Hasya sedang celingukan di sekitar kantin ketika seseorang menegurnya.
“Lagi apa?”
Cewek itu terkejut sampai memegangi dadanya. Terlalu fokus pada sesuatu membuatnya tidak memperhatikan yang lain. Hasya berdehem untuk menutupi keterkejutannya yang konyol. Di depannya, Harvey dengan headphone di kepalanya sedang menatapnya dengan satu alis meninggi.
Di antara banyaknya tempat yang ada di Tunas Jaya, di antara dua puluh empat jam waktu yang dia punya, kenapa kedatangan Hasya ke kantin harus bersinggungan dengan Harvey? Hasya bukannya tidak senang bisa bertemu dengan cowok yang disukainya, dia hanya tidak mau gede rasa, kemudian menganggap kalau Harvey adalah takdirnya.
Debas terdengar dari mulutnya. “Kak Harvey lagi jajan?” Bukannya menjawab, Hasya malah balik bertanya.
“Niatnya sih mau makan siang. Ini, kan, sudah mau jam satu,” balas Harvey. “Mau bareng?”
Cepat-cepat Hasya menggeleng. Dia tidak punya banyak waktu untuk itu. Tujuannya datang ke kampus, kan, untuk mencari buku catatannya yang hilang.
Hasya sudah mencarinya di tumpukan barang hilang yang ada di Gedung Kuliah 1, Gedung Kuliah 2, perpustakaan, masjid, bahkan parkiran depan. Semua tempat yang dikunjungi kemarin telah didatangi, termasuk kantin. Kemarin dia sempat mampir bersama Arsa meski tidak jadi membeli, kan. Kemungkinan besar buku itu jatuh di sana.
“Aku … bukan mau makan, sih, Kak.” Sebelah tangannya menggaruk tengkuk yang tidak benar-benar gatal.
“Terus?”
Hasya tampak berpikir. Dia ragu untuk memberi tahu Harvey alasan yang sebenarnya kenapa dia datang ke kantin kampus saat minggu tenang karena takut akan merepotkan cowok itu. Namun, di sisi lain, Hasya butuh bantuan supaya buku catatannya bisa segera ditemukan dan Hasya bisa lanjut revisian.
Hasya menggigit pipi bagian dalamnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menyembunyikan kebenaran.
“Aku lagi cari buku catatan kecilku yang hilang. Kayaknya jatuh di sini.”
Cewek itu menunduk, sehingga tidak bisa melihat senyum kecil yang terbit di bibir Harvey.
^^^
Sepertinya Harvey salah tangkap saat Hasya berkata sedang mencari buku. Bukannya bantu mencari, cowok itu malah mengajaknya pergi ke Pakuwon Mall. Mall besar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasya sudah pernah mengunjunginya beberapa kali, sekadar untuk menghilangkan stress setelah kuliah selesai bersama teman-temannya. Aneh rasanya ketika dia datang bersama Harvey, hanya berdua.
Jika biasanya Harvey hanya menggenggam pergelangan tangannya, saat akan menyebrang, saat takut tertinggal, atau sedang terburu-buru, kali ini cowok itu menggenggam telapak tangannya, membiarkan jemarinya mengisi ruas-ruas jemari Hasya. Sejak turun dari motor hingga berjalan dari lantai ke lantai mengelilingi pusat perbelanjaan terbesar di Kota Jogja itu, Harvey tidak mengizinkan tautan tangan mereka lepas.
Hasya sendiri kebingungan harus bersikap seperti apa. Jantungnya berdebar begitu kencang, suhu tubuhnya berubah dingin, dan badannya mulai lemas. Meski di saat yang sama, wajahnya juga memanas dan bunga-bunga tetap bisa mekar di hatinya yang gelisah. Perasaan konyol apa ini namanya?
“Buku kamu yang hilang bentuknya kayak apa?” tanya Harvey, keduanya tiba di ruko yang didominasi warna kuning menyala.
“Warna pink. Seukuran telapak tangan,” jawab Hasya. “Tapi, Kak. Bukunya—”
“Yuk, cari. Siapa tahu ada yang sama.”
Harvey menarik lembut tangan Hasya. Keduanya berjalan menuju rak buku dan alat tulis yang ada di sebelah kanan pintu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...