Harvey menepati ucapannya untuk menjemput Hasya tepat waktu. Pukul delapan lebih lima, keduanya sudah tiba di ruang latihan Asyik. Harvey langsung mengajak Hasya masuk begitu membuka pintunya yang tidak dikunci. Di dalam ruangan itu, sudah ada beberapa orang termasuk Rendy dan Vidia yang wajahnya sudah Hasya kenali.
“Mereka yang bakal jadi penontonnya, Sya. Nggak papa, kan?” Harvey memastikan sambil mengabsen teman-temannya yang dia minta untuk datang.
Yang pertama Rendy, cowok berkaus putih itu sudah berada di ruangan, sedang memakan gorengan. Yang kedua Vidia, cewek itu duduk di sebelah Rendy sambil melakukan siaran langsung di sosial media—Harvey geleng-geleng melihat kebiasaannya. Yang ketiga dan keempat ada Aldi dan Yudi yang tampak lemas seperti orang kelaparan. Melihat itu, Harvey buru-buru mengeluarkan kantong kresek berisi makanan dari dalam ranselnya.
“Gue bawa risol sama donat itu. Makan gih, terutama Aldi sama Yudi. Jangan pingsan lo berdua.” Aldi dan Yudi menyambut kresek berisi makanan itu dengan riang gembira. Selanjutnya, Harvey berjalan ke arah sofa. Hasya mengikutinya dengan tatapan bingung.
“Kok, banyak orang?” tanya Hasya. Suaranya sangat pelan. Cewek itu terlihat seperti orang ketakutan.
“Mereka temen-temenku. Katanya kamu butuh audience?”
Hasya menelan ludahnya yang terasa pahit. Memang sih, dia butuh penonton, tapi kalau penampilannya ditonton teman-teman Harvey? Hasya benar-benar tidak menduga Harvey akan membantunya sejauh—kalau nggak mau dibilang kejauhan—ini.
Hasya berdehem pelan. “Makasih, Kak.”
Harvey mengibaskan sebelah tangannya. “Bilang makasihnya nanti aja. Aku kenalin kamu ke mereka dulu, ya?”
Hasya mengangguk kaku sebelum Harvey mengambil alih atensi semua orang di ruangan itu.
“Guys, minta perhatiannya sebentar. Hari ini gue minta kalian datang ke sini buat bantuin tugas adik tingkat kita. Namanya Hasya, anak Sasindo 2023.”
Setelah disebutkan namanya, Hasya menganggukkan kepala dan menyapa semua orang dengan “halo” singkat yang dibalas dengan “halo” antusias—di luar bayangannya. Cewek itu mencoba tersenyum ramah, meski kakinya gemetar karena cuma dia yang statusnya masih maba di sana.
“Santai aja, Sya.” Seseorang berceletuk. Rendy.
Hasya tersenyum menanggapi.“Lagian kita nggak bakal gigit kamu,” sahut lainnya. “Hai, waktu itu perkenalan kita kurang baik. Ulang ya. Namaku Vidia, tapi semua orang di sini dengan kurang ajarnya manggil aku Vidi biar kesannya satu spesies sama mereka.” Vidia mengulurkan tangan. Hasya menyambutnya dengan rikuh.
“Halo, Kak Vidia.”
Apa yang Vidia lakukan diikuti oleh Aldi dan Yudi. Sementara, Rendy tetap anteng di tempatnya karena sudah pernah berkenalan dengan Hasya saat bertemu di Kafe Kinari waktu itu.
Selesai berkenalan dengan semua orang di sana, Hasya kembali ke sebelah Harvey. Lewat tatapan matanya, disampaikan banyak terima kasih kepada cowok itu. Hasya tidak tahu apa yang akan menjadi nasib tugas pengganti UTS salah satu mata kuliahnya itu jika Harvey tidak berbaik hati membantunya.
Lima detik berlalu, Hasya masih menatap Harvey. Pada detik yang keenam, cowok itu menoleh. Saat matanya bertemu dengan mata cokelat lumpur Harvey yang hangat, Hasya tidak bisa berpaling, apalagi saat Harvey mengukir senyum kecil di bibirnya.
^^^
Petikan gitar mulai terdengar. Hasya mulai melagukan puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar. Semalaman dia kenyang mempelajari musikalisasi puisi itu lewat YouTube. Meski suaranya pas-pasan, Hasya mencoba menyanyikan musikalisasi puisi itu sampai selesai. Hasya berusaha sebaik mungkin untuk tidak melakukan kesalahan fatal yang membuatnya harus mengulang untuk kesekian kalinya dan semakin merepotkan Harvey serta teman-temannya.
Memang, sih, Harvey tidak pernah menampilkan raut keberatan ketika Hasya lagi-lagi membuat kesalahan pada saat latihan, tapi bukan berarti Hasya mau membuat kesalahan lagi. Ini sudah percobaan ketujuh. Hasya tidak ingin membuat jari-jari Harvey lecet karena harus terus memetik dawai.
Selagi Hasya dan Harvey memainkan musikalisasi puisi, Aldi, Rendi, Vidia, dan Yudi mendalami peran sebagai penonton bayaran. Keempatnya menikmati puisi yang Hasya lagukan tanpa memberi reaksi yang tidak mengenakan, bahkan saat Hasya berkali-kali membuat kesalahan pada saat latihan—entah karena betulan menikmati atau takut aksi julid mereka akan terekam dua kamera ponsel yang berada di sebelah kiri dan di depan mereka persis.
Empat menit yang ketujuh akhirnya selesai tanpa harus mengulang. Hasya menatap Harvey, lalu tersenyum senang. Cowok itu balas tersenyum sambil mengangkat dua ibu jarinya. Tepuk tangan meriah—meski penontonnya hanya empat biji—terdengar memenuhi ruang latihan yang didominasi warna beige. Hati Hasya menghangat seketika. Begitu juga dengan kedua matanya.
Harvey turun dari stool. Gitarnya ia lepas. “Gimana, Sya? Udah lega sekarang?”Hasya mengangguk semangat. “Makasih banget, Kak. Makasih juga buat Kak Rendy, Kak Vidia, Kak Aldi, dan Kak Yudi. Maaf ya sudah ngerepotin,” ucapnya.
“Ngerepotin apanya? Kita, kan, cuma nonton,” ujar Vidia. Selanjutnya, cewek itu berdiri dari sofa untuk menghampiri Hasya.
Hasya cukup terkejut saat Vidia memeluknya. Ini terlalu tiba-tiba.
“Suara kamu bagus deh. Cocok sama permainan gitarnya Harvey,” bisik Vidia, membuat bulu kuduk Hasya meremang dan pipinya memerah sekaligus. “Kapan-kapan main sama aku, yuk!”
Vidia melepaskan dekapannya, lalu menatap Hasya dengan tatapan antusias. Hasya yang tidak menyangka akan mendapatkan tawaran itu hanya bisa tersenyum. Sejurus kemudian, Vidia didesak mundur karena Aldi dan Yudi juga berniat memberi pelukan hangat untuk Hasya sebagai bentuk apresiasi. Untung saja Harvey cepat tanggap mencegah hal itu terjadi.“Lo berdua mau ngapain? Mundur!”
Aldi dan Yudi berdecak sebal. “Masa kita nggak boleh peluk Hasya juga? Kan, ini bentuk apresiasi kami buat dia.”
“Nggak! Nggak ada peluk-pelukan. Minggat sana!” Harvey berucap dengan garang, membuat semua orang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak.
^^^
Hasya baru kembali dari kamar kecil ketika Vidia mengajaknya mengobrol berdua di luar ruang latihan. Sontak, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Hasya baru ingat sekarang, selain berteman, Vidia mungkin memiliki hubungan yang lebih spesial dengan Harvey. Jantung Hasya memompa cepat, membayangkan Vidia akan merujaknya habis-habisan. Apalagi saat mendengar pertanyaan pertama yang cewek itu lontarkan, “Kamu lagi deket sama Harvey, ya?”
Tenggorokan Hasya tercekat. Kepalanya menggeleng cepat. Hasya tidak ingin ada kesalahpahaman di sini. Jadi, sebelum Vidia mencak-mencak, cewek berambut sepunggung itu langsung menjelaskan segalanya, termasuk hukuman yang mengikatnya bersama Harvey.
“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Harvey, kalau itu yang mau diklarifikasi. Kami saling kenal karena dulu Kak Harvey itu pemanduku waktu PKKMB. Terus, kebetulan aja kami terikat hukuman dari Miss Ditya—dosen Bahasa Inggris. Kak Vidia nggak perlu khawatir. Aku nggak akan merusak hubungan Kakak sama Kak Harvey, kok.” Peluh sebesar biji jangung menetes tepat setelah Hasya berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Akan tetapi, seperti cuaca saat ini yang sulit ditebak, reaksi Vidia benar-benar di luar prediksi BMKG. Cewek cantik bermata belo itu tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Badannya terbungkuk-bungkuk. Hasya menatap sekeliling, ada pohon besar di sebelah ruang latihan. Hasya jadi takut, jangan-jangan Vidia kerasukan.
“Kak Vidia … nggak papa?” tanyanya takut-takut.
Tawa Vidia belum berhenti, bahkan setelah dia berkata, “Lucu banget! Jadi, kamu ngira aku ini pacarnya Harvey?”
Kepala Hasya mengangguk kaku.
“Mana mungkin, Sya? Ada-ada aja!”
Vidia kembali tertawa.
Diam-diam Hasya bernapas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
Roman d'amourRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...