Jika menyukai Harvey adalah kesalahan, maka selamanya Hasya tidak membutuhkan kebenaran. Bukan Hasya dibutakan oleh cinta, dia hanya tidak ingin menyalahkan cinta yang bahkan entah seperti apa bentuknya. Tak bisa dimungkiri, menyukai Harvey membuatnya bisa menyelesaikan naskah novelnya meski setelah resmi menjadi mahasiswa jadwalnya padat merayap. Tanpa bantuan dan dukungan dari kakak tingkatnya itu, mungkin Hasya sudah menyerah di tengah jalan. Merelakan mimpi besarnya menerbitkan buku di penerbit impiannya.
Hasya tidak bisa membayangkan akan seperti apa bentuk penyesalannya jika saat itu dia salah pilihan.
Poster pre order novelnya yang diberi judul The Way I Find You mulai disebar di sosial media Nusa Karya. Hasya pun turut mengunggahnya di sosial media miliknya. Ada banyak repons positif yang dia terima. Teman-temannya memberinya ucapan selamat. Tak jarang, mereka juga ikut membagikan poster dan mengikuti pre order novelnya.
Perasaan haru menguasai Hasya yang malam ini mengenakan terusan sebetis berwarna putih gading, rambut bergelombang sepunggungnya digerai, kakinya dibalut flat shoes putih yang senada dengan dress dan sling bag-nya. Gadis itu berdiri di depan sebuah kafe yang asing di matanya. Siang tadi Jia, Melodi, dan Arsa memintanya untuk datang ke kafe itu, katanya mereka akan membuat perayaan kecil-kecilan. Hasya dengan senang hati mengiakan, meski sedikit bingung karena dia diminta untuk datang sendirian. Tidak seperti biasanya.
Begitu membuka pintu, Hasya langsung disambut seorang cewek berapron cokelat.
“Selamat datang di B-Star Café.”
Hasya teringat dengan pesan Jia, begitu datang bilang saja sudah punya janji sama yang booking rooftop. Dia pun mengikuti petunjuk Jia. Kepada pramusaji kafe di depannya, dikatakannya seperti apa yang Jia katakan kepadanya.
“Mari, Kak, saya antar.”
Hasya mengekor, menyusuri B-Star Café yang ternyata luas juga. Selain itu, kafe ini juga memiliki interior yang mewah. Dilihat dari tempatnya, sepertinya harga menu-menunya cukup mahal. Kenapa mereka milih tempat kayak gini, sih? Nggak takut bangkrut apa?
Terlalu banyak membatin membuat Hasya tidak sadar kini dirinya sudah berada di lantai dua. Lantai dua didesain setengah terbuka. Ada bagian yang tetap dinaungi atap, ada pula yang terbuka. Hasya memperhatikan sekeliling. Tidak ada Arsa, Melodi, Jia, atau orang lain di sana selain sang pramusaji dan dirinya. Kerutan terbentuk di jidatnya yang sebagian ditutupi poni.
“Saya tinggal dulu ya, Kak.”
Hasya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Kini, Hasya benar-benar sendirian. Cewek itu mengambil ponsel untuk mengabari teman-temannya kalau dia sudah datang. Sayang sekali, ponsel ketiga sahabatnya tidak ada yang aktif.
“Ini mereka nge-prank aku?” Hasya celingukan mencari kamera yang barang kali disembunyikan di sekitarnya. “Hey, kalian mau ngerjain aku, kah?”
Derap langkah terdengar dari arah tangga. Hasya berbalik badan.
“Mel—” Kalimatnya terhenti begitu menemukan sosok lain berdiri di ujung tangga dengan senyum hangatnya.
“Hai, Sya. Udah lama nyampenya?” Orang itu berjalan dengan santai. Tangan kanannya menyodorkan sebuket bunga. Bunga krisan aneka warna. “Selamat ya, novelnya udah mulai pre order. Aku juga udah pesen satu.”
Hasya bergeming di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa.
“Malah bengong. Ambil nih bunganya.”
Hasya menyengir, lalu menerima bunga itu dengan kikuk. Ini buket bunga pertama yang dia terima dari seorang cowok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomansaRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...