Malam Lebaran

470 29 9
                                    

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

-Sitor Situmorang

...

Kumandang takbir menyambut kemenangan bertalu-talu di gendang telinga, mengiringi langkah yang terseret patah-patah. Tungkai kirinya sudah lama menyerah. Perawatan yang sempat difasilitasi pihak lapas hanya berhasil mengembalikan 30% fungsi tungkai kiri.

Eunseok menerimanya dengan lapang dada. Kehilangan 70% fungsi tungkai kiri ia imani sebagai harga yang harus dibayar. Tuhan telah berbaik hati menyelamatkan nyawanya yang tidak berharga dari amuk warga Perumahan Kwangya. Cacat tungkai kiri tidak cukup pantas Eunseok jadikan alasan menggugat Tuhan.

Eunseok sadar diri atas dosa-dosanya. Delapan belas bulan penahanan hampir melulu diisi momen introspeksi diri. Ia pahami penuh kariernya sebagai maling tamat sudah dengan jaminan cacat kaki. Pertaubatan dinilainya harga mati untuk kehidupan keduanya di luar tembok penjara.

Malam Lebaran menyambut kebebasannya, menandai kemenangan Eunseok dalam pemeliharaan sabar di balik tembok dingin hotel prodeo. Seharusnya Eunseok berlega hati atau bergembira sebagaimana harapan Kim Jiwoong, narapidana senior kasus pembegalan dan pembunuhan yang tidak pelit membekalinya sepuluh lembar lima puluh ribuan.

Kepadanya Jiwoong berpesan, "Sedikit untuk pegangan di jalan, sekalian kaubelikan baju Lebaran. Hari kemenangan dan kebebasan patut dirayakan, Eunseok. Bergembiralah."

Nyatanya sembilan lembar lima puluh ribuan masih utuh di saku jins pudar dimakan usia. Eunseok tidak berminat membelanjakannya untuk sepotong pakaian Lebaran. Alokasi dana pertama jatuh pada belanja jasa ojek pangkalan, satu-satunya yang bisa diandalkan Eunseok untuk mencapai pinggiran kota tanpa harus memaksa tungkai kirinya bekerja ekstra. Kegembiraan yang diharapkan Jiwoong tidak sanggup menetas dari cangkang angan-angan. Apa yang Eunseok rasakan sekarang justru berpusing pada kopong ruang perasaan.

Ia tidak punya tempat tujuan. Eunseok tidak seberuntung Jiwoong yang masih memiliki keluarga dan tempat tinggal. Satu-satunya keluarga yang Eunseok miliki telah lama berpulang. Kontrakan satu petak di gang sempit yang ia sewa sebelum penangkapannya pun tidak lagi bisa disebut rumah. Heeseung, rekan sekomplotan merangkap saudara senasib sepenanggungan, tewas dimassa pada malam nahas penggerebekan mereka di Perumahan Kwangya. Yeonjun? Entahlah. Ia satu-satunya yang bisa lolos dari kejaran warga malam itu. Eunseok tidak pernah mendengar kabarnya lagi sejak dibui.

Eunseok sendirian, terkatung-katung menyusuri jalur pedestrian berlatar semarak malam Lebaran. Kumandang takbir disambut nyenyat relung hati, berlatar tatapan iba yang singgah di tungkai kiri dari sejumlah pengguna jalan.

Sempat tebersit gagasan mengunjungi rumah bordil di lokalisasi Gang Siren yang kumuh. Siapa tahu ia mujur menjumpai Wonbin, pekerja seks komersial langganannya dulu. Paling tidak ia bisa menumpang tidur dengan merelakan empat sampai enam lembar uang biru pemberian Jiwoong--tarif yang dipasang Wonbin sepanjang pengalaman Eunseok menjadi klien.

Eunseok tersenyum getir selagi berusaha menepis gagasan yang kelewat tidak tahu malu. Ia belum lupa pesan terakhir Wonbin pada kunjungan pertama dan terakhirnya di lapas hampir dua tahun yang lalu.

"Nanti kalau Mas sudah bebas, tolong jangan cari saya lagi, ya? Saya kepikiran untuk berhenti. Mungkin saya pulang kampung saja, cari pekerjaan yang halal. Saya harap Mas juga sama. Menjadi tukang parkir atau apalah, asal jangan mencuri lagi."

Bohong jika Eunseok tidak rindu. Selama ditahan, nama Wonbin satu-satunya yang sangggup mengatasi gemuruh alam pikiran. Ironis memang, mengingat aksi terakhir Eunseok memaling rumah Juragan Jaehyun dilandasi tujuan mulia: mengumpulkan modal mengawini Wonbin dan membebaskannya dari induk semang mata duitan.

Cherry Blossoms After ErrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang