CHAPTER 10

95 9 9
                                    

Langit sudah gelap ketika Harvey menaruh sepeda motornya di tempat parkir kos. Sudah ada beberapa kendaraan lain di sana. Artinya, teman-teman kosnya juga sudah pulang. Malam ini adalah malam Minggu, tapi Harvey tidak memiliki agenda yang mengharuskannya pulang larut. Pukul tujuh malam, dia sudah berada di kamarnya yang didominasi warna hijau sage.

“Hasya kenapa, ya?” Menjadi kalimat yang pertama kali keluar dari mulutnya.

Harvey duduk di kursi yang menghadap ke meja belajarnya. Ada banyak buku dan peralatan menulis di sana, juga beberapa partitur dan lego-lego berukuran kecil. Diambilnya satu lego yang berbentuk karakter kucing, lalu diajaknya bicara seolah benda itu bisa menjawab pertanyaannya.

“Kenapa hari ini Hasya banyak diem, ya? Terus kelihatan murung juga?” Harvey tahu legonya tidak akan bersuara, tapi dia tetap mengajukan rentetan pertanyaan yang bercokol di kepalanya. “Nggak biasanya Hasya diam aja pas diajak ngobrol. Ya, aku tahu dia emang pendiam, jauh lebih pendian daripada Vidi, tapi Hasya yang aku kenal bukan cewek yang suka mengabaikan ucapan orang. Dan hari ini, Hasya banyak bersikap cuek. Itu jelas di luar kebiasaan.”

Jemari Harvey mengetuk-ngetuk permukaan meja. Sejak sore tadi, sikap Hasya yang cuek mengganggu ketenangannya. Cewek itu memang bukan siap-siapa selain adik tingkat yang kebetulan kenal dan terlibat masalah bersamanya. Namun, jika perubahan sikap Hasya dari yang ramah menjadi supercuek seperti tadi berhubungan dengan sikapnya kepada cewek itu, jelas hal itu menjadi beban pikirannya.

Hasya yang dikenalnya adalah cewek periang, yang selalu tersenyum dan menyapanya saat berjumpa, yang selalu tertawa bahkan saat dirinya melontarkan jokes-jokes receh ala bapak-bapak pos ronda. Adalah hal yang janggal, menurut Harvey, saat cewek itu berubah cuek dan dingin. Entah mengapa Harvey merasa, Hasya memang sedang mencoba menjauh darinya.

“Jangan-jangan Hasya marah karena dia jadi dihukum Miss Ditya bareng aku. Tapi, kok, marahnya delay? Kenapa nggak dari awal aja dia marah-marah? Itu jelas lebih masuk akal.”

Sebenarnya Harvey merasa sangat konyol karena terus berbicara sendiri sejak tadi. Namun, mengajak teman-teman terdekatnya berdiskusi saat ini jelas bukan opsi yang bisa dipilih mengingat malam Minggu adalah malam yang penting untuk para pasangan kencan. Harvey tidak punya pasangan kencan, jadi malam Minggu-nya hanya diisi dengan dua pilihan kegiatan. Kalau tidak rebahan, ya nulis lirik untuk proyek iseng-isengannya.

Sayangnya, malam ini dua kegiatan itu tidak ada dalam daftar kegiatan yang ingin dia lakukan. Malam ini, Harvey hanya ingin mencari tahu alasan di balik berubahnya sikap Hasya selama menjadi tutor Bahasa Inggris tadi sore.

^^^

Anak-anak yang jumlahnya lebih dari sebelas orang duduk melingkar bersama Hasya dan Harvey yang duduk bersebelahan di tengah. Sore itu mereka memainkan sebuah permainan. Di mana sebuah lagu akan dinyanyikan dan sebuah bola akan diputar, saat nyanyian berhenti, bola juga akan berhenti. Anak yang memegang bola saat lagu berhenti akan diberi pertanyaan. Jika benar akan mendapatkan poin, jika salah akan mendapatkan hukuman kecil.

Awalnya, semua berjalan dengan semestinya. Permainan dimainkan dengan gembira. Anak-anak begitu antusias dan sangat ceria. Sampai ketika lagu berhenti untuk putaran yang kelima. Saat itu bola berhenti di tangan Hasya. Harvey menyebutkan pertanyaan, tapi Hasya tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan benar. Anak-anak langsung ramai menyebutkan hukuman-hukuman yang harus dilakukan oleh Hasya. Saat keributan terjadi, Harvey menyela dengan menawarkan sebuah penawaran yang cukup menarik.

“Gimana kalau hukuman buat Kak Hasya duet nyanyi sama Kak Harvey? Mumpung Kak Harvey bawa gitar. Sekalian buat hiburan.”

Anak-anak menanggapi usulan Harvey dengan antusias, tetapi tidak dengan Hasya. Cewek itu menatap lurus Harvey dengan tatapan datar, lalu berkata, “Aku nggak bisa nyanyi.”

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang