CHAPTER 17

77 7 3
                                    

Pagi menjelang siang ini, matahari bersinar sangat cerah. Langit berwarna biru muda sempurna tanpa gumpalan awan yang biasanya menyerupai gumpalan kapas tebal. Kicau lovebird yang sangkarnya berada di atap gang mengiringi langkah riang cewek berbaju pink terang dengan kerah bulat dan lengan berenda yang tampak manis, rok plisket putih tulang sepanjang betis dan flat shoes berwarna senada juga menyempurnakan tampilannya kali ini. Senin ini Hasya tampil lebih fresh daripada biasanya. Bibirnya bahkan dipulas liptin dengan warna yang sedikit lebih mencolok. Hasya belum merasa cukup cantik, tapi hari ini dia merasa penampilannya lebih dari niat.

“Pagi, Bu. Pagi, Pak.” Bahkan, cewek itu menyapa hampir semua orang yang dilewatinya sepanjang perjalanannya menuju Kampus Biru

“Ceria banget, Bu Hasya. Ada kabar gembira apa gerangan nih?”

Senyum Hasya mengembang, pipinya memerah seperti tomat begitu mendengar celetukan Arsa yang ternyata tiba di kelas lebih awal, padahal hari ini dosennya santai. Cewek itu lantas duduk di sebelah Arsa yang sudah memilihkan tempat duduk paling strategis menurutnya—baris nomor tiga dari depan dan dari sebelah kiri. Perfect!

“Emang kelihatan banget kalau aku seceria itu?” tanya Hasya. Sebelah tangannya bergerak menyelipkan rambut ke belakang telinga. Salah tingkah.

“Ibarat material di toko bangunan, ekspresi kamu itu kaca tipis, Sya. Transparan. Mudah banget ditebak, tauk!” jawab Arsa menggebu.

Hasya menutup mukanya dengan binder ukuran B5-nya. “Jadi malu, deh.”

Arsa mengubah posisi duduknya jadi menyerong. Matanya memicing curiga. “Hayo … habis dibaperin cowok mana lagi kamu?” tanyanya.

“Apaan, sih … enggak ada ya!”

“Yakin? Tapi, kok, hari ini mukamu kayak musim semi gitu? Bajunya juga lho. Siapa yang bikin hati kamu jadi berbunga-bunga begini?” Arsa menaik-turunkan kedua alisnya—menggoda.

Hasya menurunkan binder dari depan wajahnya yang masih semerah tomat. Digigitnya ujung bibir agar tidak terus tersenyum. Sejurus kemudian, Hasya mengambil sesuatu dari dalam totebag-nya. “Ar, menurut kamu, aku harus ngasih ini atau enggak?” Sebuah kotak transparan berisi tiga buah donat ber-topping cokelat disodorkan.

Dahi Arsa berkerut. “Buat?”

Tangan Hasya melambai, menyuruh Arsa mendekat. Kemudian, dia berbisik di telinga sahabatnya itu.

“SERIUS KAMU?”

Saat Arsa memekik karena terkejut, Hasya langsung menyembunyikan kembali wajahnya di balik binder. Suara Arsa yang melengking menarik atensi banyak orang. “Arsa … jangan berisik, ih!" serunya.

“Sumpah, Sya! Ini berita besar! AELAH harus segera berkumpul buat bahas berita ini!”

“Arsa … nggak gitu ….” Hasya panik sendiri.

“Pokoknya besok kita harus kumpul! Titik! Nggak pakai koma!”

Hasya yang sudah menduga Arsa akan seheboh ini hanya bisa mengembuskan napas panjang-panjang.

Untung Arsa sahabatnya.

^^^

Kemarin, video musikalisasi puisi Hasya sudah di-upload ke YouTube dan Instagram sesuai dengan ketentuan tugas yang diberikan dosennya. Tidak ada sedikit pun niat mengunggah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Namun, sepertinya algoritme YouTube dan Instagram sedang berbaik hati. Kurang dari dua puluh empat sejak video itu diunggah, viewers-nya sudah mencapai sepuluh ribu, baik yang di YouTube maupun Instagram. Like dan komentarnya pun bisa dibilng cukup banyak.

Jika dibandingkan dengan unggahan teman sekelasnya yang seorang influencer, memang sepuluh ribu itu bukan apa-apa, tapi buat Hasya yang followers-nya tidak sampai seribu, viewers segitu terhitung luar biasa. Entah Hasya harus merasa senang atau justru malu. Wajahnya terpampang jelas, begitu juga dengan suaranya yang pas-pasan, padahal sebelumnya YouTube-nya kosong dan Instagram-nya hanya berisi quotes dan potongan scene dari novel-novel digitalnya.

Denting-denting notifikasi meramaikan ponsel saat Hasya menunggu seseorang di Taman Fakultas. Kotak transparan berisi tiga buah donat ber-topping cokelat ada di pangkuannya. Menuruut Arsa—saat Hasya bertanya di kelas tadi—Hasya harus berani menyerahkan kotak beserta isinya itu. Toh, donatnya tidak ditaburi racun. Dan, hitung-hitung sebagai bentuk terima kasih Hasya yang sudah dibantu tugasnya.

Sekarang pukul empat belas lebih lima puluh menit. Sambil menunggu jarum panjang di jam tangannya berada di angka dua belas, dia menghirup udara dengan rakus bahkan hingga paru-parunya terasa penuh. Hasya perlu waktu untuk bersiap-siap agar suaranya tidak gemetar saat menyerahkan hadiah kecil itu kepada Harvey.

Ya. Hasya sedang menunggu Harvey.

Tentu saja, selain kepentingan donat itu, mereka memang ada keharusan untuk bertemu karena hari ini adalah hari Senin. Hari yang dulu tidak Hasya sukai, tetepi belakangan jadi dinanti-nanti.

“Udah lama nunggu ya, Sya?”

Harvey terlihat dari arah pukul satu. Seperti biasa, tas berisi gitar kesayangannya tersampir di satu sisi bahu. Cowok itu memakai kemeja berwarna maroon yang lengannya digulung sesiku. Kacamata bening bertengger di hidungnya yang mancung. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi tetap tidak mengurangi daya tariknya.

Hasya nyaris terlena. Begitu Harvey sampai tak jauh di depannya, senyumnya merekah. “Belum lama, kok. A-aku juga baru sampai,” katanya sedikit terbata.

Harvey turut menarik sudut-sudut bibirnya. “Gimana tugas yang kemarin? Aman, kan?”

Hasya mengangguk-angguk. Lalu, disodorkannya kotak transparan berisi donat itu kepada Harvey. Sesaat, Harvey mengernyit. Namun, tak bertahan lama. Kerutan di dahinya memudar setelah menemukan sticky note kuning gonjreng di atas kotak transparan itu.

Dear, Kak Harvey.

Makasih banyak ya atas bantuannya. Viewers-nya udah sampe sepuluh ribu, lho! Nggak nyangka. HEHE.

With Love,
Hasya

Senyum kecil terulas. Pesan singkat itu tampak manis seperti yang menulis.

“Lucu banget ada suratnya.”

Pipi Hasya memerah. Sambil mencoba menetralkan detak jantungnya, dia berkata, “Makasih banyak, ya, Kak. Kalau Kak Harvey nggak bantuin aku, mungkin tugasku—”

“Sama-sama. Santuy lah.”

Kalimat Hasya terhenti. Jantungnya nyaris meloncat saat tangan Harvey hinggap di puncak kepalanya.

“Lain kali nggak usah bawa makanan segala, Sya. Yang kemarin itu nggak ngerepotin sama sekali, kok.” Harvey mengucek rambut Hasya dengan gemas. “Tapi, makasih ya donatnya.”

Sontak saja dada Hasya dipenuhi bunga-bunga musim semi dan letupan kembang api. Tentu saja, mukanya sudah memerah. Untuk menutupi reaksi tubuhnya yang sering ia sebut kampungan itu, Hasya berpura-pura menerima pesan penting. Akan tetapi, sepertinya Hasya harus menyesali keputusannya itu. Karena, saat menggulir-gulir layar ponselnya secara asal, beberapa notifikasi muncul, salah satunya berasal dari Instagram. Seseorang baru saja mengiriminya beberapa komentar yang sukses membuat musim semi di dadanya berubah menjadi panas.

chyreila_ emng boleh collab sama kating buat tugas UTS begini?

chyreila_ kocak bgt sumpah!

chyreila_ caper sama kating biar dapet banyak viewers sama nilai A ceritanya?

chyreila_ sumpah! suara lo sumbang mbak, kebanting bgt sama musiknya Kak Harvey

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang