Sejak mengetahui bahwa buku kecil imut-imut itu adalah milik Hasya, Harvey jadi tergoda untuk memahami apa isinya. Sejak kembali dari pos Pak Amir sampai rapat kelas selesai, cowok itu masih mengulik-ulik benda mungil itu. Dia mengabaikan Rendy yang mengajaknya bicara, bahkan dosen yang tadi menjelaskan materi di kelasnya.
Tiga jam berlalu, akhirnya, sedikit demi sedikit Harvey bisa memahami isi buku catatan Hasya.
Kebanyakan isinya catatan ide-ide cerita. Ada banyak ide yang Hasya tulis. Mungkin juga dari cerita-cerita lamanya, baik yang sudah berhasil ditamatkan atau yang tidak berhasil dieksekusi dengan baik hingga hanya didiamkan sampai ditumbuhi sarang laba-laba. Yang Harvey tahu, catatan-catatan Hasya di beberapa bagian akhir adalah catatan-catatan yang diberikan editornya untuk novel yang beberapa minggu lalu berhasil ditamatkannya. Editornya menyuruh Hasya mengerjakan revisian. Ah, cewek itu bahkan menyalin komentar editornya yang lumayan menohok dan bikin ngakak di waktu yang sama.Ini adegan pegangan tangan sama pacar apa sama Pak Guru? Kaku amat!
Adegannya peluk-pelukan, tapi reaksi jantungnya kayak mau ditembak mati!
Plis, Sya! Malioboro date itu romantis. Ini kenapa nggak ada rasanya?
Nggak bernyawa, ganti!
Harvey lumayan ngakak membacanya, apalagi setelah menemukan beberapa balasan Hasya di halaman selanjutnya. Cewek itu, yang Harvey ketahui tidak pernah bertingkah atau berbicara aneh-aneh, ternyata bisa misuh-misuh juga lewat tulisannya.
Gimana mau bikin adegan yang nggak kaku? Aku aja nggak pernah pegangan tangan sama pacar, apalagi dipeluk, apalagi nge-date romatis. Pacarku aja di Korea tuh! Pacar halu yang ceweknya ratusan ribu!
Sebal sekaliiii … padahal … chapter Malioboro date-nya … ditulis setelah jalan di sana sama Kak Harvey … masa, sih … masih kurang nge-feel? Yang di pantai juga …. Argh! Kak Sinnnnnn kamu maunya apahhh??? Bagaimana??? Berantem saja, yuk! Kak Harveyy tolong!!!
Buku kecil itu nyaris terlepas dari tangan Harvey yang mematung setelah membaca tulisan itu. Tadi, saat masih di pos Pak Amir, sepertinya Harvey tidak menemukannya. Apa dia berhalusinasi? Iya, mungkin begitu. Cowok itu mengucek matanya, lalu mencoba membaca tulisan Hasya sekali lagi. Namanya masih ada di sana. Dia tidak salah lihat. Hasya memang menulis namanya di sana. Bahkan di beberapa kalimat setelahnya.
Apa iya aku harus pacaran dulu biar bisa nulis adegan romantis dengan benar?
Tapi sama siapa? Kak Harvey mau, nggak ya sama cewek insecure-an kayak aku?
STOP, SYA! STOP! Cukup kamu jadiin Kak Harvey muse di cerita kamu.
Jangan ngelunjak mau jadiin dia pacar!!! Meski kamu SUKAAA!
Jadi … selama ini ….
Hasya ….
Harvey menutup mulutnya, tidak sanggup melanjutkan kalimat yang hanya diserukan di dalam hatinya. Tanpa bisa dicegah, bunga-bungan bermekaran di hati dan bibirnya. Seperti sedang terjadi musim semi di dalam sana.
“Sialan! Kok, gue deg-degan dan salting gini, sih?”
^^^
Mengerjakan revisian seharian tanpa jeda rasanya seperti cari mati. Mata lelah, kepala pening, jari kaku, hingga perut mual sudah Hasya rasakan. Badannya juga pegal-pegal karena terlalu lama duduk. Untungnya besok sudah masuk minggu tenang sebelum Ujian Akhir Semester dilaksanakan. Untungnya lagi, banyak dosen yang memilih menggunakan tugas pengganti untuk UAS nanti. Ada lebih dari tujuh mata kuliah yang menggunakan tugas pengganti UAS, beberapa di antaranya bahkan sudah dikumpulkan. Hasya jadi bisa menggunakan waktunya untuk fokus revisian tanpa takut tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian.
Jam sepuluh malam, Hasya melakukan peregangan. Bunyi “kretek-kretek” terdengar seiring dengan gerakannya. Rasanya melegakan, meski sebagian orang mengatakan, terlalu sering meng-kretek-kretek tulang tidak baik untuk kesehatan.
“Lima belas bab lagi. Hasya, semangat!”
Entah seruan penyemangat yang keberapa dalam hari ini. Rasanya, Hasya juga sudah bosan mengatakan dan mendengarnya sendiri. Ya, terlalu sering melakukan apa-apa sendiri membuat Hasya terbiasa menyemangati dirinya sendiri. Meski tak bisa dimungkiri, Hasya juga ingin disemangati orang lain.
Hasya sedang membaca satu demi satu catatan Sintia di sepuluh bab terakhir novelnya ketika ponselnya berbunyi. Ponsel memang sumber distraksi yang wajib dihindari. Sayangnya, meski berniat mengabaikan bunyi ponselnya, keinginan Hasya untuk mengambil benda pipih itu lebih kuat.
Akhirnya, Hasya meninggalkan layar laptopnya sejenak untuk mengecek notifikasi yang muncul di layar kunci ponsel pintarnya.
Ada lima buah bubble chat dari Harvey.
Hasya membukanya dengan jantung berdebar.Kak Harvey Pemandu Gugus:
Kamu udah mulai revisian novel ya, Sya?
Semangat ya, besok aku jajanin es krim mau?
Ada varian baru di kedai es krim Kang Ucup, lho
Katanya es krim rasa penyetan ayam
Hihihi … Jangan lupa istirahat ya
Senyum Hasya mengembang tanpa diperintah. Harvey seperti mendengar isi hatinya yang sedang ingin disemangati. Eh, tapi tunggu dulu. Dari mana Kak Harvey tahu aku lagi ngerjain revisian?Jangan-jangan … dukun?
Hasya tertawa konyol. Pipi hingga telinganya memerah tanpa bisa dikontrol.
^^^
Hasya terlambat menyadari kalau buku catatan kecil berwarna pinknya telah hilang. Entah jatuh di mana, dia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Terakhir kali Hasya menggunakan benda itu adalah kemarin. Lebih tepatnya, saat kelas Bahasa Indonesia berlangsung. Setelahnya Hasya memasukkan benda itu ke saku kemeja. Lalu ….
Lalu ….
Lalu ….
Hasya tidak ingat.
Hasya tidak bisa ingat.
Cewek itu menjatuhkan diri ke lantai kamar kosnya yang dingin. Tanpa buku catatan itu, Hasya tidak bisa menyelesaikan revisiannya. Di buku itu, Hasya menulis catatan-catatan Sintia di luar file yang ada di Google Drive. Detail, bahkan Hasya juga sudah mencatat apa-apa saja terkait naskah novelnya yang perlu diperbaiki.
Sekarang, buku catatannya hilang dan WhatsApp Sintia menggunakan mode disappearing massages dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Hasya jadi ingin menangis. Bisa-bisanya dia baru sadar kalau buku catatannya hilang setelah hari berganti. Sekarang, satu-satunya modal yang ia punya untuk mengerjakan revisian hanyalah komentar-komentar Sintia yang dikirimkan lewat email.
“Hasilnya nggak akan maksimal kalau cuma ngandelin ingatan jangka pendekku. Aku harus cari buku itu di mana?”
Sempat terpikirkan oleh Hasya untuk meminta bantuan Arsa. Namun, setelah mengingat hari ini Arsa sedang mengerjakan tugas—semalam mereka sempat membicarakannya lewat pesan singkat, Hasya jadi tidak enak. Mau meminta bantuan Melodi dan Jia pun Hasya merasa sungkan karena mereka beda fakultas.
Masa iya bukuku terbang sampai ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis? Apalagi sampai ke gedung teknik.
Hasya mencoret ide itu dari kepalanya. Satu-satunya orang yang bisa membantunya sekarang hanyalah dirinya sendiri.
Hasya bangkit berdiri, menyambar outer dan sling bag dari balik pintu kamarnya. Seusai mengikat rambut tinggi-tinggi, kakinya melangkah keluar kamar. Meski sedang berlangsung minggu tenang dan tidak ada tugas yang harus dikumpulkan saat itu juga, hari ini Hasya tetap pergi ke kampus demi buku catatan pink kesayangannya. Yang selain menyimpan catatan-catatan revisian juga menyimpan rahasia-rahasia besar yang bisa mengancam keselamatannya jika buku itu jatuh di tangan orang yang tidak tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...