Tunggu Aku Jangan Putus Asa

630 25 14
                                    

Pada akhirnya buku ini penuh catatan Seoknen
Maaf kalau Jeng Shura tidak atau belum membalas komen
Sejatinya mempublikasikan buku ini pun butuh nyali
Sadar diri akan limit imajinasi dan pemilihan diksi

....

Pada akhirnya dia ada di sini, menyendiri di sudut kedai kopi. Mendengarkan alunan ceria Jingle Bells di antara merah-hijau dekorasi Natal penyemarak interior kedai, larut dalam sepi yang memisahkannya dengan dunia luar.

Dia kembali memilih tidak mengikuti ibadah Natal seperti tahun-tahun yang telah lewat. Bukan berarti nyala iman di hatinya telah padam. Dihadapkan pada kedua pilihan terlalu betah dijadikannya alasan. Dia menyadari penuh ketidaksanggupannya memilih Katolik Roma yang dianut ayahnya atau Kristen Anglikan yang dianut ibunya. Mundur teratur dipilih sebagai jalan tengah selagi hati masih mengimani eksistensi Tuhan.

Ibunya di Yorkshire berkali-kali mengiriminya pesan, menanyakan apakah dia pergi ke gereja dan mengunjungi ayahnya seusai misa. Perempuan itu tahu persis buah hatinya ini sudah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di gereja manapun, tidak peduli dia telah membebaskannya memilih Katolik atau aliran Kristen apa pun. Natal menjadi harapan perempuan itu untuk menarik buah hatinya memasuki gereja. Akan tetapi, inilah dia. Park Wonbin. Seorang muda memesona di usia dua puluh delapan. Sosok dengan scarf sehijau cemara yang memilih menyendiri di salah satu sudut kedai kopi alih-alih gereja, menghadap secangkir espresso, sebuah paspor berwarna biru, dan tidak ketinggalan ponsel pintarnya.

Park Wonbin menawarkan kecantikan merana di puncak musim dingin, ketika kulit serupa pualam yang mengemas kecantikannya terlihat jauh lebih pucat. Serupa giok di tengah salju, Wonbin terlalu menonjol, terlalu menarik perhatian, khususnya bagi pemilik manik cokelat dengan sorot jantan yang di balik kacamata berbingkai gelap. Sosok yang juga menyendiri di sudut yang lain, sama-sama berteman ponsel pintar dan secangkir espresso. Nyaris tak berpindah sorot jantan nan intens, terukur, dan waspada layaknya mata-mata profesional, tertuju pada Wonbin tanpa disadari sang target itu sendiri.

Park Wonbin terlalu larut dalam kesendirian, mengandalkan ponsel sebagai satu-satunya akses komunikasi. Atensi tertuju penuh pada ponselnya. Kali ini bukan pesan dari sang ibu yang tampil di layar, melainkan panggilan masuk dari kontak bernama Hong Seunghan.

"Halo?" Wonbin menjawab panggilan tersebut, terkesan ogah-ogahan.

"Tidak, maaf." Si Cantik itu mengusap rambut sebahunya yang sehitam bulu gagak.

"Maaf sekali, Hani. Aku sungguh tidak bisa datang. Aku sedang mengejar penerbangan ke Heathrow hari ini. Ada urusan penting. Aku akan menelepon Sohee nanti. Maaf, aku sungguh tidak bisa datang."

Ketidaknyamanan kental mengisi air muka Si Cantik. Sesaat Wonbin menggigit bibir sebelum lanjut bicara.

"Aku tahu kamu dan Sohee ingin aku datang di pernikahan kalian, tapi maaf, aku sungguh tidak bisa. Ada urusan yang sangat penting menantiku di Yorkshire. Kamu tahu, 'kan? Tempat ibuku."

"Aku sungguh minta maaf padamu dan Sohee."

Wonbin bertahan dengan alasan penerbangan menuju Bandara Heathrow, mengabaikan sekitar hingga tidak menyadari eksistensi sosok berkacamata di sudut lain kedai kopi yang mulai gelisah mengawasinya. Laki-laki itu menggosok-gosok dagunya sendiri, mengetuk-ngetuk pelan daun meja, sampai memutuskan bangkit berdiri.

"Kuharap kamu dan Sohee menyukai hadiah pernikahan yang kukirimkan." Wonbin masih sibuk dengan lawan bicaranya.

"Sejak lama mempelaimu itu ingin mengunjungi Bran. Semoga bulan madu kalian di sana menyenangkan dan sepulangnya kalian nanti, aku bakal mendapat kabar gembira, calon keponakanku bertumbuh dalam tubuh Sohee."

Cherry Blossoms After ErrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang