EPILOG

218 7 4
                                    

Gramedia Sudirman ramai didatangi orang. Remaja dengan pakaian berwarna pink mendominasi. Mereka menenteng tote bag bertuliskan The Way I Find You yang juga berwarna pink. Hari ini, akan ada talk show dan peluncuran novel The Way I Find You di sana. Hasya diundang menjadi pembicara bersama Sintia selaku editornya.

Awalnya Hasya mengira acara hari ini akan sepi, mengingat pembacanya tidak seberapa. Namun, yang datang hari ini melebihi ekspektasinya. Senyum tidak lepas dari bibir Hasya yang dipoles liptin merah muda, meski jantungnya berdegup kencang karena hari ini dia yang akan menjadi bintang acaranya.

“Sebentar lagi acaranya dimulai ya, Kak. Nanti kalau sudah saatnya masuk, saya kasih kode, ya,” ucap salah satu panitia.

Hasya mengangguk patuh. Sebelum tiba saatnya dia duduk dan diberi banyak pertanyaan, terlebih dahulu dia mematut penampilannya di depan cermin. Sama seperti kebanyakan orang yang mengunjungi Gramedia Sudirman kali ini, Hasya mengenakan blouse berwarna pink sesuai dress code. Rambutnya dikepang menyamping. Tubuhnya yang mungil jadi terlihat lebih tinggi berkat sepatu setinggi lima sentinya.

“Kak Hasya, acaranya sudah dimulai.”

Dada Hasya bergemuruh, takut salah bicara atau salah tingkah. Sebelum keluar mengekori panitia, matanya dipejamkan. Seketika bayangan orang-orang yang menyemangatinya terlihat. Mama, Papa, Kakak, Arsa, Melodi, Jia, Harvey, bahkan Miss Ditya—dosen Bahasa Inggris itu akhirnya tahu salah satu dari mahasiswa yang pernah dihukumnya baru saja menerbitkan buku.

Hasya menampakkan diri di depan para pembaca novelnya. Sambutan yang antusias membuat perasaan cemasnya berangsur hilang. Kini, dia duduk bersama Sintia dan Nirmana—yang bertugas sebagai moderator. Bincang-bincang seputar The Way I Find You berlangsung dengan seru. Bahkan, Hasya kembali meneteskan air mata haru.

“Aku nggak akan sampai di titik ini—nerbitin buku, punya banyak pembaca, bahkan diundang untuk talk show—tanpa bantuan dan dukungan dari orang-orang yang tersayang, dan tentunya aku juga nggak akan sampai di tahap ini kalau aku terus merasa minder dengan kemampuan yang aku punya.

“Novel The Way I Find You menceritakan kisah sepasang remaja yang saling bekerja sama untuk menemukan jadi diri mereka. Lewat novel ini, teman-teman bisa belajar menemukan, memahami, menerima, dan berteman dengan diri sendiri.”

Tepuk tangan meriah terdengar setelah Hasya mentelesaikan kalimat panjangnya.

Acara sudah berlangsung, tapi orang-orang masih berdatangan. Beberapa orang yang tidak kebagian kursi berdiri di baris paling belakang. Pandangan Hasya terlempar ke sana. Lebih tepatnya ke arah seorang cowok dengan tas gitar yang tersampir di bahu kirinya. Cowok itu tersenyum hangat. Hasya balas melempar senyum yang tak kalah hangatnya.

^^^

Acara talk show selesai satu jam kemudian. Hasya kembali ke ruangan yang tadi digunakan untuk berkumpul sebelum acara dimulai. Di sana, Harvey sudah menunggu. Sebuket bunga berada di tangannya.

Congratulation, sayangku.” Cowok itu menghambur ke arah Hasya untuk mengucek pelan puncak kepalannya. Buket bunga di tangannya berpindah ke tangan Hasya. “Kamu keren banget. Selalu keren. Keren setiap hari. Karena apa? Karena kamu pacar aku.”

Diperlakukan seperti itu, pipi Hasya merona. Tangannya mencubit pinggang Harvey yang melempar gombalan tak kenal tempat. “Malu, Kak,” katanya, tapi Harvey tidak peduli. Kepada Sintia dia bertanya, “Kak, pacarku udah boleh dibawa pulang belum?”

Sintia memutar bola matanya. “Nggak sabaran banget jadi cowok. Hasya biar makan dulu gitu, lho, Vey …. Sayang banget itu konsumsinya kalau nggak dimakan,” katanya. Perempuan itu sudah tahu buhungan Hasya dengan Harvey, bahkan sudah bosan mendengar gombalan receh Harvey yang itu-itu saja. Kalau bukan Harvey yang membuat Hasya cepat menyelesaikan novelnya, mungkin Sintia sudah mengusir cowok yang selalu kelihatan batang hidungnya di setiap acara yang melibatkan Hasya.

“Jadi … nggak boleh, nih, Kak?”

“Ya, boleh aja. Terserah Hasya, sih. Acaranya juga udah selesai.”

“Asyik.” Harvey berjingkat-jingkat senang.

Hasya pulang bersama Harvey setelah berpamitan kepada Sintia, tim Nusa Karya dan gramedia.

“Mau makan di mana, Sya?” tanya Harvey. Kini, keduanya sudah berada di atas motor, menikmati jalanan Yogyakarta di bawah hamparan langit jingga.

Menikmati langit senja di Yogyakarta sepertinya sudah menjadi hobi Hasya sejak dekat dengan Harvey. Dan, dia tidak pernah bosan. Apalagi saat Harvey bersamanya seperti saat ini.

“Apa aja. BTW, makasih ya, Kak, udah mau datang dan support aku,” ucap Hasya. Tangannya yang berada di saku jaket Harvey berpegangan lebih erat.

Melalui kaca spion, Hasya bisa melihat senyum hangat yang tercetak di bibir Harvey. Cowok itu meliriknya sekilas, lalu berkata, “Makasih juga udah mau tanda tangan kontrak perpanjangan kisah cinta kita. Jangan buru-buru diakhiri ya, Sya?”

Hasya tersenyum geli, tapi tak pelak tetap mengiakan permintaan Harvey yang juga menjadi keinginannya.

“Boleh … lima puluh.”

Keduanya tertawa lepas.

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang