22. Kesepian

4 3 0
                                    

Clarissa membuka pintu kamar Cassandra. Hari ini ia pulang sedikit lebih lama karena terkena macet di jalan. Seperti biasa ketika Clarissa pulang, rumah tampak sepi.

Cassandra duduk di kursi belajarnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dari wajahnya Clarissa bisa tahu kalau gadis itu sedang marah.

Saat Clarissa ingin bertanya ada apa dengan Cassandra yang cemberut dan tampak kesal, gadis itu lebih dulu angkat bicara.

"Kenapa lo dekat-dekat sama Reano sih? Lupa apa yang gua bilang kemarin? Dia itu nggak baik, cowo brandal." Kata Cassandra mengungkapkan semua. Sejak tadi ia menahan ini.

"Dia nggak sejahat itu kok. Dia cukup baik." Jawab Clarissa dengan penuh pengertian. Jelas jawaban Clarissa membuat Cassandra memutar matanya muak.

Clarissa tidak naif seperti ini, dia hanya tidak mengenal Reano.

"Dia antar gua ke Cafe tadi. Dia juga bilang akan mulai sering mampir ke Cafe, karena tempatnya menarik."

"Dia juga kasih nomer telfonnya ke gua katanya kalau gua pulang larut malam, gua boleh telfon dia buat antar gua pulang. Rumahnya dekat situ, ya?" Clarissa berbalik menatap wajah Cassandra yang sudah syok berat.

"Apa?!" Tanyanya tidak percaya Reano melakukan itu semua.

"Reano nggak pernah setertarik itu ke Cafe gua."

"Tunggu. Jadi tadi dia antar lo ke sini juga?" Cassandra berdiri dari duduknya menatap gadis itu seolah jika Clarissa menjawab ia Cassandra akan meledak.

"Nggak. Gua naik bus. Walaupun dia bilang nggak papa tapi gua nggak enak kayak gitu." Jawab Clarissa jujur. Ia mungkin tidak akan pernah menelfon Reano jika bukan keadaan darurat.

"Cih." Cassandra membuang wajahnya mendengar Clarissa, dia masih berpikir Reano lelaki yang baik? Sungguh.

"Dia itu bohong sama lo. Gua yakin dia nggak benar-benar tertarik sama Cafenya tapi sama hal lain. Dan rumahnya nggak dekat situ, bahkan jauh dari sana."

Lelaki itu pembual yang hebat. Cassandra harus menyelamatkan Clarissa dari omong kosong Reano. Cassandra sangat tahu bagaimana liciknya lelaki itu.

Ia bahkan ogah-ogahan pergi sekolah bersama saudarinya-Rachel. Bagaimana mungkin ia menawarkan diri mengantar Clarissa seperti itu jika tidak ada niat jahat.

"Gua yakin dia punya niat buruk ke lo." Cassandra merasakan firasat buruk itu sejak tadi. Pikirannya tidak bisa tenang sekarang.

"Lo harus menjauh dari dia, jangan percaya sama omongannya. Dia itu-" Sebelum Cassandra menyelesaikan perkataannya Clarissa sudah memotongnya.

"Jangan mengada-ngada."

"Bisa jadi dia udah pindah rumah atau dia punya banyak rumah. Nggak usah mikir berlebihan. Buat apa juga dia punya niat jahat sama gua, kita aja baru kenal."

Cassandra membuang nafasnya berat. Clarissa tidak bisa ia beritahu, gadis itu selalu berfikir positif jika seperti ini.

Seperti waktu sahabat masa kecilnya melakukan hal buruk padanya, ia hanya mengambil pelajaran dari kejadian itu. Padahal Cassandra ingin sekali membalas perlakuan kasarnya.

"Gua mau tidur duluan. Capek nasehatin lo." Gadis itu berjalan dengan malas-malasan ke ranjang.

Cassandra merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya kosong.

Benar kata Clarissa, Reano baru mengenalnya beberapa hari. Lalu kenapa dia harus melakukan hal yang buruk pada Clarissa? Apa Reano melakukan ini karena ingin melukainya? Tapi melalui Clarissa sebagai perantara.

"Lo nggak belajar?" Tanya Clarissa yang terlihat mengeluarkan buku pelajarannya.

Sebenarnya ia sudah mengerjakan semua tugasnya di Cafe tapi karena ia belum begitu mengantuk Clarissa memilih mempelajari ulang materinya.

"Udah tadi."

***

Lelaki itu berjalan menuju lift, lalu menempelkan kartu khusus. Saat pintu liftnya terbuka kembali, di hadapannya sudah ada pintu besar yang menyambutnya.

Satu-satunya pintu yang ada di lantai itu.

Prince memasukkan pin, lalu pintu itu besar itu terbuka. Suasana di dalamnya cukup gelap, tidak ada lampu yang menyala. Prince memang sengaja melakukannya.

Seperti biasa lelaki itu tiba pukul sepuluh malam. Prince segera masuk ke kamarnya dan menaruh tasnya di kursi belajarnya. Hanya ruangan itu yang terang, karena Prince menghunkan lampu tidur otomatis yang akan menyala jika sudah waktunya ia tidur.

Kemudian beranjak ke kamar mandi. Lelaki itu baru pulang ketika ia sudah ingin tidur, entah dari mana saja dia hari ini. Tubuhnya sudah menggunakan pakaian sekolahnya seharian ini.

Prince menyelesaikan mandinya dengan cepat.

Lelaki itu keluar dari kamarnya dengan baju kotornya. Prince berjalan menuju ruang cuci lalu memasukkan pakaian sekolahnya ke mesin cuci. Lelaki itu tidak melakukan semuanya sendiri.

Ada pembantu yang datang membantunya membersihkan rumah, dan menyediakan makan untuknya. Tapi pembantu itu tidak tinggal bersamanya, ia hanya datang empat kali seminggu. Itu pun hanya bekerja tujuh jam aja.

Prince kembali ke kamarnya, langsung mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya di kasur empuknya.

Ia sudah cukup lelah saat ini. Namun, jika bisa Prince tidak ingin pulang. Lelaki itu benci di rumah. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain tidur.

Prince menutup matanya dengan lengan tangannya, tanpa aba-aba air matanya turun saat itu juga.

Sial, lagi-lagi ia harus merasakan sesak ini.

Ini sebabnya Prince malas untuk pulang. Kesunyian ini membuatnya begitu sesak. Setiap hari ia harus merasakan kehilangan ini. Seolah tuhan menulis takdirnya seperti ini, sendirian.

Setiap hari Prince di hantui bayang-bayang ibunya yang meninggalkannya. Meninggalkan keluarganya. Wanita itu meninggalkannya saat usianya sepuluh tahun.

Pagi itu saat Prince ingin pergi sekolah ibunya tidak keluar kamar dan terus menangis. Ia tidak mengatakan apapun padanya. Dan saat Prince pulang dari sekolah ia malah menemukan Lyodra menangis dan tidak bertemu ibunya lagi.

Saat itu Malvin bilang kalau ibunya sudah tiada, jadi Prince tidak perlu mencarinya lagi. Bagaimana bisa ia tidak mencari ibunya lagi, saat itu Prince masih sangat membutuhkan sosok ibu. Bagaimana bisa?

Sampai hari ini Prince merasa masih membutuhkan sosok ibu, tapi takdir memaksanya hidup seperti ini. Sampai hari ini juga lelaki itu yakin ibunya masih hidup.

Prince merasakan itu, entah bagaimana ia bisa seyakin ini.

Lelaki itu pernah bertanya pada Lyodra sang kakak, apa keyakinannya ini benar atau tidak. Namun, bukannya menjawab Lyodra malah menangis. Ia tidak pernah ingin menjawab kemana ibunya sebenarnya.

Sejak hari itu, Prince merasa kesepian. Seolah tidak ada yang ingin bersamanya. Seolah ia terlahir untuk kesunyian yang terus ia rasakan.

Waktu itu ia sudah mencoba untuk tidak merasa sendiri. Namun, itu semua seperti sia-sia. Orang yang Prince harapkan selalu ada di sampingnya selalu pergi atau menjauh.

Sekeras apapun ia berusaha, pada akhirnya tidak ada yang bertahan. Semua orang pergi menjauh darinya. Tinggal di penthouse besar ini membuatnya semakin merasakan itu. Hampa, hanya itu yang tersisa.

Prince mengutuk Lyodra yang menyuruhnya untuk tetap tinggal di Indonesia. Seolah ia sedang di asingkan oleh keluarganya sendiri.

Padahal wanita itu tahu Prince sangat membenci ini.

Masa Putih Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang