CHAPTER 11

95 9 11
                                    

Jika biasanya kehidupan Hasya hanya berpusat di kampus dan kos, kali ini, demi menghindari tempat-tempat yang bisa membuatnya teringat dengan Harvey, cewek itu keluar sedikit lebih jauh. Tanpa Arsa, Melodi, dan Jia yang biasanya selalu membersamai, Hasya menggunakan layanan ojek online untuk sampai ke salah satu toko buku. Semalaman dia mencari rekomendasi toko buku dan perpustakaan yang tidak terlalu jauh dan menawarkan tempat yang nyaman. Pilihannya jatuh pada Buku Klak-Klik yang menawarkan dua hal tersebut.

Kini, Hasya sudah berada di tempat itu. Melebihi ekspektasinya, Buku Klak-Klik tidak hanya menawarkan tempat membaca buku yang nyaman dan estetik, tetapi juga menyajikan koleksi buku yang bisa dibilang sangat lengkap. Hasya si Pecinta Buku langsung lapar mata. Semua buku ingin dimilikinya. Namun, cewek itu segera sadar kalau dompetnya tidak terlalu tebal. Jadi, usai berkeliling, dia hanya mengambil dua buku untuk dibeli dan dibacanya. Satu novel lokal, satu lagi terjemahan.

Usai membayar pesanan, Hasya duduk di salah satu sudut ruangan yang memang digunakan untuk membaca. Cewek berkemeja hijau sage itu juga membuka laptopnya yang dipenuhi sticker bergambar Tinker Bell dan teman-temannya. Sejak kecil, Hasya memang sangat menggemari animasi garapan Disney itu.

Berkunjung ke tempat yang banyak bukunya membuat Hasya sejenak melupakan beban pikirannya. Akan tetapi, begitu ia membuka laptopnya, beban itu kembali singgah di sana. Kepala Hasya langsung pening saat melihat daftar tugas kuliah di catatan kecilnya, juga saat melihat draf tulisannya yang belum juga berprogres, masih stuck di chapter lima belas.

Sejak patah hati—yang sebenarnya konyol—Hasya belum bisa produktif lagi, padahal sebenarnya dia tidak punya hak untuk patah. Dan, bersikap tidak ramah pada Harvey saat menjalani hukuman beberapa hari yang lalu adalah hal yang kekanak-kanakan. Hasya melakukan hal itu atas saran dari artikel yang dia baca di internet saat mengetik kata kunci berupa “tips uncrush”. Katanya, Hasya harus bersikap acuh tak acuh.

Cewek itu mengacak-acak rambutnya karena merasa frustrasi. Dia belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Bisa dibilang, Harvey adalah cowok pertama yang membuatnya tertarik. Sayang sekali, cowok itu tidak sendiri lagi, dia sudah jadi milik orang lain. Yang lebih cantik, lebih menarik, dan lebih berbakat. Omong-omong soal bakat, Hasya jadi merasa insecure lagi.

“Stop, Sya! Insecure nggak bikin kamu berkembang. Mending ngerjain tugas. Semangat!” Sebuah upaya menyemangati diri. Hasilnya tidak begitu berarti. Hasya masih belum bisa mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dengan baik. Pun dengan naskah novelnya yang sudah ditagih Sintia lebih dari tiga kali.

“Ternyata efek patah hati bisa separah ini.”

^^^

Senin datang tak diundang. Cuaca panas meradang. Dengan sisa-sisa semangat yang tak seberapa, Hasya tetap harus berangkat ke kampus. Hari ini jadwalnya kelas siang. Malas sekali rasanya harus melewati warung bubur kacang hijau depan fakultas yang pasti sudah ramai karena sering dijadikan tongkrongan mahasiswa.

Benar saja, sesampainya Hasya di sana, warung bercat hijau itu sudah dipenuhi banyak orang. Laki-laki mendominasi, membuat Hasya merasa tidak nyaman saat melewatinya. Sebenarnya, dia tidak mendapatkan perlakuan tidak mengenakan seperti cat calling dan semacamnya. Hanya saja, bagi Hasya, tatapan orang-orang—meskipun tidak disengaja—sering membuatnya merasa tidak nyaman. Dan, jarak warung dengan gerbang yang sebenarnya tidak seberapa, jadi terasa sangat jauh. Hasya membenci hal itu, apalagi jika ada sesuatu yang mengharuskannya berhenti, seperti saat ini. Tali sepatunya terlepas entah karena apa.

Karena terlalu berbahaya jika tetap membiarkan tali sepatunya terburai dua-duanya, Hasya berhenti sejenak untuk mengikatnya kembali. Matahari yang terik hampir membakar kepalanya. Hasya menggerutu dengan suara yang hanya dapat didengar oleh telinganya. Namun, sejurus kemudian, Tuhan seolah mendengar doanya. Kepalanya tidak lagi kepanasan. Matanya juga tidak perlu lagi menyipit karena kesilauan.

Tanpa sadar cewek itu menarik ujung-ujung bibirnya. Tuhan begitu baik karena tidak membiarkan kepalanya benar-benar terbakar. Seusai mengikat tali sepatunya, Hasya berdiri. Namun, tubuhnya limbung hingga nyaris jatuh saat melihat seorang cowok berdiri di hadapannya. Cowok itu menggunakan tangan dan sebuah buku untuk membentuk bayangan yang tadi melindungi Hasya dari teriknya sinar matahari. Kini, cowok itu menggunakan tangannya untuk membantu Hasya menjaga keseimbangan.

Waktu seolah berhenti. Seisi dunia seperti menguap, hanya menyisakan mereka berdua. Pandangan Hasya beradu dengan cowok itu. Cowok yang belakangan banyak menyita fokusnya hingga Hasya menduakan tugas-tugas kuliahnya.

“Hati-hati,” ucap cowok itu.

Kesadaran Hasya kembali. Cepat-cepat cewek itu menegakkan badan dan menjauh selangkah dari Harvey. Ya, cowok itu adalah Harvey yang sedang mati-matian Hasya hindari.

“Sori, Kak. Eum, maksudnya makasih.”

Harvey tersenyum. Hangat. Seperti sinar matahari pukul sembilan pagi. Bukan seperti saat ini—panas dan menyengat. Hasya tidak menyukainya. “Sama-sama,” balasnya cowok itu.

Hasya tergoda untuk ikut melempar senyum, tapi kemudian dia teringat pada misi uncrush-nya. Maka, setelah berterima kasih, cewek itu langsung pamit undur diri.

Hasya berjalan cepat, secepat detak jantungnya. Sebagai seorang pembaca dan author—meski masih pemula, Hasya pernah membaca dan menulis—setidaknya sekali—adegan seperti yang baru saja dia alami. Rasanya seperti baru saja terlempar ke dunia fiksi, di mana ada banyak cowok ganteng dan hal-hal manis di dalam sana. Cepat-cepat Hasya mengusir pemikiran konyol itu sebelum khayalannya melambung semakin jauh.

Akan tetapi, kali ini sepertinya semesta sedang ingin bermain-main dengannya. Hasya tidak diizinkan menyudahi khayalannya. Ah, ini bahkan bukan sekadar khayalan karena Hasya benar-benar melihat, mendengar, dan mengalaminya sendiri. Satu lagi adegan dalam cerita fiksi yang sering dia baca menjelma menjadi nyata: seorang cowok menahan tangannya dari belakang, lalu saat dia berbalik, sebuket bunga disodorkan.

Yang Harvey sodorkan memang bukan sebuket bunga seperti yang Hasya khayalkan. Namun, tetap saja Hasya merasa sedang menjadi tokoh utama sebuah novel romansa saat kakak tingkatnya itu memberinya sebuah buku. Bukan buku teka-teki silang yang sudah diisi seperti yang Dilan beri kepada Milea, melainkan sebuah buku kumpulan puisi yang langsung bisa Hasya kenali lewat sampulnya.

“Aku nggak tahu buku ini isinya kayak apa. Pas lihat ada tulisan ‘kumpulan puisi’, langsung aku ambil, soalnya ingat kamu.”

Harvey meletakkan buku kumpulan puisi berjudul “Perjamuan Khong Guan” karya Joko Pinurbo itu di telapak tangan kanan Hasya.

“Semoga kamu suka,” ucapnya.

Hasya menerima buku itu dengan rikuh. Tentu saja, gelembung pertanyaan banyak beterbangan di kepalanya. Namun, Hasya tidak tahu harus menanyakan yang mana lebih dulu.

“Sana ke kelas. Bentar lagi jam sebelas lewat, lho.” Harvey mengingatkan.

Hasya tersenyum kaku. Ah, sebenarnya dia bingung harus bersikap bagaimana. Rasa bersalah dan tidak tahu diri karena belakangan bersikap tidak ramah kepada Harvey membuatnya ingin menangis—belakangan menangis menjadi jalan pintas saat Hasya merasa bingung. Akan tetapi, menangis di tempat umum hanya akan membuatnya malu seumur hidup. Hasya tidak akan melakukannya.

Jadi, inilah yang dia lakukan: memberanikan diri menatap mata Harvey dan mengucapkan terima kasih. “Aku ke kelas dulu, Kak. Makasih bukunya.”

Harvey melambaikan tangan. Senyum masih bertahan di bibirnya. “Sampai ketemu nanti sore.”

“Sampai ketemu nanti sore.”

Setelah berpisah dengan Harvey, Hasya sangat ingin berteriak. Jadi, setelah aku mati-matian bersikap acuh tak acuh ke Kak Harvey, begini hasilnya?

Harvey tetap bersikap baik, bahkan memberinya hadiah. Kalau begini ceritanya, misi uncrush Hasya tidak akan berjalan lancar!

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang