Kak Sintia-Editor:
Barusan aku kirim revisian ke email
Jangan lupa dikerjainHasya Audrey:
Siap, Kak
Makasih banyakKetenangan setelah berhasil menamatkan naskan novelnya tidak bertahan lama. Belum ada seminggu, Hasya sudah diminta revisian. Rasanya seperti tidak dibiarkan bernapas lega, tapi Hasya tidak mau mengecewakan editornya lagi. Sintia sudah membantunya sejauh ini, maka Hasya juga akan bekerja keras demi kesuksesan calon novel cetak pertamanya.
Begitu membalas pesan, Hasya membuka email yang Sintia kirimkan. Isinya adalah sebuah tautan Google Drive. Hasya mengarahkan kursornya untuk membuka tautan itu. Dan, matanya langsung melotot begitu layarnya di-scroll ke bawah. Ada banyak penanda berwarna merah, kuning, dan hijau. Hasya tidak mengira, Sintia banyak sekali memberi catatan.
“Nggak revisian makalah, nggak revisian novel, sama aja bikin pusing!”
Hasya menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Matanya berkunang-kunang seketika.
Kak Sintia-Editor:
Jangan lama-lama ya, Sya
Kalau bisa, cover jadi, revisianmu juga udh selesaiKalau Hasya pengangguran gabut, mungkin dia bisa mengerjakan tugasnya dengan cepat dan tepat. Masalahnya, tugas kuliahnya pun sama sekali tidak membiarkannya tidur cepat alias menyita banyak sekali waktunya. Hasya jadi berandai-andai, kalau dia punya Doraemon pasti kepalanya tidak akan sepening ini.
Sambil menunggu kelas berakhir, Hasya curi-curi waktu untuk mencatatp poin-poin revisiannya di buku catatan kecil. Hasya bahkan turut mencatat komentar-komentar Sintia yang kadang menohok. Seperti:
Ini adegan pegangan tangan sama pacar apa sama Pak Guru? Kaku amat!
Adegannya peluk-pelukan, tapi reaksi jantungnya kayak mau ditembak mati!
Plis, Sya! Malioboro date itu romantis. Ini kenapa nggak ada rasanya?
Nggak bernyawa, ganti!
Komentar yang tidak ramah untuk author jomblo sepertinya. Embusan napas panjang terdengar dari mulut Hasya saat kelas berakhir.
“Sya, mau ke kantin, nggak?”
Hari ini kelas besar. Seperti biasa, Hasya duduk berdampingan dengan Arsa. Jam pergantian kelas sedang berlangsung. Jeda lima belas menit yang ada biasanya dimanfaatkan untuk pergi ke kantin. Hasya dan Arsa biasanya menjadi dua orang pertama yang turun untuk membeli roti, tapi kali ini Hasya sedang malas. Tenaganya seolah baru saja dikuras habis-habisan, oleh kelas Bahasa Indonesia yang berat materinya, juga oleh revisian yang bikin kepala pyeng-pyeng-an.
“Aku nitip dong, Ar. Lagi lemes ….” Hasya memasang wajah melas. Berharap Arsa mau dititipi. Sayangnya, keberuntungan sedang tidak berpihak kepadanya.
“Nggak ada titip-titip. Kalau laper, ayo ke kantin! Bentar lagi dosen datang!”
“Ar ….”
“Nggak. Kalau kamu nggak turun, aku juga males.”
Arsa bersedekap dada. Hasya mendesah kecewa.
Akhirnya, Hasya yang mengalah. Bukan demi Arsa, tapi demi perutnya yang mulai tersiksa. Skip sarapan karena bangun kesiangan adalah petaka. Menuju jam sebelas, cacing-cacing di perutnya sudah meronta-ronta.“Ya udah, deh. Yuk!” Hasya bangkit dari kursinya setelah mengambil dompet dan menaruh book note pink seukuran telapak tangannya di saku kemeja. Book note yang selalu membersamainya di mana pun Hasya berada.
^^^
Petaka selanjutnya setelah skip sarapan adalah kehabisan roti di kantin. Hasya tertunduk lesu setelah memutari kantin untuk mencari roti, tapi tidak ketemu. Katanya, sudah diborong anak-anak dari kelas lain. Kalau begini ceritanya, mending tadi ke warung depan gerbang saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...