Langit sudah mulai gelap saat Hasya dan Arsa tiba di depan gerbang berbahan dasar besi yang ujungnya dibuat runcing. Ponsel di tangan Arsa menampilkan nomor Melodi yang hendak dihubungi. Tak berselang lama, panggilan terhubung. Melodi dengan pakaian rumahannya keluar untuk membukakan gerbang.
“Yuk, masuk. Jia udah di dalam.”
Hasya dan Arsa mengekori Melodi untuk masuk ke kamar kosnya yang didominasi warna putih, mulai dari dinding, lantai, dipan, hingga lemarinya.
Melodi naik ke kasur, menyebelahi Jia yang duduk menghadap laptopnya. Arsa duduk di kursi belajar. Sementara, Hasya memilih duduk melantai. Berharap dinginnya lantai kamar kos Melodi bisa mendinginkan kepala dan hatinya.
Selain warung penyetan, kamar kos Melodi adalah tempat nongkrong yang enak. Selain free WiFi, kamarnya juga dilengkapi AC dan kulkas kecil. Di sini, orang-orang tidak akan takut kelaparan atau mati kepanasan. Kecuali kalau mendadak mati lampu.
“Yang mau minum ambil di galon dulu. Yang di kulkas belum ada yang dingin, baru gue masukin.”
Arsa mengurungkan niatnya membuka kulkas. “Yah, mending tadi beli air dingin dulu, nggak, sih, Sya?” ucapnya kepada Hasya.
Cewek berkuncir kuda itu hanya mengembuskan napasnya.
“Kenapa lo, Sya? Kusut amat?”
Hasya memperlihatkan layar ponselnya yang sedang membuka aplikasi Instagram. “Akun chyreila_ yang ternyata punya Cahaya ini masih terus komen jahat ke postingan tugasku. Malahan sekarang merepet ke DM juga. Capek, deh, ngeladeninnya.”
Arsa yang jaraknya paling dekat dengan Hasya langsung mengambil ponsel itu dan membaca beberapa DM menyudutkan yang ditujukan untuk Hasya.
Sebelumnya, Hasya sudah memberi tahu masalah tugasnya yang banyak dikomen jahat kepada ketiga sahabatnya. Dan, karena itulah mereka berkumpul di kamar kos Melodi sekarang.
Arsa menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Sambil menyerahkan ponsel Hasya ke Melodi dan Jia yang juga penasaran, cewek itu berujar, “Si Cahaya ini emang tipe mahasiswa yang nggak mau dikalahin sama orang lain apa ya? Tipe yang ambis, tapi demen menjatuhkan orang lain gitu.”
Melodi mengangguk setuju. “Sampai ngomong jahat di DM juga, buset! Dia pengen duet sama Harvey juga, kali!”
“Nggak usah diladenin lah, Sya,” sahut Jia.
Hasya rebah ke lantai. “Menurut kalian, kalau aku cuekin, si Cahaya ini bakal diem?”
“Menurutku enggak. Aku tahu Cahaya bukan tipe kayak gitu. Dia ini anaknya bisa nyerang sampai dia merasa menang. Mungkin dia bakal diem kalau kamu hapus videonya,” ujar Arsa sambil mengembalikan ponsel Hasya.
Hasya menerima benda pipih itu dengan lesu. “Sayangnya video itu baru boleh dihapus kalau nilai di KHS udah muncul.”
“Pas mau naik semester dua, dong?”
“Tul!”
Jia menutup laptopnya. Tugasnya tidak jauh lebih penting daripada topik pembicaraan kali ini. “Jangan online IG dulu sementara, Sya. Matiin notifikasi semua sosmed juga. Cahaya sama temen-temennya yang nyerang kamu sampai ke DM itu cuma iri. Iri itu tanda nggak mampu. Nggak usah diurusin,” katanya. Geram sendiri.
“Andai bisa semudah itu, Ji. Kamu, kan, tahu aku overthinking-an orangnya. Apalagi nih ya, circle Cahaya itu satu kelas kecil sama aku semua,” ucap Hasya.
“Wah, nggak asyik banget mainnya circle-circle-an,” Melodi menimpali.
“Ya gitu, deh.”
Atmosfer ruangan jadi tidak mengenakan. Melodi berinisiatif mengambil camilan dari loker. “Jajan tuh, galaunya nanti lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...