CHAPTER 14

78 6 4
                                    

Biasanya Hasya tidak melalaikan tugasnya. Paling molor H-3 tugasnya sudah rapi, tinggal mengumpulkan. Kali ini, Hasya sangat merasa berdosa karena melupakan satu tugas pentingnya. Sangat penting malah karena nilainya digunakan untuk nilai UTS—Ujian Tengah Semester. Rasanya Hasya ingin menangis sepanjang hari karena melupakan alarm tugasnya semalam. Ah, sebenarnya, meski diingatkan oleh alarm pun Hasya tetap tidak bisa menyelesaikan tugas itu dalam semalam. Tugas video musikalisasi puisi, yang harus menyertakan audience nyata.

“Argh!” Hasya menjambak rambutnya frustrasi. Dia baru kembali dari kampus dan baru menyadari ada tugas yang cukup merepotkan itu. Bayangkan! Hasya bahkan tidak bisa bernyanyi, apalagi bermain alat musik. Ditambah dengan harus mencari audience, rasa-rasanya Hasya tidak akan sanggup menemukannya kecuali dia pulang ke desa dan meminta tolong kepada sepupu-sepupunya.

Sebenarnya, pulang kampung adalah ide yang konyol mengingat rumahnya tidak bisa ditempuh dalam waktu satu atau dua jam. Belum lagi alat transportasi yang tidak selalu tersedia mengingat saat ini matahari sudah mulai turun.

Hasya mengecek jadwal keberangkatan kereta di aplikasi. Masih ada satu kereta yang bisa menyelamatkannya. Kereta terakhir yang menuju kampung halamannya baru akan berangkat pukul lima sore. Hasya masih punya satu jam lagi.

Tidak mau terlalu mendramatisir suasana, Hasya mencoba peruntungan dengan nekat pergi ke stasiun. Cewek itu buru-buru memesan ojek online. Karena benar-benar tanpa persiapan, Hasya hanya membawa tas berisi laptop dan charger-nya, dompet, serta ponsel.

Hasya menunggu ojek online-nya dengan gelisah. Kakinya bergerak-gerak tak tenang. Hasya diburu waktu. Dan, sepertinya kali ini dia tidak beruntung karena ojeknya tidak bisa datang, terjebak macet, dan terjebak hujan. Ya, hujan turun tiba-tiba, deras, sampai membuat Hasya berkali-kali merutuk.

“Ya Tuhan ….” Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Hasya ingin menangis, tapi ditahan sekuat mungkin. Dengan sisa-sisa tenaganya, Hasya kembali mencoba memesan kendaraan. Karena hujan, dia beralih memesan gocar. “Please … aku harus pulang. Demi tugas, demi nilai ….” Hasya menyatukan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca. Jam sudah menunjukkan pukul empat lebih dua puluh. Empat puluh menit lagi. Semoga masih keburu.

^^^

Sarung yang sebelumnya dipakai untuk salat Jumat masih tersampir di bahu—seperti bapak-bapak ronda—meski cowok itu sedang bermain gitar. Mulutnya menyenandungkan sebuah lagu berbahasa Inggris. Tak jauh darinya, seorang cowok berkacamata mengiringi petikan gitar dengan permainan cajon-nya. Seorang cowok lainnya memainkan bass.

Satu lagu selesai, ketiganya tersenyum lega.
“Nggak buruk juga lah permainan kita.” Harvey meletakkan gitarnya ke atas sofa berwarna beige yang ada di ruang latihan. Saat ini, dia dan kedua anggota komunitas musiknya sedang latihan. Harusnya ada satu lagi yang berperan sebagai vokalis, tapi orang itu berhalangan hadir karena harus pulang kampung.

Yudi, yang tadi memainkan cajon, mengangguk setuju. “Sebenarnya kalau lebih sering latihan, komunitas kita nggak akan dicap gagal.”

Aldi, sang bassist, terkekeh menyebalkan. “Ya elah, komentar orang julid jangan diambil hati kali! Kalau kita dicap gagal, nggak akan ada tuh ormawa-ormawa yang mau ngundang kita.”

Harvey sepaham dengan Aldi. Sebagai orang yang diamanahi menjadi ketua komunitas “Asyik” oleh ketua Himpunan Mahasiswa Seni Musik, Harvey merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat komunitasnya—yang fokus pada musik-musik akustik—bersinar. Sayangnya, belakangan popularitas Asyik di Tunas Jaya meredup, mengingat banyaknya komunitas musik dari kelas, prodi, bahkan fakultas lain.

