CHAPTER 24

87 6 15
                                    

Menjelang jadwal tampil di acara UKM, Asyik jadi sering latihan. Tiga sampai lima lagu telah dipersiapkan. Bahkan, untuk urusan outfit. Ruang latihan tidak pernah sepi, meski dua minggu belakangan Harvey sering membolos dengan alasan urgensi.

“Bosen banget, bjir. Tiap hari latihan, ketemunya elo-elo mulu,” keluh Yudi. Wajahnya terlihat lusuh dan dipenuhi keringat. Dia masih duduk di atas cajon-nya, baru saja menyelesaikan lagu yang ketiga untuk yang kelima kalinya.

Aldi mengempaskan pantatnya ke sofa. Bass yang sepanjang hari dipeluknya ditinggalkan di atas kursi begitu saja. Wajahnya tak kalah kuyu dari Yudi—sobat baiknya. “Selain ketemunya elo-elo aja, gue juga bosen banget megang bass mulu. Kapan coba gue megang tangan pacar gue?” tanyanya.

“Kayak punya pacar aja! Situ, kan, jomblo!” sahut Supri. Suara vokalis Asyik itu terdengar agak serak karena terus-terusan bernyanyi.

Guys, practice make perfect. Jangan kelihatan loyo gini, dong!”  ujar Harvey. Hanya dia yang masih memiliki semangat membara di antara teman-temannya.

“Lah, capek, Ngab! Tiap hari ngelus-ngelus cajon, padahal kalau tampil juga duitnya nggak seberapa.”

Bahu Harvey merosot. Dari hari ke hari, semangat teman-teman band-nya memang terlihat semakin merosot. Kadang, latihan jadi terasa alot dan penuh perdebatan seperti sekarang ini.

“Lo, kok, kepikiran ngomong practice make perfect, padahal lo yang paling sering bolos, sih, Vey?”

Kalimat Aldi berbau sindiran. Harvey meletakkan gitarnya, kemudian duduk di sebelah temannya itu. “Sori, deh. Gue, kan, udah bilang belakangan gue hectic parah. Tapi, toh, meski gue nggak latihan, gue selalu support kalian dengan makanan ringan, kan?” ujarnya.

Supri menimpali, “Makanan ringan doang nggak bikin kita happy, Vey! Sekali-kali bentuk support kamu diganti coba.”

“Diganti apa?”

“Bayarin kami ongkos ke pantai misalnya. Dari transport sampai ke logistik.”

Ide Supri disambut meriah oleh Aldi dan Yudi. Setelah menjatuhkan bahunya, kini rahang Harvey rasanya juga mau copot. Teman-temannya ini ajaib sekali, melebihi random-nya ide Vidia dan Rendy yang sering tiba-tiba ngajak hangout ke tempat-tempat bagus meski lagi nggak pegang duit.

Tapi, omong-omong soal pantai, Harvey jadi ingat beberapa hari yang lalu dia sudah pergi ke tempat berombak itu untuk menyelesaikan misinya menebus kesalahannya pada Hasya.

Tanpa sadar, satu sudut bibirnya terangkat.

“Lah, buset … serem banget tiba-tiba gue disenyumin!” pekik Aldi, cowok itu bersembunyi di balik punggung Supri.

^^^

Salah satu hari dari dua minggu yang dimilikinya bersama Hasya, Harvey mengajak adik tingkatnya itu pergi ke pantai. Sebagai seorang thallasophile, pantai, laut, ombak, dan anginnya yang sejuk selalu berhasil mengenyahkan beban berat serta suntuk-suntuk yang mengganggu. Harvey pikir, dengan mengajak Hasya ke tempat itu, ide-ide cewek itu akan semakin mengalir dan boombastis. Sehingga naskahnya pun akan cepat selesai.

Setelah menempuh perjalanan kurang dari dua jam, akhirnya mereka sampai. Kebetulan cuaca sedang sangat baik. Cerah seperti senyum Harvey yang tidak luntur sepanjang menyusuri pantai untuk mencari spot yang enak digunakan untuk menulis. Karena pantai selatan terkenal dengan ombaknya yang ganas, Harvey tidak menyarankan untuk duduk-duduk di dekat bibir pantai. Salah-salah tempat, laptop Hasya bisa terseret ombak.

“Di sini aja, ya?”

Hasya tidak banyak protes. Memang tidak pernah protes. Cewek itu langsung duduk anteng begitu Harvey menemukan tempat yang oke.

Sepanjang mengenal Hasya, Harvey jadi tahu kalau cewek itu termasuk orang yang multitasking. Dia juga bisa produktif di mana saja asal idenya sedang tidak buntu. Hasya bisa menulis sambil makan, menulis sambil mendengarkan musik, menulis sambil membicarakan aktor drama, bahkan menulis sambil menyusun makalah. Maka, tak heran jika Hasya juga tetap bisa menulis meski ombak pantai melambai-lambai seolah sedang mengajaknya bermain.

Dua buah kelapa muda yang sudah dibuka menemani keduanya. Juga dengan beberapa makanan ringan lainnya. Harvey membuka satu per satu bungkusnya. “Sambil makan, Sya,” ujarnya.

Angin laut menerbangkan rambut Hasya yang sedikit berombak. Berulang kali rambut hitam itu menutupi wajah Hasya. Karena terganggu, Hasya mengambil ikat rambut dari sling bag-nya. Cewek itu mengangkat rambutnya tinggi-tinggi, membebaskan lehernya yang terlihat jenjang.

Tanpa sadar, mata Harvey tak lepas dari Hasya. Gerakan Hasya yang sedang mengikat rambut terlihat memesona. Agaknya benar kata tetangga yang menyebutkan kalau perempuan akan terlihat lebih menarik saat sedang mengikat rambutnya. Harvey benar-benar terpana. Bahkan, gulungan ombak yang pecah menabrak pantai tidak berhasil mengusiknya.

“Halo, Kak?”

Keterpanaan membuat Harvey terlambat menyadari bahwa sejak tadi Hasya sudah selesai mengikat rambutnya. Kini, cewek itu menatapnya dengan alis berkerut. Tangannya melambai-lambai di depan wajah Harvey yang memerah.

Harvey yang tidak ingin ketahuan sedang terpesona mencoba menahan senyumnya mati-matian.

“Kenapa, Kak? Kak Harvey kenapanasan?” tanya Hasya.

Harvey menggeleng sebagai jawaban.

“Kok, muka sama telinganya merah banget?”

Saat Hasya mengatakan hal itu, jebol sudah pertahanannya. Harvey tidak bisa lagi menahan senyumnya yang konyol.

“Nggak papa, Sya. Nggak papa. Kamu lanjutin aja nulisnya.”

Setelah berkata seperti itu, Harvey pamit jalan-jalan sebentar.

Harvey tidak ingat kapan pastinya. Yang jelas, belakangan Hasya terlihat sangat menarik di matanya sampai-sampai si thallasophile itu beranggapan bahwa menatap Hasya jauh lebih menyenangkan daripada memandang luasnya lautan.

^^^

“Abis senyum-senyum sendiri, sekarang malah meluk gitar sambil guling-guling, cuy! Vey sadar … Supri cuma minta dibayarin ke pantai, bukan minta dibayarin naik haji. Lo nggak perlu pura-pura jadi gila karena syok. Gue yang takut, bjir!”

Tepat setelah Aldi berkata seperti itu, pintu ruang latihan diketuk. Vidia dan Rendy masuk setelahnya. Dua sahabat itu memang tidak pernah absen menjadi penonton, meski tidak dibayar.

Dahi Rendy berkerut-kerut. “Kenapa lagi si Monyet?” tanyanya sambil menunjuk Harvey yang menggelepar di atas lantai.

Aldi, Yudi, dan Supri kompak mengedikkan bahu.
“Kesurupan kabel kayaknya.”

Vidia berjongkok di sebelah Harvey, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi cowok itu.

“Nggak panas, kok,” katanya. “Tapi, kok, aneh ya anaknya?” Cewek itu bergidik ngeri. “Kamu habis nelen apa deh, Vey?”

Dikerubungi seperti korban bulan-bulanan warga karena ketahuan maling ayam membuat Harvey berdecak-decak sebal. Akhirnya, cowok itu berdiri dan melepaskan gitar yang tadi dipeluknya.

“Stop natap gue seolah-olah gue adalah orang paling aneh di muka bumi,” ucapnya, sebelum beranjak dari ruang latihan.

“Dih, dasar aneh!”

“Beresin ruangan dulu sebelum balik, woy!”

Harvey menganggap teriakan-teriakan itu sebagai musik ceria yang mengiringi langkah kakinya. Sambil berjalan menuju tempat di mana motornya diparkirkan, Harvey membuka ponsel pintarnya.

Harvey Himalaya:
Sya, sore ini sibuk ga?

Hasya Audrey:
Engga
Ada yg bisa aku bantu, Kak?

Harvey Himalaya:
Di deket kampus ada kedai dimsum baru
Mau coba?
Kalau mau, nanti sore kamu aku jemput

Hasya Audrey:
Kalau engga?

Harvey Himalaya:
Aku tetep ke situ anterin dimsumnya

Semenjak mengenal Hasya, sepertinya love language Harvey jadi berubah, dari word of affirmation jadi apa-aja-boleh-yang-penting-bisa-nyenengin-Hasya.

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang