CHAPTER 8

102 12 11
                                    

Hasya buru-buru mengangkat teleponnya sebelum didemo pengunjung kafe karena deringannya yang terlalu kencang. Karena terburu-buru, Hasya jadi tidak sempat melihat nama kontak seseorang yang meneleponnya. Saat mendengar “halo” dari seberang, Hasya nyaris melompat dari kursi. Suara cowok!

Hasya menjauhkan ponselnya dari telinga untuk melihat nama penelepon. Dan, tubuhnya nyaris melompat dari kursi part dua saat melihat nama Harvey tertera di sana. Saat “halo” kedua terdengar, ibu jarinya reflek memencet ikon merah.

“Ngapain Kak Harvey telepon?” Hasya bertanya-tanya. Tiba-tiba merasa bersalah karena sudah memutuskan sambungan seenak jidat. Digigitnya ujung jari telunjuk yang kukunya mulai memanjang. Hasya bimbang, haruskah dia menelepon balik? Untungnya, sebelum Hasya menekan nomor Harvey, cowok itu sudah meneleponnya kembali.

“Kenapa dimatiin, Sya?” tanya Harvey, tanpa ber-halo lagi.

Hasya menggigit bibir, yang jelas tidak akan bisa dilihat oleh lawan bicaranya di balik ponsel. Dengan lirih dia menjawab, “Sori, Kak. Kepencet.”

Harvey ber-oh singkat, memantik perasaan bersalah di hati Hasya. Setelahnya, hanya ada hening. Baik Hasya maupun Harvey tidak ada yang berbicara. Satu menit berlalu. Barulah, Hasya memutuskan untuk memecah kesunyian terlebih dahulu.

“Kak …?” panggilnya. Tak lama, Harvey kembali bersuara.

“Kamu nggak suka ditelepon, ya?”

“Eh, nggak, kok. Yang tadi beneran kepencet.” Bohong. Tapi, bukannya kebohongan kecil lebih baik daripada kejujuran yang menyakiti perasaan? Begitu pikir Hasya.

Terdengar embusan napas lega dari seberang. Hasya ikut merasa lega. “Kirain. Soalnya ada beberapa orang yang emang nggak suka ditelepon, kan?”

“Iya.” Hasya menunggu Harvey kembali bicara, tapi cowok itu diam saja. “Tumben telepon, Kak. Ada apa?” Akhirnya, Hasya yang kembali memutuskan untuk lebih dulu bersuara.

“Awalnya mau ngabarin kalau hari ini kita nggak perlu ngajar, tapi jadinya sekalian mau ngajakin kamu ke pameran.”

“Pameran?” tanya Hasya. Dahinya berkerut-kerut.

“Iya. Pameran seni. Anak Seni Rupa ngadain pameran di auditorium. Aku ada tiket lebih, temenku ngasih gratis. Mubazir kalau nggak dipakai. Jadi, aku mau ngajakin kamu.”

“Oh, ya?” Hasya terdiam sesaat.

“Niatnya, habis ngajar, kita langsung ke pameran. Ternyata, kata Miss Ditya kita libur. Udah tahu, kan?”

“Iya. Udah.” Hasya bahkan diberi tahu langsung di ruang dosen.

“Ya … jadinya aku telepon kamu gini deh ngajakin ke pamerannya. Nanti malem aku jemput, ya? Kita ke auditorium bareng.”

Hasya tidak menemukan alasan untuk menolak.

^^^

Jam di dinding kamar sedang menunjukkan pukul tujuh malam ketika Hasya mematut dirinya di depan cermin. Di sebelah cermin, lebih tepatnya di dalam ponsel yang diletakkan di atas meja, wajah Jia, Melodi, dan Arsa terlihat. Keempatnya sedang melakukan panggilan video.

“Kalian yakin ini nggak berlebihan?” tanya Hasya sambil memperhatikan pantulannya di dalam cermin.

Kaus putih polos dipadukan dengan celana basic berwarna cream. Sweater crop top berwarna senada melindungi bagian lengan bawahnya yang terbuka. Sekilas, tampak tidak ada yang aneh dengan penampilan Hasya. Masih seperti Hasya yang biasanya. Yang membuat cewek itu merasa sedikit berlebihan adalah tatanan rambutnya yang … “Kalian yakin nyuruh aku pakai jepit pita segede ini?” tanya Hasya lagi. Pasalnya, Hasya tidak pernah menata rambutnya dengan gaya neko-neko. Paling-paling kalau sedang niat, Hasya hanya akan mengepang rambutnya dengan kepangan bersusun ke samping.

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang