CHAPTER 15

93 7 8
                                    

“Hasya ….”

Seseorang memanggil dan menepuk bahunya pelan dari arah kanan. Hasya menoleh cepat, secepat deru napasnya yang berlomba dengan isakan. Hasya merasa cemas karena ada yang mengenalinya di tempat yang asing itu. Namun, kecemasannya berangsur hilang saat menemukan wajah yang cukup familier di matanya.

“Hape kamu nggak aktif, ya?”

Sudah cukup banyak orang yang Hasya kenal di Yogyakarta, tapi Tuhan malah mengirim Harvey kepadanya. Jika berada dalam suasana hati yang baik, Hasya yakin wajahnya akan langsung memerah atau tersipu saat Harvey mendatangi dan berkata manis padanya, tapi yang terjadi kali ini sebaliknya. Wajah Hasya memang memerah, tapi bukan karena tersipu, melainkan karena baru saja menangis. Air mata masih berjejak di sekitar matanya yang sedikit bengkak, hidungnya memerah dan sedikit berair. Setelah menyadari wajahnya akan jadi makin jelek karena menangis, Hasya cepat-cepat menghilangkan jejak-jejak air matanya meski tak sepenuhnya hilang.

“Lupa nyalain data. Kak Harvey ada chat apa emangnya?” tanya Hasya. Suaranya terdengar lebih bergetar dari apa yang direncanakan.

Harvey duduk di sebelah Hasya tanpa peduli tempat itu lumayan kotor karena jejak alas kaki pengunjung stasiun. Senyum tipis terulas di bibirnya. Harvey yang biasanya melihat Hasya malu-malu saat bersama dengannya, merasa aneh saat menemukan cewek itu sedang menangis. Meski begitu, Harvey tidak serta merta menampakkan wajah khawatir karena dia yakin, sebagian orang tidak suka dikhawatirkan.

“Bukan apa-apa, cuma nanyain soal buku kemarin. Recommended, nggak?”

Hasya mengambil ponselnya dari dalam tas. Setelah tersambung dengan internet, beberapa notifikasi masuk, salah satunya pesan dari Harvey. Cowok itu tidak berbohong. Pesannya memang berbunyi demikian.

Cewek itu mengusap hidungnya yang seperti tersumbat. “Bukunya … udah aku baca. Recommended. Kak Harvey mau baca?”

“Eum … aku lebih mau dengering kamu cerita, sih. Ada masalah apa sampai nangis di sini gara-gara gagal pulang kampung, hm?”

Hasya tahu, Harvey sudah bertanya dengan sangat hati-hati, tapi karena hatinya sedang sensitif dia jadi sedih lagi. Hasya kembali menyembunyikan wajahnya di balik lipatan tangan yang diletakkan di atas lutut. Bahunya berguncang kecil. Cewek itu menangis, bedanya kali ini ada seseorang yang duduk di sampingnya.

Harvey menepuk-nepuk pelan bahu Hasya, menandakan kalau dia ada untuk adik tingkatnya. “Nangis aja nggak papa. Ceritanya boleh nanti aja sambil makan. Kamu pasti belum makan, kan? Cari makan, yuk!”

^^^

“Aku dikasih tahu Supri. Katanya dia lihat kamu nangis di stasiun sendirian setelah tahu kereta tujuan kampung halaman kamu nggak beroperasi karena ada longsor di jalurnya.”

Harvey menyiram lele gorengnya dengan sambal, lalu mulai menyuap. Setelah keluar dari Stasiun Lempuyangan, cowok itu membawa Hasya ke warung pecel lele di sekitar Tunas Jaya. Harvey sengaja tidak bertanya kepada Hasya mau makan di mana karena dia sudah tahu jawabannya tidak akan jauh dari kata “terserah”. Untungnya, adik tingkatnya itu tidak menolak. Hasya oke-oke saja dipesankan ayam goreng dan es jeruk.

Langit mulai gelap, tapi hujan sudah sepenuhnya reda. Hasya ikut memakan makanannya meski sejak di stasiun tadi dia sudah melupakan rasa laparnya. Tebakan Harvey memang benar, dia belum makan sejak jam makan siang tiba.

“Omong-omong, Supri itu cowok yang kamu tanyain tadi.”

“Yang pakai hoodie?”

Harvey terkekeh. “Mana aku tahu, Sya? Dia nggak pap—post a picture—juga ke aku buat nunjukin baju yang dia pakai.”

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang