Waris - 2

490 31 25
                                    

Awal tahun penuh tagihan proposal kegiatan dan telaah anggaran, otomatis buku ini makin tersingkirkan. Namanya juga nulis untuk buang stres yakan. Otakku semakin gak nyampe untuk nulis dengan plot rapi apalagi bumbu kalimat-kalimat adiluhung. Sekarang nulis yang relate dengan kehidupan sehari-hari aelah. Yang fantastis kuyakin banyak di lapak lain. Yang berat halunya macam Thousand Winters pankapan saja kulanjut. 2024 berat! Saatnya ganti presiden!

Lanjut dulu sebelum balik mengais rupiah kembali yagesya. Ini dulu yang gak repot mikirnya.

***

Salah satu alasan Wonbin mantap menikahinya lima tahun lalu tidak neko-neko. Eunseok pribadi yang penuh kasih. Jika ditarik ke ranah komitmen pernikahan, kasih Eunseok mengisi peran pemelihara. Lima tahun pernikahan berjalan tanpa restu keluarga, kasih Eunseok tercatat dengan tinta emas dalam kredo pernikahan yang Wonbin imani. Andaikata kasih Eunseok mewakili analogi sepanjang galah milik pepatah, terlalu mudah membentur limit, mustahil rasanya pernikahan mereka berhasil masuk tahun kelima.

Pagi ini, Wonbin tahu, catatan pasal kasih Eunseok dalam kredo pernikahan mereka sama sekali tidak butuh revisi.

"Syukurlah, aku tidak terlambat."

Ritme napas Eunseok sedikit memburu pada awalnya. Tatapan kaget Wonbin dari balik pintu menjeda dialog antara mereka berdua. Eunseok memanfaatkannya sejenak untuk mengatur napas. Raut lega berangsur dominan setelah dengan mata kepalanya sendiri Eunseok memastikan Sohee masih meringkuk lelap seperti udang di atas kasur hotel.

"Aku khawatir sepanjang jalan, kalau-kalau Sohee bangun lebih cepat, lalu menangis dan rewel bagaimana? Kamu sedang lelah," telapak tangannya yang sedikit kasar mengusap hangat pipi mulus Wonbin, "dan aku belum sempat memastikan kamu bisa tidur atau tidak subuh tadi."

Lelaki ini tengah dihadapkan pada pencobaan-pencobaan beruntun. Kehilangan ibundanya terlalu mendadak, berlanjut pada perampasan haknya sebagai anak untuk melihat langsung jenazah ibunya. Pil pahit bernama caci-maki masih harus ditelan Eunseok di depan keluarga besar alih-alih permintaan maaf atas haknya yang dirampas. Kehilangan, perampasan, dan perundungan diterimanya dalam satu waktu. Tuhan mungkin belum puas mengajarinya makna kasih itu sabar. Jika tidak, pencobaan lain tidak akan menghadangnya sekali lagi dalam bentuk tragedi paling ironis: percobaan pencurian perhiasan mendiang ibundanya.

Namun, apa yang dikatakan Eunseok tadi?

'Aku khawatir sepanjang jalan, kalau-kalau Sohee bangun lebih cepat, lalu menangis dan rewel bagaimana?'

Eunseok bahkan belum sempat istirahat selama dua puluh empat jam terakhir. Jelang setengah dua pagi masih harus menyetir ke rumah mendiang orang tuanya demi memenuhi permintaan Chaehyun yang diserang panik. Terjebak dalam masalah keluarga nan pelik, Wonbin yakin Eunseok tidak akan sempat beristirahat di rumah orang tuanya. Letih mengisi setiap tarikan otot di wajah tampan Eunseok. Peringatan darurat tidur tercetak jelas pada sklera berkalang semburat merah hingga perubahan warna kantung mata. Dalam kondisi lelah lahir batin seperti ini, yang dipikirkan Eunseok justru Sohee.

"Mas, Mbak Yeji ...." Wonbin menggigit bibir, ragu untuk melanjutkan.

"Nanti saja, ya?" Eunseok mengajukan penawaran.

"Mas janji akan cerita, tapi tidak sekarang. Sebentar lagi Sohee pasti bangun. Kita temani Sohee dulu, supaya dia tidak menangis."

Wonbin tidak sampai hati memaksanya. Rasa penasaran yang menghantui sejak dini hari tadi terpaksa ditelan kembali. Ia mafhum, saat ini yang terpenting bagi Eunseok adalah berbaring nyaman di sebelah Sohee.

"Papa? Mama?"

Suara sarat kantuk milik satu-satunya bocah di kamar ini sayup-sayup sampai. Song Sohee tidak lagi meringkuk seperti udang. Anak itu menggeliat. Kedua tangan mungilnya terjulur, meraba-raba ke kanan dan ke kiri. Kosong.

Cherry Blossoms After ErrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang