CHAPTER 21

74 6 7
                                    

Dunia masih berjalan sebagai mana mestinya. Matahari masih terbit dari timur, bulan masih sendiri, hujan pun masih air. Tidak ada perubahan yang begitu drastis. Hasya masih makan tiga kali sehari, mandi dua kali sehari, mencuci baju dua hari sekali, jajan, mengerjakan tugas, dan melakukan aktivitas pada umumnya. Hasya masih mendapat DM-DM tidak menyenangkan dari Cahaya dan teman-temannya, dan Hasya masih mencoba untuk mengabaikannya meski sulit. Hasya masih belum berani makan di TJ food court. Hasya juga masih sering diteror Sintia karena tunggakan setoran chapter novelnya.

Omong-omong soal novel, Hasya masih belum menulis lagi. Draf terakhirnya adalah chapter lima belas yang ditulisnya di Kafe Kinari waktu itu. Dua minggun yang lalu? Mungkin sebulan yang lalu? Hasya bahkan tidak mengingatnya. Sudah selama itu, dan Hasya belum punya keinginan untuk membuka kembali draf novelnya. Pantas saja Sintia hobi memarahinya.

Seminggu berlalu sejak Harvey memeluknya. Hasya masih ingat bagaimana reaksi tubuhnya yang langsung menegang, jantungnya berdetak sangat cepat. Tapi sepertinya bukan hanya jantungnya yang menggila karena telinga Hasya yang menempel di dada kiri Harvey bisa mendengar detakan yang sama cepatnya.

Saat itu Harvey menepati ucapannya. Dia melepaskan rangkuman lengannya tak lama setelah dagunya menempel di bahu Hasya. Mungkin tidak sampai dua puluh detik. Tidak banyak yang Harvey katakan setelahnya. Cowok itu hanya berpesan agar Hasya tidak melupakannya dan berharap agar Hasya selalu sehat dan bahagia. Hasya sudah sangat ingin menangis waktu itu, tapi air matanya ditahan mati-matian. Hasya sudah bertekat untuk kembali fokus pada kuliah dan novelnya, juga mengakhiri rasa sukanya pada Harvey yang mungkin bertepuk sebelah tangan.

“Semangat, Sya. Kamu pasti bisa!” yakinnya. Meski, jauh di lubuk hatinya, Hasya merindukan Harvey.

Sangat.

Entah bagaimana dengan kakak tingkatnya itu.

^^^

Harvey menyampirkan handuk di belakang pintu. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi dia baru sempat membersihkan badan. Semester lima, kelas dan tugas sedang padat-padatnya, belum lagi tambahan kegiatan ini dan itu yang membuat waktunya banyak tersita.

Harvey masih bertelanjang dada saat duduk di kursi belajarnya untuk mengisi daya ponsel. Sejak sore, benda pipih miliknya itu mati karena Harvey lupa membawa charger dan teman-temannya tidak ada yang berkenan meminjamkan. Sambil menunggu ponselnya terisi daya, Harvey mengambil laptopnya dari dalam laci. Saat mengeluarkan benda berukuran empat belas inchi itu, selembar kertas jatuh di atas kakinya. Harvey memungutnya. Seulas senyum tercetak, senyum yang tidak sampai ke matanya.

Seminggu berlalu sejak Hasya memberinya hadiah. Selama itu pula Harvey masih sering  membaca surat yang Hasya tulis untuknya. Rasanya masih sama. Pesan-pesan yang Hasya tuliskan di lembaran berwarna pink itu terasa hangat saat dibaca, meski terkadang rasa sesak juga datang setelahnya. Harvey rindu Hasya. Dia tahu pasti. Dia hanya belum menemukan alasan yang tepat untuk kembali menghubungi Hasya.

“Hasya lagi apa, ya?”

Harvey tergoda untuk mencari tahu kabar gadis itu. Jadi, meski baterai ponselnya baru sepuluh persen, cowok itu sudah memainkannya. Pertama, Harvey membuka WhatsApp. Hasilnya nihil. Hasya tidak membuat status di sana. Kedua, Instagram. Hasya jarang membagikan kegiatannya di insta-story, tapi paling tidak, Hasya sering mengunggah quotes atau cuplikan karya-karyanya.

Dan, hari ini Harvey mungkin beruntung karena cewek itu mengunggah sesuatu di sana. Hasya mengunggah foto layar laptop dan tumpukan buku. Di bagian bawah terdapat sebuah caption: aku baik-baik aja, paling cuma muntah paku kalau besok tugasnya ditambah lagi.

Harvey tergoda untuk me-replay. Namun, niat itu kembali diurungkan. Harvey tidak mau mengganggu Hasya. Sudah cukup dia membuat cewek itu ikut terjerat hukuman Miss Ditya hingga nilai Bahasa Inggris-nya terancam.

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang