Cukup banyak yang terjadi. Wanita itu sudah melewati banyak duka dan kebahagiaan yang ada di Amerika. Banyak pelajaran yang Clarissa ambil dari sana. Saat ini ia harus kembali ke kehidupan yang sesungguhnya.
Kesehariannya yang sebenarnya.
Pesawat mereka mendarat di Indonesia sejak jam sembilan malam tadi. Cassandra dan Angga sudah sangat banyak membantunya, Clarissa tidak ingin lagi merepotkannya. Gadis itu memilih kembali ke rumahnya, walaupun mungkin itu adalah keputusan yang salah.
Clarissa berdiri menatap rumah orang tuanya yang tampak sepi. Lagi-lagi kembali ke rumah itu. Rumah yang membuat mental Clarissa di hajar habis-habisan. Clarissa pikir ia akan bebas dari orang tuanya. Namun, takdir tidak mengizinkannya.
Pada akhirnya dia harus kembali ke rumah itu lagi.
Clarissa mengambil nafas mantap sebelum ia melangkah masuk ke dalam rumah. Mendapatkan pukulan sudah menjadi hal biasa baginya, tapi Clarissa masih belum bisa menghilangkan rasa takutnya. Apa orang tuanya sedang ada di rumah? Clarissa mengerti kenapa dia begitu takut bertemu mereka.
Clarissa masuk ke dalam rumah dan mendapati mamanya sedang duduk du ruang tamu dengan minuman alkohol di atas meja. Ini bukan pertama kalinya wanita itu melakukannya, sedari Clarissa kecil ibunya suka minum-minum seperti ini di dalam rumah.
"Cewe sialan! Berani-beraninya lo kabur!" Teriak wanita itu saat menyadari keberadaan Clarissa. Dia bangkit dari duduk dan segera menghampiri Clarissa.
"Lo berani banget pergi dari sini, ada uang lo? Dapat uang dari mana, huh? Lo jual diri? Haha dasar sampah." Ia menampar pipi Clarissa begitu keras hingga meninggalkan bekas. Jika bisa ia ingin melakukan sesuatu yang lebih dari ini. Clarissa hanya bisa menangis sambil menunduk tak berani menatap wajah ibunya.
Rasa bencinya pada putri semata wayangnya itu sangat besar. Wanita itu menganggap Clarissa sebagai pembawa sial dalam hidupnya. Clarissa adalah bentuk kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Karena mengandung Clarissa, ia harus rela berhenti bekerja dan meninggalkan karirnya yang terbilang cukup bagus waktu itu. Karena memilih Melahirkan Clarissa dan mempertaruhkan nyawanya waktu itu, ia harus rela kehilangan rahimnya dan kehilangan harapan untuk memiliki seorang putra. Karena Clarissa, ia harus kehilangan keluarga yang begitu hangat, mertua yang baik, suami yang baik, dan keluarga besar suaminya.
Baginya memiliki anak perempuan adalah kutukan dan memiliki anak laki-laki adalah anugrah. Itulah yang ada dalam pikirannya setiap melihat Clarissa.
"Lo udah kabur, kan? Sekarang kenapa lo balik? Pergi, pergi dari sini!" Mama Clarissa menunjuk ke arah pintu menyuruh Clarissa enyah dari rumahnya.
"Apa lagi yang lo mau? Nggak cukup lo hancurin hidup gua selama ini, huh?" Wanita itu menarik rambut putrinya dan menatapnya penuh kebencian.
Ia menghempaskan kepala Clarissa menjauh dari hadapannya, ia benar-benar muak.
"Gua nggak mau lihat muka lo lagi! Gua benci sama lo! Gua nggak perduli gimana hidup lo di luar sana."
"Pergi!" Kali ini mama Clarissa mengambil boto minumannya dan memecahkannya tepat di kepala Clarissa. Gadis itu akhirnya mengeluarkan suara tangisnya, rasa sakit yang ia rasakan pada kepalanya tidak kalah dengan hatinya yang terasa tertusuk.
Begitu benci-kah ibu padanya? Clarissa sendiri tidak tahu apa wanita itu pantas ia sebut sebagai seorang ibu. Jika ia bisa memilih, ia juga tidak ingin dilahirkan sepeti ini.
"Jangan pernah mikir buat balik ke sini lagi kalau lo nggak mau mati!" Wanita itu menarik kerah baju Clarissa keluar dari rumahnya.
Clarissa hanya bisa menangis mendapatkan perlakuan seperti ini dari ibunya. Kepalanya mungkin terluka saat ini, tapi sesak di dadanya begitu menyakitinya.
Ia berjongkok di depan pintu sambil menangis merasakan semua rasa sakitnya.
"Anak bodoh! Dari mana aja lo bangsat?!"
Clarissa mengangkat kepalanya menatap Ayahnya yang sudah berdiri di sampingnya. Seperti biasa pria itu pulang dalam ke adaan sangat berantakan, entah dari mana dia.
"Berani-beraninya lo kabur! Lo mau mati, ya?"
"Masuk! Lo harus di hukum! Ini akibat kalau lo berani kabur."
Ayah Clarissa menarik rambutnya masuk ke dalam rumah dengan kasar. Entah apa yang akan dia lakukan lagi kali ini.
Clarissa hanya bisa menangis dan membiarkan ayahnya.
"Sekarang lo tau kan gimana kejamnya dunia luar sana." Ucap pria itu beranjak mengambil balok kayu andalannya. Benda yang selalu ia pakai untuk memuaskan rasa bencinya pada anaknya.
Lagi-lagi Clarissa harus menerima pukulan bertubi-tubi dari orang tuanya. Pukulan yang sangat brutal menghantam seluruh bagian tubuhnya. Lelah sangat lelah.
Clarissa harap hari ini ia tiada di tangan orang tuanya.
Sampai kapan lagi ia harus menjalani kehidupan yang pahit ini. Clarissa sudah sangat lelah dengan semua ini. Ingin sekali Clarissa melawan walau hanya sekali, tapi ia tidak pernah sanggup. Ia sangat merindukan hari di mana ia hanya merasa aman dan tenang.
Tuhan bolehkah Clarissa menyerah sekarang, Clarissa sudah sangat lelah tuhan. Hanya ada rasa sakit dan duka di hidupnya. Bahkan saat ini Clarissa bisa dengan jelas melihat dan mencium bau darahnya sendiri.
Clarissa terbaring di lantai, berderai air mata. Memeluk dirinya sendiri setelah Ayahnya menaruh balok kayunya dan menyelesaikan pukulannya.
"Gua puas banget liat lo kayak gini." Ucap wanita yang sejak tadi sedang minum-minum sambil melihat Clarissa di pukuli. Ibunya melihatnya seperti sedang menonton pertunjukkan. Sangat menyenangkan.
Ibu Clarissa berdiri dan menghampirinya yang masih terbaring lemah. Ia kemudian menarik rambut clarissa memaksanya bangkit dan menyeretnya keluar rumah. Ia tersenyum senang melihat kondisi Clarissa saat ini lalu kembali masuk untuk mengambil barang-barang Clarissa.
Ibu Clarissa melempar barang-barang Clarissa keluar dari rumah kemudian menutup pintunya sangat keras.
Clarissa masih menangis ia terduduk di depan kopernya. Kakinya sudah gemetar dan tidak sanggup untuk berdiri dengan benar saat ini.
Kenapa ia harus menerima perlakuan buruk ini dari orang tuanya?
Pertanyaan yang terus berputar di kepala Clarissa. Tidak adakah cinta untuknya? Bahkan jika itu hanya sedikit. Kenapa hanya ada duka di rumah ini. Tidak bisakah Clarissa merasakan kasih sayang? Apa dia memang tidak pantas mendapatkan itu semua?
Clarissa semakin berderai air mata saat memikirkan betapa malangnya dia.
Ia segera merapikan barang-barangnya yang berantakan akibat di lempar oleh ibunya. Clarissa melap air matanya yang sejak tadi membasahi pipinya. Ia menguatkan dirinya sebelum bangkit dan menggendong tas ranselnya.
Clarissa menatap rumah itu untuk terakhir kali, sebelum ia pergi. Caranya memang menyakit kan, tapi setidaknya Clarissa bisa pergi dari rumah itu tanpa berpikir untuk kembali lagi.
Clarissa berjalan menjauh dari rumah itu dengan rasa bangga. Akhirnya ia terbebas dari semuanya yang membuatnya sangat lelah.
Ini sudah cukup larut malam dan Clarissa tidak punya tujuan. Harus kemana? Uangnya sudah habis. Bahkan dia berutang banyak pada Cassandra saat ini.
Wanita itu duduk di pinggir jalan sambil menunduk memikirkan kemana ia harus pergi, siapa yang akan menjadi tujuannya untuk meminta bantuan.
Asik bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba saja mobil hitam berhenti di hadapan Clarissa. Seseorang segera keluar dari mobil itu dan membuatnya terkejut.
"Clarissa lo di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Putih Abu-Abu
Novela Juvenil"Cinta itu cuman bisa menghancurkan hidup semua orang." "Kalau lo emang enggak percaya cinta kenapa lo bersikap seolah-olah akan melewati semuanya dan melawan dunia bersama?" **************** Cerita ini mengisahkan siswa yang memiliki latar belakang...