Harvey sempat mengira komunitas Asyik akan dibubarkan karena lama tidak manggung dan anggotanya malas latihan, tapi rupanya ketua Hima Musik masih berbaik hati dengan tetap mempertahankan komunitas itu. Asyik bahkan mulai diundang lagi untuk meramaikan acara-acara beberapa ormawa dan UKM. Salah satunya UKM Kewirausahaan yang sebentar lagi mengadakan acara talk show.

Hari ini, sejak selesai salat Jumat, Harvey sudah berada di ruang latihan. Tiga lagu dimainkan berulang-ulang hingga mencapai kata maksimal. Sayangnya, hingga jam empat sore, latihannya baru mencapai level lumayan.

Harvey menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri hingga terdengar bunyi “kretek-kretek”. “Istirahat dulu, deh. Capek juga gantiin Supri nyanyi.”

Aldi dan Yudi mengiakan tanpa banyak bicara.
Harvey mengambil ponselnya di saku celana. Tidak ada notifikasi yang masuk. Bibirnya berdecak sebal. Tiba-tiba, Harvey ingin menghubungi Hasya untuk menanyakan apakah buku kumpulan puisi yang ia beri waktu itu sudah selesai dibaca. Sayangnya, pesan yang ia kirim bertanda centang satu. Cewek itu sedang tidak aktif rupanya. Harvey menghela napas. Firasatnya kurang baik. Mungkin karena hujan deras yang turun tanpa aba-aba.

^^^

Hasya turun dari gocar setelah mengucapkan terima kasih pada driver. Langkahnya terburu-buru saat melewati pintu masuk stasiun. Hujan sudah tidak sederas sebelumnya, tapi tetap saja membuat kemeja maroon Hasya setengah basah. Saat memasuki area stasiun, cewek itu terus berdoa semoga dia belum terlambat.

“Maaf, Mbak, saya nggak sengaja,” ucap Hasya yang tidak sengaja menyenggol bahu seorang perempuan berhijab hijau. Untung saja perempuan itu tidak marah. Mungkin malah menaruh iba kepada Hasya karena penampilannya saat ini. Kemejanya setengah basah, celananya kainnya lecek di mana-mana, sepatunya penuh bercak tanah, yang paling miris dari itu semua adalah bagian kepala, rambutnya yang diikat satu sudah sangat lepek, wajahnya tampak kucel tanpa bedak dan liptin. Hasya tidak sempat memaikanya karena terburu-buru.

Usai meminta maaf kepada perempuan berjilbab hijau itu, Hasya berbaris di depan tempat pembelian tiket yang anehnya antreannya sangat panjang, padahal biasanya tidak sepanjang ini.

Hasya menyeka keringat yang turun dari pelipisnya, padahal udara sedang dingin. “Permisi, Kak, mau tanya. Ini beneran antreannya sepanjang ini?” tanya Hasya kepada seorang laki-laki ber-hoodie yang berbaris di depannya. Dari penampilannya, Hasya menebak laki-laki itu mahasiswa sepertinya.

“Iya. Emang sepanjang ini. Aku bahkan udah nunggu hampir lima belas menit.”

Hasya membulatkan mata, lalu mengecek jam di ponselnya. Sudah pukul empat lebih empat puluh lima.

“Kok bisa panjang banget sih, Kak?”

Laki-laki di depan Hasya mengedikkan bahunya. “Katanya sih karena ada jalur kereta yang kelongsoran. Kalau nggak salah dengar, di daerah Purwokerto. Jadi kereta yang ke arah sana nggak bisa jalan. Makanya orang-orang ini, termasuk aku, dialihkan ke kereta lain, ada juga yang milih refund.”

Mendengar penjelasan itu, rahang Hasya nyaris jatuh. Jadi, setelah bertaruh dengan waktu, begini akhirnya? Hasya tidak bisa pulang karena kereta terakhir yang menuju kampung halamannya tidak beroperasi. Itu artinya Hasya terancam tidak bisa mengerjakan tugas musikalisasi puisinya.

Tangan Hasya terkulai lemas di sisi tubuh. Langkahnya nyaris oleng. Dia bahkan hampir bertubrukan dengan orang beberapa kali. Tak tahu harus melakukan apa setelah tahu usahanya mengejar waktu berakhir sia-sia, cewek itu memutuskan untuk duduk. Hujan membuat kursi-kursi tunggu dipenuhi orang berteduh. Hasya terpaksa duduk di lantai dengan kaki menapaki paving block. Air matanya tidak bisa ditahan lagi. Hasya menangis tanpa suara. Cukup lama. Sisa hujan dan aroma tanah yang biasanya menenangkan, malah makin memperkeruh keadaan. Parahnya, saat ini Hasya benar-benar sendirian.

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang