“Sore, semuanya. Namaku Harvey. Harvey Himalaya. Sama kayak Kak Hasya, aku juga bakal jadi tutor sementara kalian buat gantiin Miss Ditya.”
“Halo, Kak Harvey ….”
Setiap kali Harvey berbicara di depan banyak orang, Hasya selalu menduga kalau cowok itu mempunyai sihir yang melekat di lidahnya, yang bisa membuat semua orang di sekitarnya menaruh perhatian. Saat PKKMB beberapa waktu lalu, Harvey juga berhasil membuat lebih dari tujuh puluh anggota gugusnya diam memperhatikan, mungkin juga terpesona.
Sama seperti anak-anak di sana, dari tempatnya, Hasya juga memperhatikan Harvey dengan saksama. Bukan hanya kalimat-kalimat Harvey yang membuatnya terpana, Hasya juga terpesona dengan paras kakak tingkatnya yang tidak bisa dibilang biasa saja. Memang, di antara sekian banyak cowok di Tunas Jaya, bukan Harvey yang menempati posisi pertama cowok paling ganteng dan paling banyak penggemarnya. Namun, Harvey tetap masuk ke golongan cowok yang akan membuat cewek-cewek meliriknya lebih dari dua kali.
Tinggi badan Harvey mencapai 174cm, cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Cowok itu pernah mengaku bahwa kurang lebih dari proporsi tubuhnya, tujuh puluh lima persennya terdiri dari kaki. Badanya lumayan atletis, meski selalu mengaku sedikit gendut. Selain itu, Harvey juga memiliki profil wajah yang menarik, dengan pipi sedikit cubby dan bola mata cokelat lumpur yang selalu terlihat berbinar. Dengan fisik yang semenarik itu, Harvey masih memiliki hal lain yang bisa terus membuatnya tampak bersinar, seperti kemampuan public speaking, bernyanyi, dan kemampuan bermain gitarnya.
Hasya jadi merasa insecure. Dia selalu bersyukur Tuhan telah memberinya organ tubuh yang lengkap dan berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, tak bisa dimungkiri, Hasya sering merasa kerdil saat bertemu dengan orang-orang yang lebih daripada dirinya. Lebih tinggi, lebih cantik, lebih pintar, lebih berbakat. Bahkan, tak jarang Hasya merasa dirinya hanya gadis setinggi 156cm yang tak memiliki bakat apa-apa.
Kenapa aku harus naksir Kak Harvey yang hampir nggak punya cela di mataku, sementara aku sendiri dipenuhi kekurangan? Adalah pertanyaan yang selalu bergaung di tempurung kepalanya.
“Halo, Sya?”
“Eh, ya, Kak? Kenapa?” Hasya tergagap, takut ketahuan baru saja memperhatikan Harvey tanpa berkedip.
“Melamun, ya?” tanya Harvey.
Hasya tersenyum kecil. “Enggak, kok. Cuma … lagi mikir aja. Kok, Kak Harvey bisa langsung akrab sama anak-anak? Hehe ….” Pertanyaan tanpa rencana.
Harvey pindah tempat duduk jadi tak jauh dari Hasya. Anak-anak sudah pada anteng setelah diberi buku dan sedikit tugas. Benar kata Hasya, kurang dari lima belas menit berkenalan, Harvey sudah bisa membuat anak-anak itu patuh pada perintahnya, padahal kepada Hasya, anak-anak itu bersikap acuh tah acum, mirip bocil kematian.
Harvey terkekeh. “Aku juga nggak tahu, Sya. Mungkin karena mukaku seram, makanya mereka nurut aja aku kasih tugas apa.”
Tawa kecil meluncur dari mulut Hasya. Meski tidak setuju dengan pendapat itu, dia tetap mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian, Hasya menghampiri anak-anak yang tampak menikmati tugas dari Harvey. Memilih menjaga jarak dari kakak tingkatnya sebelum jantungnya berulah lagi dan lagi.
Setelah hari itu, daftar alasan kenapa Hasya menyukai Harvey bertambah satu poin. Selain ganteng, baik, ramah, penuh perhatian, jago public speaking, jago nyanyi, dan jago main gitar, kini Hasya menambahkan satu poin berikutnya: Harvey bisa jadi guru yang baik buat anak-anak nakal sekali pun.
Dan, mungkin, poin-poin itu akan terus bertambah semakin sering Hasya berinteraksi dengan Harvey.
^^^
“Hasya … buruan!”
Cewek bersepatu putih di depan pintu kamar kos Hasya tak berhenti menggedor pintu sampai engselnya bergetar. Namun, gedorannya yang cukup brutal belum berhasil membuat yang punya kamar keluar, malah pemilik kamar sebelah yang marah-marah. Untungnya, Melodi punya sekotak kue pancong yang bisa digunakan sebagai sogokan. Jadilah, tetangga kamar Hasya itu tidak jadi marah-marah.
Fyuh …. Melodi mengembuskan napas lega, tapi kekesalannya belum reda karena Hasya tak kunjung membuka pintu kamarnya.
“Lo lagi ngapain, sih, Sya? Buruan buka, deh? Masih idup, nggak, sih?” Setelah mengatakan kalimat itu, ponselnya berdering. Nama Hasya Audrey tertera sebagai penelepon.
“Buka pintu, woy!” serangnya.
“Kalem dulu, dong!” balas orang di seberang.
Melodi menurut, menunggu Hasya yang berada di seberang telepon kembali bicara.
“Sori banget, nih, Mel. Kamu pasti udah di depan kamar kosku, ya? Sori banget, nih, tapi aku sama Arsa udah di warung penyetan tempat kita janjian. Sumpah, maaf banget nggak ngabarin kamu dulu. Mel, kamu—”
Belum selesai Hasya berbicara, Melodi memutus sambungan telepon itu dengan perasaan superdongkol.
Melodi Citra Nada:
KAMPRET LO SEMUA!
Pesan itu terkirim ke grup sebelum Melodi melesat bersama motornya menuju warung penyetan.
“Kalian, tuh, ya!”
Air es di gelas Hasya dan Arsa terguncang saat Melodi menggebrak meja cukup keras. Untung sedang tidak terlalu banyak pengunjung di warung penyetan itu.
Cepat-cepat Arsa menarik tangan temannya dan memintanya untuk duduk. “Kan, kita udah bilang sori.”
“Sori dari kalian nggak bisa gantiin pancong gue yang udah gue relain sebagai bentuk permintaan maaf gue ke tetangga kamar Hasya karena gue udah gedor-gedor pintu kayak orang gila. Sumpah! Marah banget gue sama lo berdua.”
Hasya menyengir. “Jangan marah-marah, Mel. Nih, air es,” ujarnya seraya mendekatkan gelas air esnya ke Melodi.
Melodi meliriknya dengan tajam. “OGAH!”
Hasya dan Arsa terpingkal. Tak lama kemudian, Jia datang membawa totebag berisi potongan kain.
“Sori, telat. Aku baru selesai kelas. Kalian udah pada pesan makanan?”
Arsa, Hasya, dan Melodi kompak menggeleng. Jia berdecak, lalu bergegas membuat pesanan. Dalam lingkaran persahabatan mereka, Jia adalah orang yang paling sering memesankan makanan, Melodi adalah orang yang paling sering memprotes apa pun, Arsa adalah orang yang paling kalem, dan Hasya adalah orang yang paling sering insecure.
Jia kembali ke tempat duduknya setelah memesan empat porsi ayam penyet dan dua gelas es teh. Sambil menunggu pesanan datang, keempatnya mulai berbagi kabar seperti biasa.
“Gue lagi bete karena ditinggal Arsa sama Hasya ke sini, padahal gue udah nyamper Hasya ke kosnya.”
“Kalau aku lagi setres banget bikin pola gaun buat festival bulan depan.”
“Aku, sih, lagi seneng soalnya tugasnya udah tercentang semua.”
“Kalau aku … lagi keteter nulis novel buat setoran ke editor, sih. Soalnya jadwalku makin padat sejak dihukum bareng Kak Harvey.”
Hasya buru-buru menutup mulutnya, merasa salah bicara. Saat pandangannya mengedar untuk melihat ekspresi ketiga sahabatnya, Hasya benar-benar menyesal. Sepertinya, menyebut nama Harvey di lingkaran persahabatannya memang sebuah kesalahan. Karenanya, Hasya berusaha mengingat mantra yang bisa membuatnya menghilang agar terbebas dari cecaran pertanyaan Melodi, Arsa, dan Jia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Satu Semester
RomanceRencana uncrush Hasya gagal total setelah bertemu lagi dengan Harvey yang ditaksirnya sejak zaman ospek. Yang lebih parah, keduanya terlibat sebuah masalah yang menjadikan nilai Bahasa Inggris sebagai taruhannya. Hasya cuma punya dua pilihan: maju...