Bunyi ketukan terdengar semakin rapat. Meja persegi berbahan dasar kayu tipis bergetar mengikuti ritme kaki Hasya yang bergerak-gerak gelisah. Keringat dingin membasahi tangannya yang memegang pulpen. Sudah sejak pagi Hasya duduk di tempat itu, hingga matahari meninggi, dia belum juga berhasil menyelesaikan tugasnya.
"Udah belum, Sya? Udah mau setengah jam lho ini .... Masa kamu masih belum tahu lembar persembahan mau diisi apa?"
Hasya menatap perempuan muda yang duduk di hadapannya—Sintia, editornya. Bibirnya melengkung ke bawah. "Belum, Kak Sin. Kasih waktu aku buat berpikir, please ...." Hasya menyatukan kedua tangannya di depan dada. Mimiknya memelas.
Sintia menghela napas panjang, mengalah. "Jalan-jalan dulu aja, sana! Kalau udah ketemu, kamu bakal nulis apa di lembar persembahan, temui aku di sini."
Hasya bersorak senang, kemudian meninggalkan Sintia di meja kerjanya. Langkah kaki membawa Hasya menyusuri rak-rak penuh buku. Aroma lignin membuatnya betah beralama-lama berada di tempat itu—kantor Nusa Karya, sebuah penerbitan mayor yang akan menerbitkan tulisannya.
Dulu, Hasya hanya bisa bermimpi dan berharap, semoga salah satu karyanya bisa mejeng di toko buku, di bawah naungan penerbit incarannya. Sekarang, kesempatan itu sudah berada di depan mata. Naskahnya berhasil lolos seleksi dan akan segera terbit. Akan tetapi, Hasya masih belum tahu, nama siapa yang akan dia tulis di lembar persembahan.
Mengikuti perintah Sintia, Hasya berjalan-jalan dari satu rak ke rak yang lain. Dia mengambil beberapa buku secara random, lalu membaca bagian persembahannya.
Buku pertama yang Hasya ambil berjudul Less Than 5000 Words. Di bagian persembahan tertulis, "Teruntuk teman-teman baikku yang selalu mendukungku selama menulis novel ini." Buku kedua adalah buku berjudul Byefriend. Di bagian persembahannya tertulis, "Teruntuk para jomblo di seluruh dunia." Hasya sempat mengernyit heran, tapi setelah membaca blurb novel itu, dia jadi paham kenapa pada lembar persembahan ditulis seperti itu.
Cewek itu memutuskan untuk duduk dan sejenak berpikir. Sebenarnya, Hasya ingin mempersembahkan novel pertamanya itu untuk dirinya sendiri, tapi rasanya Hasya ingin menuliskan nama orang lain juga di sana. Nama seseorang yang selalu berada di pikirannya ketika jemarinya mulai menari di atas keyboard.
"Tapi nanti ketahuan, dong, kalau aku naksir?" Hasya menggigit bibir. Tak lama kemudian, Sintia memanggil. Buru-buru Hasya menghampiri editor muda itu.
"Gimana? Udah nemu?" tanya Sintia.
"Belum, Kak," jawab Hasya disertai gelengan.
Sintia menggeram gemas. "Diperuntukkan buat temen-temen kamu aja? Atau buat pacar?"
Hasya merengut. "Aku, kan, nggak punya pacar."
Sintia tergelak puas. "Makanya cari!" ejeknya, tapi tidak berlanjut. "Lima menit lagi mau disetor nih, Sya. Ayo, dong, jangan bingung! Lagian cuma lembar persembahan."
Nyatanya, yang Sintia bilang "cuma" adalah hal yang cukup serius buat Hasya.
"Diperuntukkan buat orang tua kamu aja, ya, Sya? Ini novel pertamamu, kan?"
"Iya, sih, tapi—"
Sintia bangkit dari kursi, membuat Hasya panik. "Ke mana, Kak?"
"Setoran ke atas. Kamu kelamaan."
Hasya turut berdiri dari kursi, berlari mengejar Sintia. Hasya menghentikan langkah Sintia dan mengambil alih laptopnya.
"Maaf, Kak Sin, aku nggak sopan," ucap Hasya. Langkah kaki membawanya ke salah satu meja yang kosong.
"Kamu mau ngapain, Sya?"
Hasya menyengir. "Aku udah tahu mau nulis apa di lembar persembahan."
Sintia mengangguk, tidak jadi marah. Dia memperhatikan Hasya yang sedang mengetik dengan senyum tertahan. Setelah Hasya selesai, dia membiarkan senyum itu melebar.
"Nah, gitu, dong!"
Hasya turut tersenyum lebar, lalu mengembalikan laptop Sintia. Pada lembar persembahan itu, dia menulis: "Teruntuk crush satu semesterku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...