CHAPTER 13

93 7 13
                                    

Intro lagu “Kita” yang dipopulerkan oleh Sheila On 7 dimainkan menggunakan gitar akustik oleh Harvey yang saat ini sedang berada di taman fakuktas. Earphone putih terpasang di telinganya. Tak jauh dari tempatnya bergitar, Rendy dan Vidia stan by, siap bernyanyi jika saatnya sudah tiba. Ini bukan kali pertama ketiganya berkumpul untuk bernyanyi. Lagi pula, taman fakultas letaknya cukup jauh dari gedung kuliah, sehingga keramaian yang terjadi di sana tidak akan mengganggu proses pembelajaran.

Petikan gitar bernada lembut mengakhiri konser jadi-jadian tiga serangkai itu. Harvey mengembuskan napas lega setelah berhasil memainkan satu lagu utuh. “Gue udah lama nggak mainin lagu-lagunya Sheila On 7. Ternyata masih inget kunci-kuncinya. Pas pentas di HIMA nanti, gue main lagu ini aja apa, ya?” katanya sambil melepas earphone. “BTW, kalian ngikut gue nongkrong di sini, emang udah kelar kelasnya?”

Rendy menyeruput es kopinya hingga hanya tersisa setengah. “Gue, sih, udah. Nggak tahu nih si Vidi.”

Vidia yang sedang mengunyah cireng bumbu rujak nyaris tersedak saat Rendy menyenggol bahunya dengan tenaga dalam. “Rendy! Kalo aku keselek gimana? Ini cabai, lho!”

Yang dimarahi hanya memeletkan lidahnya acuh tak acuh.

“Minum dulu, nih.” Harvey yang cepat tanggap mencegah keributan, segera mengulurkan air mineralnya yang masih tersegel.

Thanks, Vey.”

“Sama-sama.”

Vidia minum dengan khusyuk. Rendy menertawakan ekspresi tegang cewek cantik itu.

“Si Vidi nih emang hobi ngintilin gue, makanya dia ikut ke sini, padahal masih ada kelas.” Seolah tidak pernah terkena amukan Vidia, Rendy berkata seenak jidatnya.

Vidia yang tidak terima dibilang “hobi ngintilin” langsung menendang tulang kering cowok kurus berkemeja kotak-kotak itu. “Heh!” Matanya memelotot.

Harvey kembali menengahi dua sahabatnya yang bak kucing dan tikus dengan menggenjreng gitarnya tiba-tiba hingga mengejutkan orang-orang. “Malu woy! Udah semester lima masih suka berantem aja. Tiati jatuh cinta.” Kemudian, cowok itu bersiul sambil mengedipkan satu matanya.

Sontak saja Vidia mengetuk pelipis dan ujung kursinya bergantian. Mulutnya merapal kata “amit-amit” berulang kali. Sementara, Rendy justru tertawa terpingkal-pingkal, seolah perkataan Harvey adalah hal paling lucu di dunia.

“Modelan Vidi nggak masuk gelas gue, Vey!”

“Modelan kamu juga nggak masuk ke kriteria aku sama sekali!”

“Udah ….”

Rendy melempar potongan cireng ke arah Harvey. “Lo yang mulai ya, Nyet!”

Harvey mengangkat tangan, mengaku salah. “Jadi, kamu masih ada kelas, Vid?”

Vidia mengangguk. “Kamu lupa jadwal aku, ya? Kita, kan, udah sering nongkrong di sini sampai jam tiga. Abis itu aku lanjut kelas, kalian pulang.”

“Si Harvey sibuk terus sama dektingnya, Vid, makanya dia lupa jadwal kuliah lo.” Ganti Rendy yang bersiul-siul menyebalkan.

“Emang kompor meleduk, ya, lo!” seru Harvey sambil melempari Rendy dengan serpihan gorengan yang ia beli di kantin saat jeda kuliah tadi.

Rendy tampak tidak peduli, malah makin mengompori. “BTW, Vey, bukunya udah lo kasih?”

“Buku apa? Kayaknya aku ketinggalan info mulu, deh,” gerutu Vidia. Jelas saja cewek itu sering ketinggalan info. Program studinya berbeda sendiri.

Rendy merangkul bahu Vidia, lalu berbisik di telinganya. “Dektingnya Harvey belakangan murung, si Harvey nggak tahu cewek itu kenapa. Terus karena dektingnya itu anak sastra, Harvey kepikiran ngasih buku kumpulan puisi biar dektingnya nggak murung lagi. Soalnya Harvey nggak suka kalau dekting imutnya berubah ketus dan garang.”

Mata Vidia terbuka. “KOK, KAMU BISA SWEET, SIH, VEY?” pekiknya, membuat Harvey memejamkan mata sambil menghela napas kasar karena pekikan Vidia mulai menarik perhatian orang.

Semuanya gara-gara Rendy si Kompor Meleduk! Untung saja tidak ada Hasya di sini. Kalau sampai cewek itu mendengar cerita seperti yang Rendy tuturkan, Harvey takut sekali akan terjadi kesalahpahaman. Soalnya, Harvey bersikap seperti itu karena belakangan dia mulai menganggap kalau Hasya adalah adiknya, bukan seorang istimewa yang Rendy sebut-sebut sebagai gebetan.

Entahlah. Harvey rasa dia tidak memiliki perasaan khusus kepada Hasya. Baginya, Hasya yang kata Rendy imut-imut dan ia juga mengakuinya, lebih cocok dianggap sebagai adik.

“Mulut lo lama-lama gue sumpal pakai knalpot, ya, Ren. Biar makin berisik!”

^^^

Hasya berhenti bersikap ketus setelah Harvey memberinya sebuah buku kumpulan puisi dari penyair yang ia gemari. Hal itu membuat hari-harinya berjalan lebih menyenangkan. Meskipun, Hasya masih belum bisa sepenuhnya berhenti mengagumi dan menyukai kakak tingkatnya itu.

Ah, sepertinya Hasya malah berniat untuk terus mengagumi Harvey sampai wisuda. Pasalnya, selalu ada hal-hal yang mengejutkan dari cowok itu. Selain sikapnya yang ramah—kalau tidak mau dibilang manis—Harvey juga memiliki prestasi yang bikin Hasya “hah heh hoh” saking takjubnya.
Hasya bukan orang yang pelit apresiasi. Maka, begitu melihat Instagram story terbaru Harvey yang menampilkan sebuah poster yang berisi pengumuman kejuaraan, Hasya bertepuk tangan heboh—setelah berhasil menguasai dirinya kembali—dan berdecak takjub berkali-kali.

“Kak Harvey masuk jajaran mapres—mahasiswa berprestasi! Keren banget!” serunya, yang terinterupsi kemudian oleh gedoran pintu.

Didengar dari tempo ketukannya yang santai, Hasya bisa menebak siapa yang bertamu ke kosnya malam-malam begini.

“Sebentar,” katanya sambil bergegas mengikat rambutnya yang tadi dibiarkan awut-awutan. Sekadar informasi, Hasya sangat malas bersisir karena sejak menjadi penghuni kos, rambut panjangnya rontok parah.

Hasya membuka pintu. Seperti tebakannya, yang bertamu betulan Arsa. “Masuk, Ar.”

Arsa yang kali ini mengenakan kaus rumahan dan celana panjang bergambar lumba-lumba mengikuti sang pemilik kamar. Di tangannya terdapat plastik putih berisi makanan. Dari aromanya, Hasya menebak Arsa membawa martabak manis, tapi entahlah, Hasya juga menghidu aroma gurih dari sana.

“Aku bawa martabak, manis dan asin. Aku nggak mungkin bisa habisin ini sendirian, makanya ke sini,” jelas Arsa sebelum diminta. Keduanya lantas duduk melantai mengelilingi dua jenis martabak itu.

“Kamu sengaja beli dua begini?”

Arsa nyengir. “Mumpung ada voucher beli satu gratis satu di gofood,” katanya. “Makan, Sya. Makan.”

Hasya dan Arsa, kadang juga dengan Melodi dan Jia, sudah biasa berbagi makanan. Maka, tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Hasya yang cinta mati dengan makanan manis mencomot sepotong martabak isi cokelat pisang. Begitu digigit, cita rasa martabak yang khas itu meledak di mulutnya. Sedangkan, Arsa memilih menikmati martabak asinnya terlebih dahulu.

“Sebenarnya aku mau sekalian cerita, sih.”

Hasya menaruh selurun atensinya pada temannya itu. “Ceritalah,” katanya.

Arsa menelan potongan martabak asinnya. Kemudian, cewek itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Pipinya sedikit merona, membuat Hasya—lagi-lagi—menebak-nebak apa yang akan temannya itu ceritakan.

“Sya, kayaknya aku jatuh cinta.”

Mendengar itu, Hasya kontan membulatkan mata. “Serius? Sama siapa?” tanyanya antusias. Pasalnya, sama seperti dirinya, Arsa adalah jomblo karatan yang belum pernah jatuh cinta. Ralat, maksudnya baru pertama kali jatuh cinta.

Bukankah kisah cinta pertama selalu menarik? Ya, mungkin saja.

Arsa dan Hasya terlibat pembicaraan yang menarik. Arsa terus menceritakan cowok yang ditaksirnya. Hasya menanggapinya dengan antusias, kadang juga memberi saran atau pujian. Malam itu, pembicaraan mengenai cinta pertama membuat keduanya tidak mengantuk. Namun, ada satu hal penting yang juga terlewatkan selain jam tidur. Yaitu, alarm tugas dari ponsel Hasya yang diabaikan begitu saja.

Deadline tugas musikalisasi puisi: dua hari lagi!

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang