Waris

566 28 19
                                    

Nulis karena stres adalah jalan ninjaku!

...

"Ibu sudah dimakamkan."

Oh, Tuhan.

Kedatangan mereka dari Jakarta tidak sesederhana agenda jalan-jalan keluarga yang cenderung fleksibel. Mereka hanya punya waktu satu jam untuk bersiap-siap, menghubungi kantor sampai wali kelas si kecil, menyiapkan baju ala kadarnya tanpa sempat memikirkan mix and match. Hanya selang satu jam usai menerima berita duka teramat singkat via pesan WhatsApp, mereka mantap untuk berangkat. Urusan logistik pun terlupakan sampai rela mengandalkan sisa-sisa snack yang bisa ditemukan di laci mobil sebagai ganti sarapan. Kecuali desakan untuk buang air kecil dan urgensi mengisi bensin, sebisa mungkin mereka tidak berhenti demi menaklukkan jarak 520km yang membentang dari Jakarta-Magelang dalam waktu tempuh tercepat semaksimal mereka. Hampir saja mereka celaka di ruas jalan seandainya Tuhan menolak berbelas kasihan.

Harapan mereka tidak muluk-muluk. Melihat wajah perempuan sepuh itu untuk terakhir kali, lantas mengantarkan ke peristirahatan terakhir, tidak kurang dan tidak lebih. Mereka berupaya, tulus atas dasar kasih sayang seorang anak kepada orang tua. Mereka tidak bertaruh nyawa di jalan hanya demi kepantasan belaka.

Nyatanya, tujuh jam perjalanan bertaruh nyawa cukup dibayar dengan pernyataan singkat semacam itu.

"Tapi, Mas, saya sudah minta tolong untuk ditunggu. Saya ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kali dan ikut menguburkan beliau."

"Menyegerakan penguburan bagi jenazah dianjurkan dalam agama. Itu kalau kamu masih ingat. Kami tidak punya kewajiban untuk menunggumu. Toh selama ini kamu sudah durhaka pada Bapak dan Ibu. Menyakiti hati mereka berdua semasa hidup, meninggalkan keluarga dan agama. Anak durhaka seperti kamu tidak pantas mengantarkan Ibu ke peristirahatan terakhir. Doamu saja tidak akan diterima, jadi buat apa?"

Seandainya tidak ingat bahwa lelaki di hadapan suaminya adalah kakak kandung suaminya sendiri, Wonbin mungkin tidak akan segan menamparnya bolak-balik.

Lidah kakak iparnya berbisa. Muatan upas dalam tutur kata menyakiti hati adik kandungnya sendiri, mencemari suasana duka yang masih pekat di udara. Tuturannya mencederai kepantasan tepat di hadapan sejumlah anggota keluarga dan kerabat, termasuk anak-anak. Babak saling menguatkan dalam kedukaan tidak pernah eksis, tergusur ego yang dipentaskan lewat lakon satu menyudutkan lainnya,  mengungkit-ungkit lagu lama yang mereka namai pelanggaran.

Lima tahun berlalu nyatanya tidak mampu mengubah apa pun. Wonbin tertampar realitas untuk kesekian kalinya sejak mengambil keputusan nekat dengan membangun masa depan bersama anak ketiga keluarga Song.

Ia tidak pernah diterima.

Wonbin terpaksa menutup telinga Sohee. Anaknya baru berumur lima tahun. Racun dalam kalimat yang dilontarkan sosok berstatus pakdhe tidak patut didengar anak sekecil Sohee. Wonbin tidak ingin di usia sebelia itu Sohee tersakiti, mengetahui keluarga kecil mereka dianggap seperti hama, tidak diterima sebagai bagian dari keluarga besar.

"Mas, bagaimanapun juga saya tetap anak yang pernah dilahirkan Ibu." Mata Song Eunseok memerah, basah total dibasuh air mata.

"Saya berhak diberi kesempatan melihat beliau untuk terakhir kalinya, lalu menguburkan beliau sebagai wujud bakti dan salam perpisahan."

"Kamu ini memang tidak tahu diri, Eunseok," kecam abangnya.

"Sudah menyakiti hati Bapak dan Ibu semasa hidup, masih berani bicara tentang bakti? Kalau bukan karena kamu salah memilih garwa, Bapak tidak akan meninggal kena serangan jantung. Ibu tidak akan sakit-sakitan ditinggal Bapak dan tersiksa batin melihat anak yang beliau besarkan susah-payah memilih keluar dari aturan keluarga dan agama!"

Cherry Blossoms After ErrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang