada wanita pujaan hatinya. Ia telah menyakitinya.Amar tidak menyangka jika Sela ternyata masih perawan. Dari yang Amar tau Sela wanita yang matre, bahkan ia juga telah memanfaatkannya dan Alvin secara terang-terangan. Bahkan Sela tidak ingin melepaskannya dan Alvin, dan Amar sadar akan hal itu.
Namun, rasa cinta nya pada Sela terlalu besar. Hingga ia nekat bertindak egois. Tadinya ia pikir, jika saja Sela sudah tidak perawan bukan masalah bagi Amar. Ia akan menerimanya. Selama Sela memilihnya dan meninggalkan Alvin.
Namun siapa sangka. Ternyata Alvin begitu menjaga kehormatan wanita itu. Hingga kejadian kemarin.
AMar mengusap kasar wajahnya. Disatu sisi ia sangat senang karena ternyata Sela bisa menjaga kehormatannya, namun di sisi lain ia merasa tidak tenang karena kepikiran Sela. Wanita itu tidak menangis. Atau marah padanya.
Mungkin akan lebih melega kan jika Sela meraung menangis, atau marah dan memukulnya. Jadi ia tidak akan merasa bersalah seperti ini. Tapi, ada hal lain yang di takutkan Amar. Alvin.
***
" An, pangerannkamu ganti ?" Tanya Rio saat ia melihat Anya turun dari mobil Alvin.
Ya, sejak kejadian tempo hari. Alvin jadi sering menemuinya, bahkan mereka kerap kali makan berdua di luar dan sering menghabiskan waktu bersama.
" Kepo. " Jawab Anya. Wanita yang tengah hamil tua itu berjalan perlahan dengan sangat hati-hati. Ia duduk di kursi nya dan menyalakan laptop di depannya.
" Tau nih Rio, kepo amat sama hidup orang. Gak bisa gituh itu mulut nya kalo ngomong agak di saring?" Sungut Rita.
" Emang mulut gue kenapa mesti di saring segala?"
" Emang ya lo tuh cowok, tapi mulut Lo kayak cewek. "
Anya hanya tersenyum sambil mengusap perut nya dengan mulut komat Kamit merapalkan mantra 'amit amit' berada ditengah pekerjaan yang menumpuk dan teman-teman yang selalu menghiburnyembuat Anya tidak merasa sendiriAn.
Sedari kecil Anya sering di titipkan pada nenek nya. Dan ibu nya pergi bekerja. Karena ayah nya meninggal jadi ibu nya menikah lagi. Seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa hidup sendiri tanpa orang tua. Bahkan setelah nenek nya meninggal Anya memutuskan untuk hidup sendiri tidak ikut tinggal dengan ibunya. Ia mulai mencari kos-kos an dan pekerjaan paruh waktu. Meski ia tidak kekurangan uang karena ibunya selalu mencukupi kebutuhannya. Namun Anya ingin tahu bagaimana rasanya hidup mandiri. Karena suatu saat nanti ia akan menikah dan hidup dengan suaminya.
" An, banyakin amit-amit deh kalo ada Rio. "
" Emang gue kenapa ?"
" Karena mulut Lo kayak cewek."
" Eh Rita Lo gituh banget sih sama gue, dasar punya temen kayak Lo bikin darah tinggi tau gak." Sungut Rio.
" Bodo ah, yang darah tinggi juga Lo. Bukan gue." Rita mengibaskan rambutnya. Lalu ia kembali fokus pada makanan dan buku di meja nya.
" Dasar Lo. Pagi-pagi udah ngajakin keringetan nih."
" Udah deh, berisik. Bentar lagi madam datang Lo." Instruksi dari Novi membuat semua nya diam di tempat nya masing-masing. Waktu menunjukan pukul 08.55, itu artinya lima menit lagi waktunya bekerja.
Anya mempersiapkan segalanya. Karena ia sedang hamil besar maka beberapa pekerjaannya di handle oleh Novi, karena sebentar lagi ia akan cuti.
Mengingat cuti membuatnya sedikit nyeri. Ia kembali mengingat mendiang sang suami.
"Jika saja kau masih ada di sisiku, apa yang akan kau lakukan sekarang ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Turun Ranjang
Non-FictionHarusnya aku tau , jika selama ini dia tidak pernah menganggap ku ada. Harusnya aku mengerti bahwa yang di inginkan nya bukan lah aku. Mungkin takdir sudah mengingatkanku untuk tidak berharap memilikinya. Tapi takdir juga telah mempermainkan ku ke...