Pagi ini, Sintia kembali mengirim pesan, tepat ketika Hasya membuka matanya. Cewek itu mengucek matanya yang masih berbelek. Decakan keluar dari mulutnya. Editornya itu seperti tidak punya jam saja. Ini, kan, masih pukul … tunggu! Buru-buru Hasya mengecek jam di ponselnya. Dan, matanya nyaris melompat saat mengetahui pukul berapa sekarang. Pukul tujuh!
“Kenapa alarmnya nggak bunyi?” pekiknya, kontan menyambar handuk di belakang pintu dan bergegas mandi. Bisa-bisanya dia baru bangun saat matahari sudah meninggi, padahal hari ini jadwalnya kelas pagi.
Beres mandi, memakai kemeja yang berada di tumpukan teratas, memulas wajah dengan bedak dan liptin tipis biar tidak terlihat pucat seperti orang tipes, Hasya bergegas menuruni satu per satu anak tangga. Kali ini, Hasya melewatkan sarapannya, padahal semalam dia sudah menyiapkan susu kotak rasa cokelat kesukaannya.
Ini pasti karena bergadang mengejar setoran chapter novel. Dan, tentu saja karena terlalu banyak memikirkan Harvey!Hasya berlari tanpa memperhatikan sekitar. Sebentar lagi pukul setengah delapan, bisa gawat kalau sampai dosen lebih dulu masuk daripada dirinya. Hasya, kan, ingin dikenal sebagai mahasiswa teladan, bukan mahasiswa telatan. Jadi, tanpa mempedulikan langkahnya yang seperti orang kesetanan, Hasya menapaki satu per satu anak tangga untuk sampai di depan kelasnya.
Sial pangkat sejuta! Pagi ini adalah kelas besar. Tidak ada kursi yang kosong kecuali kursi panas di depan meja dosen. Dan, pagi ini adalah kelas Bahasa Inggris, kelasnya Miss Ditya.
Gawat, aku nggak mau di-notice!
^^^
Hasya betulan di-notice Miss Ditya saat kelas berlangsung. Oleh karenanya, seusai kelas, dan kebetulan kelas berikutnya harus menunggu jeda ishoma karena ada mata kuliah yang kosong, Hasya dipanggil Miss Ditya ke ruangannya.
Ruangan Miss Ditya berada di ruang dosen departemen Bahasa dan Sastra. Letaknya di lantai dasar, bersebelahan dengan laboratorium bahasa. Baru berada di ambang pintu saja, tengkuk Hasya sudah meremang. Rasanya seperti akan masuk ke ruang eksekusi, padahal Miss Ditya seorang dosen, bukan algojo.Hasya celingukan, tidak berani masuk. Apalagi saat ini penampilannya tidak oke sama sekali. Kemeja birunya tidak disetrika. Celana kain berwarna abu gelapnya kusut di mana-mana. Bagian paling parah dari penampilannya adalah rambutnya yang hanya dikuncir asal. Hasya bahkan lupa bersisir.
Cewek itu mematut diri di layar ponselnya yang menggelap. Benar-benar kacau. Bahkan bedak dan liptin-nya sudah tidak meninggalkan jejak sama sekali.
“Hasya? Ayo masuk.”
Cewek itu tersenyum rikuh, lalu berjalan membuntuti Miss Ditya yang melangkah dengan penuh percaya diri.
“Duduk, Sya. Saya nggak akan makan kamu. Tenang saja,” ujar Miss Ditya, membaca kecemasan di wajah Hasya.
Hasya mengembuskan napas tak kentara. Telapak tangannya basah sudah.
“Langsung saja, ya. Jadi, bagaimana? Saya pengin dengar pengalaman kamu menjadi tutor sementara untuk anak-anak di komunitas saya.” Miss Ditya bertanya dengan penuh wibawa. Tangannya disilangkan di depan dada.
Hasya kebingungan harus menjawab apa. “Eum … menyenangkan?” jawabnya, terdengar ragu.
Mata Miss Ditya menyipit. “Kamu kelihatan nggak yakin. Ceritakan saja yang sebenarnya. Saya nggak akan memotong, memarahi, apalagi menghakimi kamu.”
Hasya memaksakan senyumya. Jujur, dia takut berhadapan langsung dengan dosen muda yang terkenal killer ini. Dia butuh Harvey. Setidaknya, cowok itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, kan? Kalau dia tidak menyeret Hasya ke dalam masalahnya, hukuman ini tidak akan ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...